tirto.id - Pada 79 Masehi, Pompeii adalah kota berpenduduk 10 ribu hingga 20 ribu jiwa. Terletak di wilayah Campania, Italia. Ia berada persis di sebelah tenggara Gunung Vesuvius, satu-satunya gunung api yang kini aktif di Eropa. Di dekat Pompeii, ada pula Herculaneum, kota yang dihuni oleh 4.000-5.000 penduduk. Herculaneum terletak di barat Gunung Vesuvius dan menempati wilayah yang lebih luas dibandingkan Pompeii.
Menurut History, Vesuvius telah meletus sebanyak 50 kali, salah satunya pada bulan Oktober 79 M. Live Science mengatakan kala itu abu vulkanik menutup atap rumah warga setebal 15 cm per jam dan membuat Pompeii gelap saat siang hari. Gunung Vesuvius lantas memuntahkan awan panas berikut material gunung api yang menghancurkan Pompeii dan Herculaneum. Banyak orang meninggal atau mengungsi dari kedua kota tersebut.
Pompeii pun terkubur di dalam tanah hingga kota itu digali lagi pada 1748. Selama lebih dari dua abad, 1.500 dari kira-kira 2.000 korban jiwa akibat bencana alam letusan Gunung Vesuvius ditemukan. Terakhir, para arkeolog menemukan jasad kuda berpelana di sebuah vila kuno milik seorang pejabat tinggi militer. Binatang itu diduga mati karena abu vulkanik atau awan panas.
Bangunan berikut jasad yang berhasil ditemukan lalu menarik perhatian banyak kalangan. UNESCO mengukuhkan Pompeii sebagai situs warisan dunia pada tahun 1997. Kota ini juga diminati oleh para wisatawan. The Guardian mencatat hampir 4 juta turis mengunjungi Pompeii setiap tahun.
Eksploitasi atau Edukasi?
Arus pelancong yang datang ke Pompeii dan Herculaneum, menurut Ana Paula Fonseca, Claudia Seabra, dan Carla Silva, menjadikan kota tersebut situs wisata bencana (disastertourism) tertua di dunia. Mereka mengatakan bahwa turis datang ke sana untuk mempelajari sejarah berikut berbagai macam aspek aktivitas Gunung Vesuvius. Di samping itu, mereka juga bisa melihat langsung jasad manusia yang diawetkan oleh abu vulkanik.
Dalam studi berjudul “Dark Tourism: Concepts, Typologies, and Sites” (2016), Fonseca, Seabra, dan Silva mengatakan wisata bencana merupakan bagian spesifik dari dark tourism. Dark tourism atau wisata kelam merujuk pada aktivitas mengunjungi tempat yang diliputi oleh kesedihan, kesusahan, kekejaman, dan rasa sakit. Mereka mengatakan tipologi wisata kelam ada berbagai macam, tergantung pada motivasi pengunjung dan situsnya.
Menurut Fonseca, Seabra, dan Silva, ada enam jenis wisata kelam, di antaranya wisata bencana, wisata perang, wisata penjara, wisata pemakanan, wisata hantu, dan wisata Holocaust. Praktik berwisata ke tempat yang baru mengalami bencana alam atau buatan manusia disebut dengan wisata bencana.
Sementara itu, Kevin Fox Gotham dalam “Dark Tourism and Disaster Tourism” (2015) mendefinisikan disaster tourism sebagai jenis pariwisata yang lahir setelah atau karena bencana alam juga peristiwa traumatis. Contoh wisata bencana, lanjutnya, meliputi tempat seperti World Trade Center di New York City dan daerah yang terkena banjir di New Orleans setelah Badai Katrina.
Brigitte Sion, peneliti yang berafiliasi dengan Columbia University sekaligus editor buku Death Tourism: Disaster Sites as Recreational Landscapes (2014), menjelaskan ada berbagai macam alasan yang mendorong orang mengunjungi bekas lokasi bencana atau tragedi. Menurutnya, beberapa pengunjung memiliki koneksi dengan peristiwa sebab dirinya merupakan penyintas, saksi, atau saudara korban bencana.
“Pengunjung lainnya mempunyai ketertarikan dari sisi budaya juga intelektual. Mereka ingin memahami apa yang terjadi serta mencari tahu hubungan tragedi dengan peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya. Selain itu, ada pula orang yang tak memiliki koneksi apapun dengan tempat atau peristiwa tapi datang ke sana sebagai turis dan tujuannya untuk berekreasi,” jelasnya.
Elemen tamasya dalam disaster tourism, lebih lanjut menurut Kevin Fox Gotham, membuat wisata jenis ini dianggap mengeksploitasi, tidak sensitif, dan voyeuristic alias menjadikan kesusahan orang lain sebagai sumber kenikmatan pribadi. Di samping itu, wisata bencana juga dipandang sebagai bentuk pengeruk keuntungan dengan cara mengkapitalisasi kemalangan korban.
Tapi, Gotham mengatakan bahwa ada pihak yang menilai wisata bencana justru bermanfaat sebab bisa dipakai untuk sarana edukasi. Kesimpulan ini ia dapatkan setelah melakukan penelitian terhadap masyarakat Lakeview di New Orleans, Amerika Serikat, yang menjadi korban Badai Katrina pada tahun 2005. Menurut Gotham, pariwisata di Lakeview adalah sebuah kritik halus yang bertujuan membangkitkan kesadaran global akan bencana. Selain itu, disaster tourism juga dipakai untuk menarik empati orang serta mengumpulkan dukungan publik agar kota kembali pulih.
Di Indonesia, contoh disaster tourism yang eksis hingga kini adalah objek wisata Lava Tour yang terletak di Gunung Merapi. Zein Mufarrih Mukraf dalam “Wisata Bencana: Sebuah Studi Kasus Lava Tour Gunung Merapi” (2017) menjelaskan bahwa Gunung Merapi yang berada di antara Jawa Tengah dan Yogyakarta ini merupakan gunung teraktif di Pulau Jawa. Gunung Merapi terakhir meletus pada 2010 dan memuntahkan material vulkanik sebanyak 140 juta m3.
Lava Tour, lanjut Zein, adalah salah satu atraksi wisata yang ditawarkan masyarakat di lereng Gunung Merapi. Ada beberapa destinasi yang bisa dikunjungi di Lava Tour, di antaranya Bungker Kali Adem, Batu Alien, petilasan Mbah Maridjan, makan Mbah Maridjan, dan Museum Sisa Hartaku. Dengan menumpang mobil jip, wisatawan bakal diajak mengunjungi tempat di atas sekaligus merasakan sensasi off-road di Kali Kuning.
Zein mengatakan Lava Tour telah memperbaiki ekonomi masyarakat di Dukuh Pangukrejo usai erupsi Gunung Merapi tahun 2010. “Wisata bencana secara konkret menjadi bagian dari resilience (daya tahan) komunitas. Dengan dibangunnya wisata Lava Tour, masyarakat bisa bertahan dan mengembalikan ekonominya secara mandiri. Disaster tourism, rekonstruksi, dan ketahanan menjadi saling terkait satu sama lain,” terangnya.
Peneliti asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut menjelaskan wisatawan bakal menerima informasi dari supir jip (yang juga penyintas erupsi) tentang hal-hal terkait letusan Gunung Merapi. Komunikasi yang terjalin ini, menurut Zein, apabila dilengkapi dengan penguasaan informasi terkait Gunung Merapi dan dampak erupsi bisa menjadi cara untuk memberikan literasi bencana pada para turis. Apalagi wisata bencana lebih mengutamakan interaksi antara saksi peristiwa dan wisatawan.
Editor: Windu Jusuf