Menuju konten utama

Pro-Kontra Penundaan Perkara Pidana Paslon Selama Pilkada 2018

KPU menyetujui keinginan Kapolri menunda penanganan perkara pidana selama Pilkada 2018 karena berharap proses kampanye tidak terganggu.

Pro-Kontra Penundaan Perkara Pidana Paslon Selama Pilkada 2018
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berbincang saat mengunjungi Polda Maluku, Ambon, Maluku, Senin (13/11/2017). ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan

tirto.id - Kebijakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menginginkan menunda penanganan perkara pidana umum yang mendera pasangan calon pilkada direspons dari penyelenggara dan pegiat pemilihan umum. Ketua KPU Arief Hidayat sepakat agar perkara pidana umum yang menjerat pasangan calon (paslon) dalam Pilkada 2018 ditunda penanganannya.

"Jadi untuk kasus-kasus pidana umum KPU setuju itu di-pending," kata Arief di Cikini, Jakarta, Sabtu (13/1/2018).

Arief menyetujui pandangan tersebut karena berharap proses kampanye tidak terganggu. Ia juga tidak ingin pasangan calon dikriminalisasi oleh pihak tertentu dalam pelaksanaan pilkada.

Meskipun mendukung penundaan pidana umum, Arief mendesak penegak hukum untuk bergerak cepat dalam kasus yang melibatkan pemilu seperti jual-beli ijazah palsu atau money politic. Menurut Arief, kasus pidana politik harus segera ditangani dengan cepat.

"Kalau bagi KPU, pidana umum silakan mau diproses segera atau tidak. Tapi kalau proses yang pidana pemilu harus segera diselesaikan karena ada yang sampai berdampak pada sanksi didiskualifikasi," kata Arief.

Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja sepakat dengan sikap KPU dan Polri yang ingin menunda penanganan perkara untuk kandidat pasangan calon. Senada dengan Arief, Rahmat punya sejumlah pengecualian apabila ada kandidat yang melakukan pidana khusus atau pidana politik.

"Kalau pidana umum saya sih setuju saja. saya, tapi kalau tindak pidana pemilu saya tidak setuju. Politik uang kasus korupsi kalau OTT nggak perlu. Kalau OTT jelas lanjutkan," kata Rahmat Bagja di Cikini, Jakarta, Sabtu.

Namun, respons penolakan pandangan KPU ini juga muncul dari pegiat pemilu. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini berpandangan penegak hukum harus tetap memproses pelanggaran pidana dan perdata para kandidat yang terjerat masalah hukum. Ia menilai, penanganan perkara juga bermanfaat bagi masyarakat selaku pemilih.

"Kami sebagai pemilih, saya sebagai pemilih, tidak sependapat bahwa harus dilakukan penundaan kasus-kasus hukum yang menyangkut kepala daerah. Mengapa? Karena pemilih berhak mendapatkan calon yang betul-betul bebas dari masalah hukum," kata Titi di Cikini, Jakarta, Sabtu.

Ia menilai, publik harus bisa melepaskan diri dari ketakutan tentang ancaman stabilitas dan kriminalisasi. menurut Titi, Polri harus tetap menjalankan proses hukum tanpa perlu berpikir tentang kontestasi pilkada. Ia meminta hukum harus dikedepankan meskipun proses pilkada tetap berjalan.

"Hukum itu harus betul-betul adil, tidak boleh diskriminatif. Politik tidak boleh jadi panglima. Hukum yang harus jadi panglima," kata Titi.

Titi justru memandang situasi pelaporan yang dilakukan banyak pihak kepada salah satu calon sebagai tantangan untuk Polri. Ia beralasan, kepolisian harus bisa menunjukan netralitas dan profesionalisme dalam menangani perkara di masa Pilkada, apalagi tidak ada aturan yang menyatakan penanganan pidana umum harus dihentikan saat pemilu.

"Tanpa itu pun sudah semestinya penegak hukum bekerja sesuai prosedur. Karena di UU sudah ditegaskan setiap perkara harus ditangani dengan profesional oleh penegak hukum," kata Titi menjelaskan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebelumnya mengajak lembaga penegak hukum lain untuk menunda proses hukum terhadap paslon pilkada. Ia beralasan, penundaan dilakukan untuk mencegah kampanye negatif.

"Saya selaku Kapolri mengajak dan mengimbau kepada para penegak hukum lainnya Kejaksaan, KPK koordinasi dengan Bawaslu, mari sama-sama kalau sudah ada penetapan nanti, siapapun yang sudah ditetapkan jangan diganggu mereka dengan pemanggilan proses hukum. Pemanggilan itu bisa mempengaruhi proses demokrasi yang mungkin tidak fair karena mempengaruhi opini publik," kata Tito di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (5/1/2018).

Niatan Tito menunda penanganan perkara bukan tanpa alasan. Pada Pilkada 2017 lalu, mantan Kapolda Metro Jaya itu sempat dihadapkan permasalahan kasus dugaan pelanggaran pidana umum yang dilakukan kandidat pasangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Ia mengaku saat itu ingin kasus penistaan agama yang mendera Ahok bisa ditunda sampai sampai pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta selesai. Tito enggan menangani perkara yang menjerat calon kepala daerah karena menjaga netralitas Polri dalam pilkada.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari