Menuju konten utama

Presiden Jokowi Mewanti-wanti Jangan Lemahkan KPK

Presiden mewanti-wanti kepada semua pihak untuk tidak melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Presiden Jokowi Mewanti-wanti Jangan Lemahkan KPK
Anggota Koalisi Tolak Hak Angket KPK memperlihatkan berkas laporan usai membuat pelaoran kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/6). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Presiden Joko Widodo mewanti-wanti kepada semua pihak untuk tidak melemahkan KPK. Menurut Presiden, lembaga ad hoc masih dibutuhkan negara dalam upaya memberantas korupsi saat ini.

"KPK harus kuat dan upaya pemberantasan korupsi juga tidak boleh mengendur, karena negara kita masih memerlukan upaya yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi," kata Presiden seperti dikabarkan Antara, Selasa (13/6/2017).

Presiden menyarankan, agar masing-masing pihak dapat menyelaraskan konsep serta mengambil keputusan yang tepat terkait KPK, bukan sebaliknya melemahkan lembaga antirasuah itu.

"Pemikiran tersebut harus menjadi sebuah landasan dalam rangka upaya kita bersama untuk pemberantasan korupsi," jelas Jokowi.

Jokowi juga mengimbau jika KPK butuh perbaikan, maka hal itu dilakukan dengan landasan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, tujuh fraksi di DPR secara resmi mengirimkan anggotanya untuk masuk sebagai anggota Panitia Khusus Hak Angket untuk KPK. Tujuh fraksi itu antara lain Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai PAN.

KPK menyoroti keabsahan hak angket. Menurut KPK, sesuai ketentuan pasal 201 UU MD3, unsur angket harus terdiri dari semua anggota fraksi. Hal itu berarti semua fraksi harus menyampaikan anggotanya agar Pansus Angket memenuhi ketentuan UU.

Usulan hak angket ini mencuat, saat KPK menyelidik kasus korupsi e-KTP. Sejumlah nama anggota DPR terseret dalam kasus ini. Saat rapat dengar pendapat pada Rabu, 19 April, DPR meminta KPK membuka rekaman penyelidikan terhadap anggota Komisi II Miryam S Haryani. Namun KPK enggan menuruti desakan DPR tersebut. KPK beralasan, rekaman penyelidikan hanya bisa dibuka di persidangan.

Sementara itu pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.

Dalam kasus lain, KPK juga sedang menyelidiki dugaan korupsi kasus alat kesehatan dengan terdakwa mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah S. Dalam persidangan dana korupsi itu mengalir ke Dewan Pembina Partai Amanat Nasional, Amien Rais.

Belakangan PAN yang menolak hak angket KPK berbalik arah mengirimkan perwakilannya dalam Pansus Hak Angket KPK yang telah resmi terbentuk.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH