Menuju konten utama

PRAKARSA Nilai Kebijakan Tapera Bebani Pekerja dan Tidak Jelas

PRAKARSA menilai kebijakan pemerintah lewat pemotongan iuran Tapera tidak tepat karena akan membebani pekerja.

PRAKARSA Nilai Kebijakan Tapera Bebani Pekerja dan Tidak Jelas
Pekerja berjalan di proyek pembangunan perumahan di Batam, Kepulauan Riau, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/aww.

tirto.id - Lembaga kebijakan publik The PRAKARSA mengapresiasi niat baik pemerintah dalam menyediakan rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Akan tetapi, kebijakan pemerintah lewat pemotongan iuran Tapera tersebut tidak tepat karena akan membebani pekerja.

“Niat baik pemerintah untuk menyediakan rumah bagi pekerja melalui ‘Tapera’ melalui skema iuran sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan untuk perumahan harus ditinjau ulang karena skema iuran justru hanya akan membebani pekerja,” kata Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (30/5/2024).

Maftuh melihat skema dasar penghitungan yang ditawarkan pemerintah tidak jelas. Ia melihat pemerintah tidak menjelaskan detail bentuk rumah yang diterima dari program tersebut. Ia juga mengatakan skema penyediaan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja daripada lewat konsep Tapera.

“Belum lagi ketika mengiur, pekerja tidak langsung bisa menempati rumah karena harus mengiur dalam periode tertentu dulu. Lain halnya dengan skenario hipotek konvensional atau bantuan rumah bersubsidi di mana pekerja dapat menempati rumahnya sembari membayar cicilan,” tambah peneliti kebijakan publik The PRAKARSA, Eka Afrina.

PRAKARSA mengkaji penerapan aturan Tapera sebagaimana dalam PP 21 tahun 2024 sebagai dasar Tapera. Mereka menilai, skema penyimpangan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu tidak realistis.

PRAKARSA melakukan simulasi, jika jangka waktu minimal iuran yang diberlakukan selama 20 tahun, maka kepemilikan rumah oleh pekerja akan sangat sulit direalisasikan. Hal ini tidak lepas masih ada risiko inflasi dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.

PRAKARSA memperkirakan tingkat inflasi selama 20 tahun ke depan adalah tugas yang sangat menantang dan penuh dengan ketidakpastian. Inflasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, politik, dan sosial yang sulit diprediksi dengan akurasi tinggi.

Namun, kata dia, kita dapat melihat data historis dan proyeksi ekonomi dari berbagai sumber untuk memberikan gambaran kasar menggunakan rumus Cumulative Inflation = (1 + r)^n – 1. Jika proyeksi konservatif inflasi rata-rata sekitar 2% hingga 3% per tahun bisa digunakan sebagai dasar. Ini berarti tingkat inflasi kumulatif selama 20 tahun ke depan bisa berada di kisaran 50% hingga 80%.

“Nominal akumulasi iuran dan hasil pemupukannya jika dihitung berdasarkan proyeksi inflasi pada 20 tahun yang akan datang, maka nominal iuran dari pekerja menjadi tidak ada artinya dan tidak mungkin cukup digunakan untuk mendapatkan rumah di masa depan," ucap Eka.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kondisi lainnya seperti struktur pasar kerja gig ekonomi dan prekariat, gen Z yang tidak bekerja, krisis iklim yang mengakibatkan ketidakpastian dari pemberi kerja dan stabilitas investasi dalam jangka panjang. Kondisi-kondisi ini harus diperhitungkan karena berkaitan dengan risiko dan imbal balik dari investasi.

Sementara itu, Maftuch juga menyayangkan proses perumusan kebijakan yang dilakukan kurang transparan dan partisipatif. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya informasi yang sampai kepada masyarakat.

“Perumusan kebijakan seharusnya dilakukan secara transparan dan melibatkan unsur masyarakat sipil, pekerja dan pemberi kerja. Selain itu, informasi di dalam PP juga tidak lengkap, sehingga informasi yang tidak jelas ini semakin membuat pekerja tidak jelas,” kata Maftuch.

Publik saat ini tengah mengkritik rencana pemerintah menerapkan Tapera. Hal ini tidak lepas dari rencana pemerintah memaksa warga untuk membayar iuran 3 persen dengan komposisi 0,5 persen pengusaha dan 2,5 persen pekerja. Sementara itu, untuk Pekerja Mandiri, mereka wajib membayar iuran sebesar 3% dan ditanggung sendiri.

Hal itu berlaku setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP No. 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 lalu. PP ini menjadi dasar hukum agar pekerja membayar iuran untuk perumahan.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz