tirto.id - Pada 10 Oktober 2019 Prabowo Subianto diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara. Kehadiran bekas capres dua kali itu mengundang asumsi bahwa partainya akan masuk jajaran kabinet Presiden Jokowi periode kedua.
Esoknya Prabowo mulai melakukan kunjungan politik ke sejumlah partai pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin. Ia datang ke rumah Megawati Soekarnoputri (PDIP), Suharso Monoarfa (PPP), Surya Paloh (Nasdem), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Airlangga Hartanto (Golkar).
Satu hari setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden, Ketua Umum Partai Gerindra itu kembali datang ke Istana dan mengaku diminta Jokowi untuk bergabung dalam Kabinet Kerja jilid 2. "Dan kami sudah sanggupi membantu," kata Prabowo di Istana Negara, Senin (21/10/2019).
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin akhirnya mengumumkan susunan kabinet di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (23/10/2019) pagi. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto resmi diangkat menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) dalam Kabinet Indonesia Maju.
Para elite itu boleh saja bersekutu setelah mereka bertarung habis-habisan dalam pileg dan pilpres. Tapi tidak ingatkah keduanya akan pembelahan pemilih atas dasar agama (religius cleavage) yang mereka bentuk sepanjang 2014 hingga 2019?
Pembelahan Etnis dan Religius yang Kentara
Tirto menghimpun data perhitungan suara Pemilihan Presiden dari situs KPU per 15 Oktober 2019. Dari data tersebut, ditemukan bahwa Jokowi-Amin berhasil menang di 21 provinsi, yakni Papua, Bali, NTT, Papua Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Maluku, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta.
Sementara itu Prabowo-Sandiaga menang di 13 provinsi, yakni Sumatra Barat, Aceh, NTB, Kalimantan Selatan, Banten, Riau, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Bengkulu.
Pada Pilpres 2014 Jokowi berhasil memenangi 23 provinsi, sedangkan Prabowo hanya memenangi 10 provinsi. Ada empat provinsi yang tadinya memenangkan Jokowi bergeser ke Prabowo pada 2019, yakni Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Jokowi banyak menang di daerah Indonesia Timur, termasuk Sulawesi. Dibanding 2014, Jokowi mampu menggandakan suara di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo, tetapi harus kehilangan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Jokowi juga menang di Bali, provinsi dengan penduduk beragama mayoritas Hindu. Di Bali, Jokowi hampir mendulang suara besar, yaitu 91,68 persen. Peningkatan yang signifikan dibanding 2014 ketika ia menang 71,42 persen.
Jokowi juga mempertebal kemenangan di Indonesia bagian timur. Di NTT, bekas Wali Kota Surakarta ini meningkatkan kemenangan dari 31,8 persen pada 2014 menjadi 88,54 persen pada 2019. Jokowi juga melakukan hal sama di provinsi Papua dan Papua Barat.
Sementara itu Prabowo menambah suara yang signifikan di Aceh dan Sumatra Barat—dua wilayah berlandaskan syariat Islam dan perda syariah. Pada 2014 margin kemenangan Prabowo di Aceh hanya 8,79 persen dan pada 2019 margin itu meningkat signifikan jadi 71,15 persen. Hal yang sama juga terjadi di Sumatra Barat dengan margin kemenangan yang meningkat dari 53,84 persen pada 2014 menjadi 71,82 persen.
Lumbung suara Prabowo adalah Jawa Barat dan Banten. Jawa Barat merupakan provinsi dengan pemilih terbesar di Indonesia. Pada 2014 selisih suara Prabowo dengan Jokowi adalah 19,57 persen. Tahun ini, selisihnya adalah 19,85 persen. Sementara itu, di Banten, daerah asal Ma’ruf Amin, perolehan suara Prabowo naik. Pada 2014 Prabowo memenangi Banten dengan selisih 14,20 persen. Tahun ini, selisihnya melebar menjadi 23,03 persen.
Memang tak seluruh daerah berpenduduk mayoritas muslim memenangkan Prabowo. Jokowi juga mendulang suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur—dua provinsi yang mayoritas penduduk muslim. Di kedua daerah ini, Jokowi tidak hanya menang pada 2019, tapi juga mendulang suara yang lebih besar dibanding Pilpres 2014.
Seperti yang ditulis Tom Pepinsky melalui kolomnya di Tirto, kemenangan Jokowi di Jateng dan Jatim lebih masuk akal dibaca karena kedua daerah ini dihuni banyak orang Jawa. Tom menjelaskan bahwa tidak hanya pembelahan agama yang terjadi pada Pilpres 2019, namun juga pembelahan etnis. Kasusnya seperti di Jateng, Jatim, dan Yogyakarta.
"Secara keseluruhan, pola-pola yang digambarkan secara konsisten menunjukkan pembelahan antara muslim dan non-muslim, juga antara etnis Jawa dan non-Jawa. [...] Jokowi tidak hanya menang di daerah-daerah berpenduduk mayoritas Jawa pada 2019, ia juga mempertebal kemenangannya di hampir seluruh daerah berpenduduk mayoritas Jawa," catat Pepinsky.
Berdasarkan data yang dipaparkan, polarisasi berdasarkan identitas religius semakin mendalam dibanding Pilpres 2014. Prabowo mampu memenangkan hati orang-orang di provinsi dengan kehidupan keislaman yang kental, seperti Sumatra Barat, Aceh, Banten, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat. Sementara Jokowi mengukuhkan kemenangannya di Bali, NTT, Papua, dan Papua Barat—empat provinsi dengan penduduk mayoritas Hindu dan Kristen.
Politik Identitas dan Permainan Oligarki
Pilpres sudah membuat masyarakat jadi terbelah, mulai dari kampanye dengan penggunaan sentimen identitas oleh kedua kubu, penyebaran hoaks dan berita palsu sepanjang tahun politik, hingga penyesatan informasi lewat media sosial yang membuat orang hanya bertukar informasi dengan mereka yang punya pilihan politik yang sama.
Ilmuwan politik Made Tony Supriatma berpendapat penyebab pembelahan elektorat di atas adalah kampanye dengan penggunaan sentimen identitas secara besar-besaran dan berkepanjangan oleh kedua kubu.
"Tidak ada lagi afiliasi silang (cross-cutting affiliation), yang dalam ilmu sosiologi disebut sebagai fondasi masyarakat modern. Orang semakin terkonsolidasi dalam kubunya masing-masing dan memandang orang di luar kubunya sebagai lawan yang akan memusnahkannya," demikian Made menulis dalam kolomnya di Tirto.
Penajaman politik identitas di kedua kubu semakin parah oleh kehadiran para buzzer dan influencer. Hal ini dikatakan oleh Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah. Meski kedua kubu sama-sama membantah memakai isu politik identitas, Hurriyah mengatakan, kedua kubu justru berperan dalam menciptakan politik identitas. Apalagi ditambah dengan kehadiran buzzer yang saling serang sehingga membuat isu identitas semakin ramai.
"Fenomena industri konsultan politik, influencer, buzzer, dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk polarisasi politik dan polarisasi isu-isu identitas," kata Hurriyah di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (2/3/2019).
Menurut Hurriah, isu ini hampir sama antara pusat (Jakarta) dan daerah. Kedua kubu sama-sama memakai sentimen agama mayoritas agar mendapat keuntungan. Hurriah menuturkan, penggunaan politik identitas ini juga karena masa kampanye yang sangat panjang.
"Dalam persepsi kedua tim ini membuat mereka harus berpikir keras menyusun strategi memainkan psikologi massa pemilih. Dan yang paling mudah adalah politik identitas," tegasnya lagi.
Sebenarnya tidak hanya masyarakat yang terbelah dalam konteks Pilpres 2019, tapi juga bagaimana nasib partai-partai dan ormas-ormas pendukung Prabowo-Sandiaga. Ketika Prabowo dan Jokowi bersekutu, mereka tak punya medium yang kuat untuk menyuarakan kegelisahan terhadap kinerja pemerintah.
Tapi apa lacur, Jokowi sudah mengumumkan nama-nama menterinya dan spekulasi yang selama ini berkembang menjadi kenyataan: elite oligarki telah bersatu. Maka tak keliru bila publik menganggap bahwa selama ini yang terjadi tak lebih dari sandiwara politik semata.
Editor: Ivan Aulia Ahsan