tirto.id - Sejak pembelian tiket acara TV “Saturday Night Live (SNL)” dibuka pada Senin 8 April 2019, antrean langsung mengular di sekitar Rockefeller Plaza New York. Antrean terjadi sejak pagi. Mereka membawa kursi dan matras, serta rela meninggalkan tempat kerja demi mendapatkan satu tiket untuk menyaksikan langsung acara besutan NBC (National Broadcasting Company) khusus di episode 13 April 2019, demikian laporan Billboard.
Untuk pertama kalinya, acara TV itu mengundang boyband asal Korea Selatan yang sedang naik daun di Amerika Serikat, yakni BTS atau Bangtan Boys—selain menghadirkan juga Aktris Emma Stone dan Aktor Michael Keaton. Ini menjadi momen langka bagi para penggemarnya di AS karena dapat berjumpa langsung dengan idolanya tanpa harus menempuh perjalanan 11.000 km untuk sampai di Seoul.
CNN mengabarkan pada malam itu BTS berhasil mengguncang SNL. Pekikan dan tepuk tangan para penonton menghiasi sepanjang 90 menit acara. Di media sosial, tagar #BTSxSNL menjadi trending topic di berbagai negara.
Tampilnya BTS di salah satu acara TV AS itu mengindikasikan kebangkitan K-pop di Negeri Paman Sam. “Kebangkitan untuk melawan Barat yang selalu dianggap mendominasi globalisasi budaya,” tulis Lisa M. Longenecker dan Jooyoun Lee dalam “The Korean Wave in America: Assesing the Status of K-pop and K-drama between Global and Local” (PDF)
Besar Bersama Penggemar
BTS bukan musikus asal Korsel pertama yang terjun dalam industri musik AS. Menurut media budaya populer AS Nylon, sejak memasuki abad ke-21, sudah banyak musikus Korsel yang hadir di AS, di antaranya Girl’s Generation, BoA, Rain, dan Wonder Girls.
Baru pada tahun 2012, perhatian publik AS kepada industri K-pop mulai membesar ketika PSY membawakan lagu yang kemudian viral berjudul “Gangnam Style”. Dari sini, masyarakat AS mulai mengetahui bahwa Korsel memiliki industri hiburan yang cukup menguntungkan.
Kehadiran BTS menjadi titik balik perkembangan K-pop di AS. Terlebih setelah boyband yang dibentuk pada 2013 itu mendapatkan penghargaan sebagai Top Social Artist di Billboard Music Awards pada 2017.
Atas pencapaian itu, nama BTS semakin naik daun hingga berhasil menjadi bintang tamu di acara bergengsi dan meraih penghargaan di berbagai ajang.
Apa yang dilakukan BTS dalam melawan dominasi musik Barat?
Musik Korsel kontemporer sebetulnya tidak berdiri sendiri sebagai suatu produk budaya. Dalam K-Pop: The International Rise of The Korean Music Industry (2015) yang disunting Jung Bong Choi dan Roald Maliangkay disebutkan, musik Korseljuga mengadopsi dan mengadaptasi aspek budaya AS melalui rangkaian pertukaran budaya.
Pertautan ini terjadi pada dekade 1950-an ketika AS terlibat dalam politik Korsel setelah Perang Korea. Dari sini, banyak musisi Korsel yang menjadi akrab dengan genre musik Barat, seperti rock dan jazz, yang kemudian meresap dan memengaruhi musik Korsel.
Meski sempat direpresi di era Presiden Park Chung Hee (1961-1979), namun pengaruh Barat dalam musik Korsel semakin menguat ketika pemerintahan sipil membuka gerakan demokratisasi pada 1980-an. Para musikus Korsel menjamur dan leluasa berkarya dengan mengadopsi budaya Barat. Hal inilah yang menjadi peletak dasar perkembangan K-pop hingga kiwari.
Mengutip pernyataan Profesor Dal Yong Jin dari Universitas Simon Fraser di Washington Post, faktor lain yang membuat K-Pop dapat populer terletak pada penyusunan lirik yang repetitif dan disajikan dengan tempo dan ketukan yang pas.
Selain itu, dimasukkan pula lirik berbahasa Inggris, selain bahasa Korea. Dalam kasus BTS, misalkan, band tersebut sudah merilis lagu berbahasa Inggris, seperti “Butter” dan “Dynamite”. Strategi ini juga sejalan dengan kolaborasi BTS dengan Coldplay yang menghasilkan single “My Universe” pada 2021.
Faktor lain yang membuat BTS dapat menciptakan basis penggemar di Amerika Serikat adalah kuatnya interaksi dengan penggemar. Mengutip riset Lisa M. Longenecker dan Jooyoun Lee, BTS telah berhasil merangkul dan memberikan kehangatan emosional kepada para penggemarnya yang disebut ARMY. Mereka kerap menyampaikan pesan harapan dan motivasi kepada para ARMY melalui lirik dan unggahan di media sosial.
Tak hanya itu, mereka juga secara teratur mengunggah aktivitas di balik layar, seperti video latihan menari, ucapan selamat hari raya, dan pesan pribadi kepada penggemar. Perhatian besar ini membekas dan membuat ARMY merasa dipedulikan.
Hal ini lantas mendorong terbentuknya komunitas virtual di media sosial yang menjadi mesin pendulang popularitas boybandyang dipimpin Kim Nam-joon tersebut. Karena BTS menaruh perhatian lebih, maka para penggemarnya pun mati-matian membela idolanya.
BTS juga kerap terjun dalam pelbagai gerakan sosial. Pada tahun 2018, BTS berkolaborasi dengan UNICEF meluncurkan Generation Unlimited, program pendidikan dan pemberdayaan bagi kaum muda. Lalu dalam gerakan Black Lives Matters, BTS juga tidak alpa. Keikutsertaan ini memantik militansi dan kepedulian ARMY terhadap isu-isu politik, sosial, dan kemanusiaan.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi