tirto.id - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menetapkan Robertus Robet sebagai tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian dan mengklaim tidak ada unsur politis dalam penangkapannya.
“Tidak ada (unsur politis), kami profesional. Kami kita tidak boleh mengaitkan fakta-fakta yang ada dengan pemilu dan politik. Semua murni penegakan hukum oleh kepolisian,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jumat (8/3/2019).
Selain itu, Dedi menyatakan penyidik tidak menyangkakan Robet dengan dalih melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Yang menyatakan itu siapa? Bukan kepolisian, polisi tidak pernah menyatakan seperti itu. Pengacaranya yang berikan pernyataan itu, dari awal kami fokus ke pembuktian Pasal 207 KUHP,” sambung Dedi.
Pasal 207 KUHP menyebutkan “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Sebelum menangkap Robet pun polisi telah melakukan gelar perkara yaitu meminta keterangan ahli pidana dan ahli bahasa serta mengidentifikasi video ihwal pernyataan Robet yang diduga menghina TNI.
Dalam pemeriksaan pun dosen Universitas Negeri Jakarta itu mengakui perbuatannya.
“Alat bukti cukup untuk menetapkan ia sebagai tersangka,” kata Dedi.
Polisi menangkap Robet di rumahnya yang beralamat di Mutiara Depok Blok NC No. 7 RT10/13, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019), sekitar pukul 23.30 WIB.
Penangkapan itu berdasarkan surat pemberitahuan penangkapan tersangka Nomor: SPKap/25/III/2019/Dittipidsiber, Robet tak hanya disangkakan Pasal 45 A ayat (2) Jo 28 ayat (2) UU ITE, tapi juga Pasal 14 ayat (2) Jo Pasal 15 UU 1/1946 dan/atau Pasal 207 KUHP).
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno