tirto.id - Cina makin memperluas pengaruhnya di kawasan Asia. Selain memperkuat klaimnya atas wilayah perairan di Laut Cina Selatan, kini Cina turut mengalihkan perhatiannya di sungai-sungai yang terdapat di wilayah semenanjung Indochina serta kawasan Anak Benua yang meliputi India dan Bangladesh. Cina tak hanya mengincar kontrol atas perairan lautan semata, namun juga perairan sungai.
Negara Tirai Bambu ini membangun sejumlah bendungan atau dam raksasa di sungai-sungai besar yang menjadi urat nadi kehidupan di wilayah itu, seperti Sungai Brahmaputra yang hilirnya di India dan Bangladesh, serta Sungai Mekong yang menghidupi negara-negara seperti Laos, Kamboja, dan Vietnam. Sebagai catatan, kedua sungai besar ini memang berhulu di wilayah Cina. Sungai Mekong tercatat sebagai sungai terpanjang di Asia Tenggara, memiliki hulu di Dataran Tinggi Tibet.
Khusus untuk wilayah yang dialiri Sungai Mekong, Cina tercatat telah membangun tiga dam raksasa : dam Miaowei, dam Xiaowan, serta pembangkit listrik tenaga air Jinghong. The Diplomat mencatat, Cina mulai rajin membangun dam sejak 2009. Sebelumnya, Cina telah memiliki dua dam yaitu Manwan yang dibangun pada 1994 dan Dachaoshan (2003). Cina telah berencana untuk menambah tujuh dam lagi di sepanjang aliran Sungai Mekong yang membentang sepanjang 4.350 km.
Keputusan untuk membangun dam-dam raksasa ini dilakukan Cina demi mengamankan pasokan listrik bagi wilayahnya yang memang membentang sangat luas. Menurut laporan Inter Press Service pada 1996, Cina berencana untuk membangun 15 dam raksasa dengan kapasitas hingga 20.730 megawatt.
Proyek ini dimulai dengan pembangunan dam Manwan (selesai pada 1995) untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Kunming. Pasokan listrik itu tak hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk dijual kepada negara-negara tetangga seperti Thailand, Laos, dan Kamboja. Sungai telah menjadi sumber energi dan uang bagi Cina.
Sungai Jadi Kunci
Pembangunan dam raksasa di sepanjang Sungai Mekong harus dipandang sebagai bentuk strategi diplomasi tersendiri oleh Cina. Lewat pembangunan dam-dam di hulu Sungai Mekong, Cina selanjutnya memiliki akses yang luar biasa besar untuk mengontrol banyak hal di wilayah hilir dan Muara Mekong.
Pembangunan dam di wilayah hulu secara otomatis mengurangi debit air Sungai Mekong secara keseluruhan. Sementara itu, air di Sungai Mekong memiliki arti yang sangat vital bagi perekonomian negara-negara di wilayah hilir dan muara seperti Kamboja, Laos, dan khususnya, Vietnam. New York Times mencatat, terdapat 60 juta jiwa penduduk Indocina yang hidupnya bergantung langsung kepada Mekong.
Perekonomian negara-negara tersebut sepenuhnya bergantung kepada sungai Mekong. Sungai ini berperan vital dalam pertanian padi serta perkebunan sayuran serta buah-buahan yang menjadi komoditas utama dari negara-negara ini. Aliran Sungai Mekong juga menjadi surga bagi ikan-ikan air tawar yang menjadi urat nadi bagi para nelayan di sekitar sungai. Wilayah delta Sungai Mekong di Vietnam dan Danau Tonle Sap di Kamboja dikenal sebagai salah satu tempat pembiakan ikan terbaik di dunia.
Dampak negatif dari pembangunan dam raksasa Cina telah diulas dalam jurnal World Rivers Review edisi Desember 2014. Pembangunan dam tersebut, selain berpengaruh pada menurunnya debit air, juga menyebabkan ketidakstabilan suhu air sungai. Sebagai contoh, ketika dam Dachaoshan mulai beroperasi, suhu air sungai di wilayah Chiang Saen, Thailand, menurun drastis. Sebaliknya, hal ini memicu rentang suhu air tahunan di wilayah ini menjadi makin lebar.
Ketidakstabilan suhu air akan berpengaruh kepada beberapa hal : perubahan perilaku ikan, perubahan pola migrasi ikan, dan reproduksinya. Pembangunan dam juga akan menutup jalur migrasi ikan saat bereproduksi maupun mencari makanan. Dam-dam raksasa di wilayah hulu juga akan menghambat aliran endapan unsur hara ke arah hilir. Endapan hara ini mengandung zat-zat yang berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah di wilayah hilir.
Endapan-endapan yang alirannya dihambat oleh adanya dam raksasa juga berfungsi untuk mencegah erosi di sepanjang aliran sungai. Selain itu, unsur endapan ini juga bisa menghalangi naiknya air laut ke wilayah muara atau delta Sungai Mekong yang terkenal subur. Naiknya air laut ke wilayah pertanian tentu saja dapat berakibat fatal terhadap tanaman-tanaman di dalamnya.
Ketakutan atas ancaman turunnya debit air Sungai Mekong kian nyata pada tahun ini. Datangnya fenomena El Nino telah membuat wilayah di sepanjang aliran Sungai Mekong mengalami kekeringan hebat. Seperti diberitakan The Diplomat, kekeringan yang melanda pada awal 2016 ini merusak 160.000 hektar sawah di Delta Mekong. Kekeringan ini berdampak pada sejumlah 600.000 penduduk serta menimbulkan kerugian hingga mencapai 220 miliar dolar AS.
Apa yang dilakukan oleh Cina dalam menghadapi situasi tersebut? Cina rupanya berperan selayaknya sinterklas. Mereka bersedia membuka aliran dam mereka untuk supaya debit air Sungai Mekong bertambah dan mengaliri lahan-lahan yang kekeringan. Dam-dam tersebut dibuka sejak 15 Maret hingga 10 April 2016.
“Mereka yang hidup di sepanjang Sungai Lancang—sebutan Cina untuk Mekong—semuanya bergantung kepada sungai yang sama. Sudah sewajarnya jika kita saling membantu jika ada pihak lain yang membutuhkan,” papar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lu Kang, seperti dikutip dari The Diplomat.
Namun, Cina menolak dipersalahkan atas terjadinya kekeringan yang melanda wilayah hilir Sungai Mekong. Negara ini justru menuding gejala alam El Nino sebagai biang kerok kekeringan di hilir Mekong. Di sisi lain, negara-negara yang terdampak kekeringan juga tidak berani menuding langsung ke hidung Cina.
Sebaliknya, negara-negara tersebut justru cenderung berterima kasih atas upaya Cina membuka dam-damnya. Negara-negara seperti Laos, Kamboja, Myanmar, dan khususnya Vietnam sebagai negara yang paling terdampak, tidak memiliki posisi tawar yang cukup baik terhadap Cina. Selain itu, beberapa dari mereka seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja juga diketahui memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Cina. Persoalan ini akhirnya berujung pada sukarnya mempersatukan kekuatan negara-negara ini dalam menekan Cina.
Bantuan Cina untuk Mekong
Cina tampaknya benar-benar ingin menegaskan dominasinya di Sungai Mekong. Hanya beberapa bulan sebelum membuka bendungannya, Cina telah menginisiasi kerja sama baru untuk negara-negara di aliran Sungai Mekong. Kerjasama yang melibatkan Cina, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam ini disebut Lancang-Mekong Cooperation Mechanism (LMCM) dan telah dirintis sejak 2014.
LMCM adalah mekanisme kerja sama untuk membahas pengaturan sumber daya air di Sungai Mekong. Selain itu, Cina bermaksud untuk menjadikan LMCM sebagai basis kerja sama ekonomi yang lebih luas lagi. LMCM dapat dipandang sebagai pintu masuk bagi Cina untuk mengembangkan area perdagangan Jalur Sutera (Silk Road) yang membentang dari Cina hingga Semenanjung Malaya.
Berbeda dengan mekanisme kerja sama antar pemerintah lain yang sudah terlebih dahulu ada, seperti Mekong River Commission (MRC), LMCM sepenuhnya didukung oleh Cina sebagai aktor non-ASEAN. Selain itu, Cina juga siap menggelontorkan banyak dana untuk LMCM, tidak seperti MRC yang selalu didera kesulitan pendanaan.
Pada pertemuan pertama yang berlangsung pada 22-23 Maret 2016, Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, langsung mengumumkan pemberian pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar AS dan kredit pembiayaan infrastruktur hingga mencapai 10 miliar dolar AS bagi negara-negara yang masuk dalam LMCM.
“Cina akan selalu menjaga komunikasi dengan negara-negara terkait dalam konteks manajemen sumber daya air serta penanganan bencana. Kami siap berkoordinasi untuk melakukan kerja sama di level praksis, sehingga kami pun dapat berkontribusi langsung kepada mereka yang tinggal di sepanjang Lancang-Mekong,” papar Juru Bicara Menteri Luar Negeri Cina, Lu Kang.
Cina telah selangkah lebih maju dari negara manapun dalam perebutan pengaruh di semenanjung Indocina. Di sisi lain, ASEAN sebagai entitas antar negara di Asia Tenggara pun belum mampu menyamai langkah Cina dalam menghadapi isu daerah aliran Sungai Mekong. Langkah Cina kali ini pun akan membuka jalan bagi strategi-strategi diplomasi lain di masa depan.
“Isu air adalah permasalahan yang sangat besar bagi Cina. Dan jika negara ini sudah bergerak, mereka tidak akan setengah-setengah. Apabila mereka sudah berinvestasi besar-besaran di wilayah ini, tentu saja mereka takkan mengorbankan kepentingan mereka demi keuntungan negara-negara di hilir Mekong,” pungkas William Laurance, direktur Centre for Tropical Environmental & Sustainability Science di James Cook University, Cairns, Australia.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Suhendra