tirto.id - Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada pemilihan umum presiden 2014 melambungkan berbagai harapan akan perubahan kebijakan di banyak bidang, termasuk politik luar negeri. Hampir lima tahun berselang, apakah harapan itu terwujud?
Jokowi yang tak punya latar belakang elite dipandang sebagai wajah segar dalam politik Indonesia. Majalah Time edisi 16 Oktober 2014, misalnya, memajang besar-besar wajah close-up Jokowi dengan judul yang tak kalah bombastis: “A New Hope.”
Beberapa bulan awal masa kepemimpinannya, Jokowi berusaha menjawab segala harapan tersebut dengan cukup meyakinkan. Seperti ditulis oleh Nithin Coca dalam esainya di The Intrepreter, Jokowi melontarkan pernyataan dalam pidatonya pada ulang tahun ke-60 KTT Asia-Afrika. Ia menyatakan pentingnya tatanan global yang lebih adil dan tidak hanya didominasi oleh beberapa negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Cina. Coca menyebutnya "Sukarno-like moment" alias momentum yang mirip Sukarno.
Tatanan global yang lebih adil, ucap Jokowi, dapat tercapai melalui reformasi di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya dalam hal penanganan kekerasan tanpa adanya mandat dari PBB, masalah yang hingga kini memang menjadi kendala bagi lembaga antar bangsa tersebut untuk bertindak dalam kasus-kasus yang melibatkan korban jiwa dalam jumlah besar seperti potensi genosida. Dalam hal ini, Jokowi menyoroti masalah kemerdekaan Palestina di mana PBB tidak dapat melakukan apa pun meski masyarakat Palestina menderita.
“Dunia tidak berdaya melihat Palestina menderita karena penjajahan. Kita tidak bisa berpaling dari penderitaan rakyat Palestina,” sebut Jokowi. “Sebagai negara demokrasi terbesar, Indonesia siap memainkan peran global. Indonesia siap kerja sama dengan semua pihak.”
Sayangnya, Coca menilai bahwa hal tersebut sekadar retorika. Indonesia, tulis Coca, memang menindaklanjuti seruan Jokowi tersebut. Sayangnya tak banyak yang dilakukan karena Jokowi memang tak pernah bermaksud menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dunia atau mengambil langkah tegas dalam politik internasional.
Lantas, apakah yang menjadi fokus dari kebijakan luar negeri Jokowi?
Ke Dalam Negeri
Melansir makalah kerja Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berjudul “Analisis Kinerja Kementerian Luar Negeri Indonesia (2015-2018)” oleh Fitriani dan Vido Chandra Panduwinata, terdapat lima pilar kebijakan luar negeri Indonesia berdasarkan visi Nawa Cita yang dicanangkan oleh Jokowi pada awal masa jabatannya.
Pilar pertama adalah keamanan dan perdamaian. Pilar kedua, sementara itu, adalah diplomasi ekonomi. Pilar ketiga adalah perlindungan warga negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri. Pilar keempat adalah kerja sama Association of South East Asian Nations (ASEAN). Yang terakhir adalah diplomasi maritim.
Para komentator menilai diplomasi ekonomi inilah yang kemudian menjadi fokus utama kebijakan luar negeri Jokowi, seiring upayanya memusatkan kebijakan pada pengembangan ekonomi Indonesia jangka panjang, salah satunya melalui pembangunan infrastruktur.
Dalam catatan singkatnya yang dimuat di situsweb ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada, Siti Widyastuti Noor menyatakan salah satu kebijakan luar negeri yang nampak terkait diplomasi ekonomi adalah kebijakan diversifikasi pasar ekspor. Di bawah Jokowi, tulis Noor, Indonesia mulai memperluas negara tujuan ekspor seiring pembangunan hubungan ekonomi yang lebih erat dengan sejumlah negara di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.
Visi diplomasi ekonomi Jokowi ini bahkan sudah dikemukakan selama kampanye. Mengutip Kompas, pada Mei 2014, misalnya, Jokowi mengutarakan ide bahwa 80-90 persen kegiatan duta besar Indonesia di luar negeri sebaiknya adalah terkait urusan bisnis. Ide ini ia cetuskan setelah berkaca dari praktik yang dilakukan oleh sejumlah duta besar dari negara lain yang telah bertemu dengannya, salah satunya oleh duta besar Cina.
“Duta besar-duta besar Cina itu datang ke pasar betul-betul menjual, bukan lagi mempromosikan. Makanya produk mereka ada di mana-mana,” sebutnya.
Hal serupa ia sampaikan dalam acara rapat kerja di Kementerian Luar Negeri setelah pelantikan pada Februari 2015. Ia menekankan kepada seluruh perangkat Kementerian Luar Negeri mulai dari duta besar, diplomat hingga kepala perwakilan untuk fokus pada diplomasi ekonomi. Dia mengharapkan, melalui praktik diplomasi ini, neraca perdagangan dapat menjadi positif dan investasi asing langsung (FDI/Foreign Direct Investment) dapat lebih banyak masuk ke Indonesia.
Hal ini konsisten dilakukan oleh Jokowi sepanjang pemerintahannya. Pada November 2018 lalu, misalnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah telah memberikan pembekalan terkait cara mempererat hubungan dagang kepada calon duta besar Indonesia.
Hasilnya, dalam penyampaian kinerja Kemenlu pada Januari 2019 lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengklaim bahwa capaian angka perdagangan Indonesia dengan sejumlah pasar non-tradisional yakni di negara-negara kawasan Amerika Selatan hingga Eropa Timur naik 100 persen dari empat tahun lalu.
Dilansir CNBC, tingkat realisasi penanaman modal asing (PMA) juga terus meningkat dan memuncak pada kuartal IV-2017 mencapai angka Rp112 triliun. Namun, pada 2018 angka tersebut menurun. Pada kuartal III-2018, angka PMA mencapai titik terendah sejak kuartal I-2015 yakni Rp89,1 triliun. Total investasi pada kuartal tersebut mencapai Rp173,8 triliun, atau turun 1,6 persen dibandingkan kuartal III-2017.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan hal ini terjadi karena fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, neraca perdagangan negatif dalam periode Januari-September 2018, serta perang dagang Cina-AS.
Coca menilai, absennya Jokowi dalam setiap penyelenggaraan sidang umum PBB (yang sangat kontras dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) juga mengindikasikan bahwa memang kebijakan Indonesia luar negeri Indonesia lebih memprioritaskan untuk melihat ke dalam negeri.
Citra Islam
Kondisi politik dalam negeri memiliki pengaruh secara tidak langsung pada kebijakan luar negeri Jokowi.
Serangan terhadap keislaman Jokowi sejak pilpres 2014 serta kekalahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu menunjukkan penguatan politik identitas Islam di tanah air. Sejak itu Jokowi terus berusaha mengangkat citra Islamnya di hadapan publik dalam negeri. Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019 mempertegas langkah tersebut.
Upaya Jokowi, tulis Coca, juga ditransformasikan di bidang kebijakan luar negeri. Dalam Dewan Keamanan PBB, misalnya, Indonesia dan Kuwait menyusun rancangan resolusi untuk mengutuk aksi Israel yang tidak memperpanjang izin tinggal bagi tim pemantau internasional di Kota Hebron, Palestina.
Sebagai catatan, Indonesia baru saja kembali menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sejak Januari 2019.
Tak hanya itu, Indonesia juga mengkritik keras kebijakan AS dan Australia yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sebuah langkah yang dinilai populer bagi citra pemerintahan Jokowi di dalam negeri.
Jokowi juga mengeluarkan kebijakan terkait kasus pembantaian Rohingya di Myanmar. Mengutip laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul “Indonesia and The Rohingya Crisis,” dalam sebuah konferensi pers pada 3 September 2017 Jokowi mengumumkan telah menginstruksikan Menlu Retno untuk melawat ke Myanmar dan mendesak pemerintah setempat untuk menghentikan kekerasan, melindungi pemeluk agama Islam, dan menjamin akses organisasi kemanusiaan.
Pada saat yang hampir bersamaan, di dalam negeri, memang terdapat desakan dari sejumlah elemen masyarakat. Salah satunya adalah peserta Aksi 212 yang tergabung dalam Aksi Bela Rohingya. Mereka menggelar sejumlah aksi protes, salah satunya di depan kedutaan besar Myanmar di Jakarta.
Sejumlah langkah diplomasi sesungguhnya telah dilakukan oleh Menlu Retno jauh sebelumnya. Pada Januari 2017, misalnya, Kemenlu telah mencoba melakukan komunikasi intensif dengan Myanmar dan Bangladesh, menjembatani komunikasi kedua negara yang terus memburuk.
Mangadar Situmorang dalam studinya berjudul “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Pemerintahan Jokowi-JK” (2015) menilai bahwa Jokowi memang perlu mengambil hati rakyat agar dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lawan-lawan politiknya.
Editor: Windu Jusuf