tirto.id - Kepolisian akan menjemput Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Ma'arif jika dirinya mangkir lagi dari panggilan Polresta Surakarta, Jawa Tengah (Jateng).
Ma'arif seharusnya menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran kampanye saat Tabligh Akbar PA 212 di Surakarta pada Minggu (13/1/2019) lalu.
"Jadi tetap, secara teknis Polresta Surakarta yang akan melakukan pemanggilan lagi. Kalau dia tidak datang, pasti akan dijemput," ujar Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019).
Sebelumnya Ma'arif sudah dua kali tak memenuhi panggilan polisi. Pemanggilan pertama Slamet pada 15 Februari, namun dirinya mengatakan saat itu tengah memenuhi undangan untuk berdakwah di luar kota.
Kemudian pemanggilan kedua, pada 18 Februari, Ma'arif mangkir lagi. Saat itu Ma'arif berdalih tengah dalam kondisi sakit dan tidak bisa memenuhi panggilan polisi. Sehingga, kata Dedi, dari pihak pengacaranya mengajukan untuk menunda pemeriksaan.
Namun, jika Ma'arif menunda-nunda panggilan, Dedi mengatakan Polisi tidak mungkin melakukan pemeriksaan. "Kemudian saat proses penyidikannya, ada penundaan dua kali apakah itu dihitung? Itu ranahnya Bawaslu yg akan memberikan assessment," kata Dedi.
Ketum PA 212, Slamet Ma'arif sebelumnya mengatakan akan kooperatif dalam menjalani proses hukum jika ada panggilan dari kepolisian.
"Nanti ada proses hukum selanjutnya pasti saya akan kooperatif, karena saya dari awal sudah kooperatif," ujarnya saat di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).
Slamet Ma'arif ditetapkan sebagai tersangka pada Minggu (10/2/2019), dalam kasus dugaan pelanggaran jadwal kampanye Pemilu 2019.
Kasus itu terjadi di Solo, saat Slamet berorasi dalam acara Tabligh Akbar PA 212 di Jalan Slamet Riyadi, Gladak, Pasar Kliwon, Surakarta, pada Minggu (13/1/2019).
Dalam acara itu dia diduga menyerukan orang-orang untuk memilih pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dia diduga melangar Pasal 280 ayat (1) huruf a, b, d, e, f, g, h, i, j, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yakni tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Ancamannya adalah pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta (pasal 492 UU Pemilu), atau penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (pasal 521 UU Pemilu).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Agung DH