Menuju konten utama

Polemik Siaran Langsung Persidangan Kasus Ahok

Kasus penistaan agama yang menjerat Ahok memasuki babak baru. Perdebatan tak semata soal Ahok bersalah atau tidak, tapi juga: Apakah sidang mesti disiarkan langsung lewat televisi atau tidak.

Polemik Siaran Langsung Persidangan Kasus Ahok
Polisi melakukan penjagaan lokasi sidang kasus Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin, (12/12). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Mereka yang berkecimpung di dunia hukum tidak merekomendasikan persidangan Ahok disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Ketakutannya, sidang Ahok bakal mirip sidang kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso. Juru Bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, menyoroti empat poin apabila sidang Ahok disaksikan oleh para pemirsa televisi secara langsung.

“Pertama, berpotensi menurunkan martabat dan kehormatan pengadilan serta hakim. Siaran langsung ditakutkan memunculkan penghakiman dari masyarakat yang berujung terganggunya kemandirian hakim,” ujar Farid kepada Tirto, Selasa (12/12).

“Kedua, semakin membuka polemik ruang hukum bagi para pakar hukum di luar ruang persidangan.” Polemik atau perang opini secara terbuka, kata Farid, adalah kasus sensitif yang perlu dihindari.

“Ketiga, ketiadaan sensor. Padahal proses dan fakta persidangan dimungkinkan terjadi. Sebab ada hal-hal sensitif atau memiliki dimensi susila yang tidak sesuai dengan kepatutan untuk dipublikasi secara terbuka.”

Sedangkan alasan terakhir, Farid menjelaskan sesuai dengan ketentuan pemeriksaan, siaran langsung beririsan dengan pelanggaran aturan pemeriksaan saksi menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam pasal itu, saksi-saksi yang diambil keterangannya harus dipanggil satu per satu, dan informasi itu tidak boleh didengarkan saksi lain.

“Hal ini untuk menghindari saksi saling memengaruhi sehingga tidak memberikan keterangan yang seharusnya diberikan. Jika siaran langsung tentu keterangan antar-saksi sudah tidak ada sekat lagi.”

Saran Farid, persidangan siaran langsung hanya pada proses tertentu. Yakni pembacaan tuntutan, pledoi, dan pembacaan putusan.

“Walaupun siaran langsung bersifat terbatas, tidak berarti bahwa sidang itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh,” ucapnya.

Pendapat senada dikatakan Romli Atmasasmita, guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Jika berkaca pada kasus sidang Jessica, dia menegaskan hal itu sudah melanggar asas UU KUHAP tentang peradilan yang mestinya bebas, mandiri, dan tanpa intervensi. Kasus Jessica mengajarkan bahwa siaran langsung berdampak secara psikologi kepada hakim, penuntut, penasihat hukum, dan terdakwa.

“Sikap hakim tampak tidak imparsial dan fair karena telah mengambil sikap yang menunjukkan keyakinan akan kesalahan terdakwa,” kata Romli merujuk sidang Jessica.

Eva Achjani Zulfa, ahli pidana dari Universitas Indonesia, punya kegelisahan sama. Kata dia, berkaca dari sidang Jessica, jika dipaksakan siaran langsung terus-menerus dikhawatirkan persidangan takkan menghasilkan kualitas putusan bagus. Kenapa? Alasan Eva sama seperti Farid, yakni soal saksi.

“Supaya saksi tetap orisinal pendapatnya. Dalam sidang Jessica, ketika saksi yang belum memberikan keterangan sudah mendengar apa yang dinyatakan oleh temannya, dia kan jadi terpengaruh? Jadi ketika dia memberikan pendapat atau keterangan, tidak murni lagi,” kata Eva kepada Tirto.

Para pendukung siaran langsung umumnya berdalih bahwa ratusan ribu bahkan jutaan pemirsa, dari warung kopi hingga ruang keluarga, akan punya akses kontrol leluasa—sebagaimana sifat siaran publik—hingga diharapkan persidangan berjalan menjadi sesuatu yang adil, transparan, imparsial. Bagi Eva, alasan ini memang benar akan tetapi, selain alasan-alasan itu, pengadilan juga punya kepentingan untuk menghadirkan alat bukti, keterangan ahli , dan keterangan saksi yang harus murni. Dan ini mesti jadi prioritas.

Debat di Kalangan Media

Perdebatan siaran langsung atau tidak ini sudah didiskusikan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja pers pada hari Jumat lalu, (9/12), di Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Yoseph Adi Prasetyo dari Dewan Pers mengimbau agar saluran televisi tidak menyiarkan kasus Ahok secara banal. “Ada bahaya besar kalau disiarkan secara langsung,” katanya.

“Saya usulkan, boleh meliput ketika pembacaan dakwaan dan vonis. Pemeriksaan saksi dan ahli sebaiknya tidak. Karena akan membuat dua kelompok masyarakat terbelah berhadap-hadapan."

Pendapat berbeda dari KPI, meski dengan catatan bahwa media harus memperhatikan nilai-nilai profesionalisme ketika sidang Ahok disiarkan langsung atau tidak.

“Pilihan apapun yang akan diambil, media tetap memperhatikan hal-hal yang dipandang dapat menjadi pemicu perpecahan di tingkat publik, sehingga peliputan harus dilakukan secara proporsional,” ujar Ketua KPI Yuliandre Darwis kepada Tirto.

KPI menjanjikan tetap memantau isi penyiaran sidang Ahok. “Jika ada yang melanggar P3SPS akan kami tindak tegas,” katanya. P3SPS kependekan dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, yang memuat pelbagai ketentuan rinci bagi lembaga penyiaran.

Tidak jelas bentuk ketegasan itu seperti apa. Karena jika merujuk pada kasus sidang Jessica, teguran KPI bisa dibilang tanpa gigi. Pada awal-awal sidang Jessica, KPI menegur TVOne, KompasTV dan I-NewsTV. Bukannya berkompromi, tiga stasiun itu malah makin blangsak. Ini sempat dikeluhkan Dewi Setyorini, komisioner KPI bidang pengawasan isi siaran.

"Ternyata durasi penayangan sidang semakin banyak, khususnya di tiga media itu," ujar Dewi. Alhasil surat teguran kedua diajukan, tapi tetap saja tak diindahkan secara serius.

infografik Pro Kontra Live Persidangan Ahok

Adapun Yadi Hendriana dari Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia mengatakan “kebijaksaan” ruang redaksi media bersangkutan seyogyanya menjadi modal utama dalam menyajikan konten yang bertanggungjawab sesuai etika jurnalistik, P3SPS, dan perundangan. Pers memiliki kewajiban melindungi publik dari bias informasi dan tidak membuat keresahan, demikian Yadi.

“Dalam kasus persidangan Ahok, tidak dibenarkan media penyiaran melakukan ‘persidangan di luar sidang; dengan konten yang bisa memengaruhi keputusan majelis hakim, dan memprovokasi publik,” katanya.

Saran-saran itu pada ujungnya bermuara pada kebijakan redaksi setiap saluran televisi: tetap dituruti atau bebal. Dalam rapat di Dewan Pers itu hanya TVOne yang tidak hadir.

Encep S. Yasa, manajer umum pemberitaan TVOne, mengatakan kepada Tirto soal ketidakhadiran perwakilan dari redaksinya. “Kalau enggak salah ada pihak Dewan Pers yang datang ke kantor sehingga kita diskusi di kantor. Jadi bukan karena enggak hadir. Dari Dewan Pers diutus datang ke kantor, kita diskusi di kantor. Waktunya bersamaan,” kata Encep.

Encep akan tetap patuh mengikuti instruksi Dewan Pers maupun IJTI. Mereka juga akan mengikuti tata tertib persidangan sesuai ketentuan. Encep menegaskan, pihaknya akan memenuhi ketentuan persidangan apabila hakim menolak persidangan ditayangkan langsung.

Meski menjanjikan akan menuruti imbauan Dewan Pers, secara eksplisit Encep mengatakan pihaknya sedang berusaha meminta perizinan ke majelis hakim untuk meliput langsung seluruh segmen persidangan.

“Kalau misalnya majelis hakim memberikan izin terbuka, ya, kami kenapa enggak menyiarkan secara langsung? Kalau misalnya majelis hakim memberikan izin pada momen-momen tertentu, ya kita akan ikut dengan majelis hakim. Karena enggak mungkin, kan, majelis hakim tidak membolehkan kita menyiarkan secara langsung,” jelas Ecep.

Jadi, pertanyaannya: beranikah majelis hakim menolak hasrat kru stasiun televisi yang sangat ingin menyiarkan sidang Ahok secara langsung? Dan siapkan majelis hakim dicerca dan dicap sebagai ‘musuh kebebasan pers’? Membolehkan siaran langsung, selain mengabaikan alasan-alasan keberatan di atas, sudah jelas mendatangkan keuntungan bagi televisi berita: ratusan ribu bahkan jutaan pemirsa, rating naik, dan gelombang iklan. Mereka semua adalah tambang uang.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam