Menuju konten utama

P.M Laksono: Ben Anderson Sangat Tertarik dengan Jawa

Ben Anderson sangat tertarik dengan kebudayaan Jawa dan keseniannya, seperti wayang dan tari-tari. Ia bahkan pandai menari, kata P.M Laksono, Antropolog UGM yang merupakan murid Ben Anderson sewaktu masih kuliah di Cornell University, AS. Ia juga mengingat Ben sebagai ahli bongkar pasang pikiran.

P.M Laksono: Ben Anderson Sangat Tertarik dengan Jawa
International Conference , Reviving Benedict Anderson, Imagined (cosmopolitan) communities, 13-14 Januari, Yogyakarta. [Tirto.ID/Aya]

tirto.id - Ben Anderson sangat tertarik dengan kebudayaan Jawa, ia bahkan pandai menari, kata P.M Laksono, Antropolog UGM yang merupakan murid Ben Anderson sewaktu masih kuliah di Cornell University, AS. Ia juga mengingat Ben sebagai ahli bongkar pasang pikiran.

P.M Laksono memaparkan kenangannya selama diajar oleh Ben Anderson di kampus. Menurutnya, Ben memberikan kebebasan pada muridnya untuk berkelana. Ben juga tidak pernah berdebat di hadapan murinya, namun dalam bekerja ia merupakan pekerja keras, contohnya ia rutin setiap hari mendata tentara-tentara Indonesia.

“Itu koleksi yang luar biasa, dokumentasinya sangat luar biasa,” ujar Laksono, dalam pemaparannya di acara bertajuk “International Conference, Reviving Benedict Anderson, Imagined (Cosmopolitan) Communities,” yang diadakan di kompleks kampus Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (13/1/2017).

Laksono mengatakan Ben tidak memiliki metode, ia merupakan pengajar yang menyuruh murid-muridnya untuk bertanya terlebih dahulu dalam belajar. Menurut Ben, kata Laksono, seseorang yang mau belajar harus mampu masuk ajer ajur dalam masalah.

Kenangan tentang Ben Anderson pun diungkapkan oleh Hairus Salim HS, Direktur Yayasan Lkis dan Like Indonesia yang dalam acara konferensi itu memaparkan materi berjudul “Hamka Empat Bulan di Amerika: Menelusuri Relasi Kosmopolitanisme dan Agama.”

Sebelum memaparkan materi, Hairus Salim mengatakan bertemu dengan Ben Anderson dua kali berkat jasa P.M Laksono, yang menjadi dosennya sewaktu ia masih kuliah.

“Yang menarik, Ben tidak memberi kuliah, Ben memberi saya banyak pertanyaan,” ujarnya.

Kenangan Hairus Salim merupakan salah satu pembuktian bahwa sebetulnya Ben memiliki metode, salah satunya ialah dalam memberikan pendidikan yang dimulai dari bertanya dulu.

“Dari Ben, saya sangat terpengaruh sekali dengan caranya memperlakukan karya sastra, biografi, dan lain-lain,”kata Hairus.

Ia mengungkap, materi yang disampaikannya merupakan salah satu bagian dari pengaruh Ben. Ia mengatakan, yang ia lakukan pada karya sastra salah satunya ialah mencari tahu hubungan antara kebudayaan dan intelektual tahun 1950-an.

Hairus yang memiliki minat untuk menelusuri hubungan kebudayaan dan pemikiran kosmopolitan Islam tahun 1950-an, mencari tahu melalui salah satu tokohnya yaitu Hamka dari buku berjudul “Empat Bulan di Amerika.”

Hairus bercerita, buku tersebut tercipta berkat kunjungan Hamka pada tahun 1952 ke Amerika atas undangan pemerintah Amerika.

“Ia mengunjungi beberapa kampus, perpustakaan, pusat keagamaan, pabrik, gedung PBB, redaksi media, dan lain-lain selama hampir empat bulan di seantero Amerika. Kesan-kesan kunjungannya ini, ia tulis dalam dua jilid buku berjudul Empat Bulan di Amerika (1954),” kata Hairus.

Ia menerangkan Hamka adalah seorang penulis dan ulama terkenal. Novel-novel Hamka dibaca sangat luas dan dicetak berulang kali, bahkan hingga sekarang. Hamka juga menulis banyak artikel sosial, budaya, dan agama. Di samping itu, Hamka juga mengelola dan memimpin beberapa majalah kebudayaan Islam, antara lain Pedoman Masyarakat, Hikmah, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Pada tahun 1950-an itu, kata Hairus, Hamka juga merupakan tokoh penting lembaga kebudayaan nasional.

“Melalui majalah-majalah yang ia kelola dan tulisan-tulisannya, serta kedudukannya di berbagai lembaga kebudayaan, ia telah memberikan dimensi baru dalam hubungan Indonesia ― Mesir, yang tidak melulu bersifat keagamaan, tapi juga kebudayaan,” papar Hairus.

Pada dasarnya Hamka adalah seorang kosmopolit, dalam pengertian “mendukung jarak reflektif terhadap afiliasi budayanya sendiri, memiliki pemahaman yang luas terhadap budaya dan adat istiadat orang lain, dan keyakinan pada nilai kemanusiaan universal.”

Menurut Hairus, catatan Hamka dalam buku Empat Bulan di Amerika (1954) ini bisa menjadi titik masuk untuk penelusuran jejak kosmopolitanisme.

“Catatan Hamka ini menarik, karena seperti ditulisnya di bagian pendahuluan. Kunjungannya ke Amerika ini ia anggap sebagai “masuk ke dalam pergaulan modern”. Bagaimana seorang santri masuk ke pergaulan modern ini, seperti apa kesan-kesannya, dan apa artinya catatan ini sekarang ini? Kunjungan ini sendiri sebenarnya merupakan bagian dari politik perang dingin AS, tetapi bagi Hamka, sekali lagi, seperti perjalananannya ke Mesir, ini meneguhkan jiwa kosmopolitnya,” kata Hairus.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh