tirto.id - Satu bulan setelah memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada 17 Agustus 1960, Presiden Sukarno berangkat ke Amerika Serikat untuk berpidato--yang kemudian menjadi sangat terkenal--dengan judul “Membangun Dunia Kembali [To Build the World Anew]” (kini menjadi koleksi ANRI No. NST 137). Pidato itu disampaikan di muka Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tanggal 30 September 1960, tepat hari ini 61 tahun lalu.
Dalam pidato tersebut, Sukarno menyampaikan bahwa kedatangannya ke New York—markas baru PBB setelah pindah dari Paris pada 1952—dilakukan dengan langkah yang berat karena masih mengemukanya berbagai permasalahan internal di Indonesia yang memerlukan penyelesaian cepat. Namun, kedatangannya ke muka sidang PBB lebih ia utamakan mengingat arti penting gagasan-gagasan yang perlu disampaikan kepada khalayak.
Sejak 2018, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) telah mempertimbangkan untuk menominasikan pidato dan gagasan Sukarno ini menjadi salah satu Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Apa sebenarnya gagasan Sukarno yang dianggap sangat berpengaruh pada perkembangan dunia itu?
Naskah Sukarno sedikitnya memuat lima pokok permasalahan, yaitu tentang kritik terhadap kolonialisme-imperialisme, perkembangan senjata nuklir, hubungan penjajah dan negeri jajahan, ideologi-ideologi dunia, dan pemikiran kembali badan-badan di dalam PBB. Bahasan-bahasan itu menjadi lebih mengena bila kita mempertimbangkan zaman yang sedang melingkupi Sukarno pada saat itu.
Tahun 1945 hingga 1960-an dapat disebut sebagai zaman dekolonisasi. Negeri-negeri jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berlomba-lomba melepaskan diri dari sistem kolonialisme dan imperialisme yang telah mengakar kuat sejak abad ke-19. Dalam pidatonya, Sukarno menyebut zaman ini sebagai zaman “pembangunan bangsa-bangsa”. Seperti juga digambarkannya dalam pidato, zaman baru itu adalah takdir atau jalan dari sejarah.
Benteng-benteng yang coba dipertahankan oleh kekuatan kolonial lama, kini terlihat seperti sebuah “waduk yang dibangun dengan tidak sempurna”, sedang membendung air yang cepat atau lambat akan menjebolnya. Pandangan Sukarno itu benar dan kekuatan kolonial sebenarnya sudah menyadarinya sejak permulaan abad ke-20.
Di Tengah Gejolak Dekolonisasi
Dalam tulisan saya tentang masa akhir kolonial Belanda, Mempertahankan Imperium: Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Kebijakan Kolonial Akhir Hindia Belanda, 1936–1942 (2021), saya menggarisbawahi bahwa telah terdapat tren dekolonisasi di Asia Tenggara sejak permulaan abad. Pertanyaannya adalah bagaimana kekuatan kolonial merespons tren itu?
Inggris dan Amerika Serikat—di Birma (Myanmar) dan Filipina—meresponsnya dengan cekatan dan memberi kekuatan parlemen mandiri kepada kedua negara jajahan. Sementara Belanda mengambil langkah yang sangat ketinggalan zaman melalui perkenalan Politik Etis dan Dewan Rakyat (Volksraad) yang sama sekali tak memiliki kuasa parlemen.
Pada akhirnya, keharusan dekolonisasi kembali ditekankan secara paksa oleh situasi dunia ketika Perang Dunia II (1939–1945) melanda dan kemudian berakhir. Situasi yang terakhir itulah yang melingkupi masa pidato Sukarno.
Dalam pidato menggelegar itu, Sukarno menyampaikan bahwa pemusnahan segala onderdil sistem kolonial dan imperial--dalam bentuk segala campur tangan negara penjajah dalam pengaturan negara baru yang merdeka—adalah kunci terciptanya kedamaian di dunia. Yang membuat pidato tersebut berharga karena disampaikan di muka sidang yang penuh dengan delegasi negeri-negeri penjajah lama, juga negara-negara yang baru lahir karena kemerdekaan.
Dekolonisasi adalah proses yang panjang dan melelahkan tidak saja bagi bangsa terjajah, tetapi juga bagi bangsa penjajah. Menurut Elizabeth Buettner dalam Europe after Empire (2016), masyarakat Eropa pascaperang berada dalam dilema yang berat. Satu sisi, mereka mengalami penindasan di bawah Nazi Jerman, di sisi lain mereka juga melakukan penindasan terhadap bangsa lain di tanah jajahan.
Buettner mengungkapkan bahwa memori kolonial menghadirkan kebimbangan dan kebungkaman dari sisi masyarakat penjajah. Kurikulum sekolah Belgia, misalnya, tutup mulut sama sekali tentang praktik kolonialisme mereka di Kongo.
Dilema seperti ini terutama menghantam negara yang hancur akibat Perang Dunia II seperti Belanda dan Prancis. Di sini, terdapat tekanan dua arah, yang satu keharusan untuk membangun kembali negeri yang dilalap pendudukan Nazi Jerman, dan satu lagi tuntutan bekas jajahan untuk merdeka. Pengalaman ini mungkin lebih sedikit dirasakan di Amerika Serikat dan Inggris yang tidak secara riil diduduki oleh Nazi. Ini sebabnya dekolonisasi di kedua negara itu tampak lebih lancar.
Belanda, Prancis, atau Belgia mengalami situasi yang berbeda. Permasalahan yang mengemuka bagi mereka pada saat itu adalah kebutuhan riil untuk pemulihan, bukan lagi romantisme kolonial penuh kemuliaan seperti pada abad ke-19. Lewat pidatonya, Sukarno menampar dasar-dasar itu dan menekankan betapa ketinggalan zamannya sistem kolonial dan segala alasannya.
Negara-Negara Baru
Secara brilian, Sukarno juga membahas satu pertanyaan mendasar yang mengemuka sebagai akibat dari dekolonisasi, yaitu tentang bagaimana bila negara yang merdeka jatuh dalam kondisi yang lebih menyengsarakan dibandingkan ketika berada di bawah rezim penjajahan? Sukarno mengemukakan bahwa, “[…] yah, kami insaf akan pertanggungjawaban kami terhadap semua bangsa-bangsa, dan kami dengan gembira menerima pertanggungjawaban itu.”
Sukarno menekankan bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka itu akan berani menanggung risiko-risiko yang mungkin datang dari pilihannya untuk merdeka. Sukarno merasa perlu menekankan hal ini karena melihat kasus perseteruan dalam negeri Kongo (Krisis Kongo, 1960–1965) yang terjadi sejak Juli 1960, sesaat setelah negara itu merdeka dari Belgia.
Namun, sekali lagi Sukarno menekankan bahwa konflik tersebut terjadi karena ada campur tangan asing dalam percaturan politik di Kongo. Tentu saja, Sukarno mengatakan ini dalam semangat dekolonisasi. Kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam negara-negara baru yang merdeka itu sering kali muncul faksi-faksi kekuatan dalam negeri yang berbeda pandangan atau berebut kekuasaan.
Pokok penting yang dikemukakan Sukarno menaikkan argumen bahwa negara-negara baru memiliki cara penyelesaiannya sendiri terhadap masalah internal mereka. Selain itu, Sukarno tidak sependapat dengan ilmuwan Inggris, Bertrand Russell, yang telah membagi dunia dalam dua ideologi negara—ikut Amerika Serikat atau ikut blok Marxis. Sukarno menyatakan bahwa seluruh dunia pasti terpengaruh oleh kedua mazhab pemikiran itu, namun negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Selatan punya filsafatnya masing-masing.
Indonesia, misalnya, memiliki Pancasila, yang dijelaskan secara singkat dalam pidatonya. Sukarno menggarisbawahi bahwa sila-sila Pancasila itu universal. Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” pun mengakomodasi semua kepercayaan, bahkan mereka “yang tidak menganut suatu agama” sekalipun. Dalam kata-kata Sukarno, “[…] bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima sila pertama ini.”
Lewat pidato 121 menit ini, Sukarno telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi keresahan dunia, baik kekuatan kolonial lama maupun negara yang baru tumbuh.
Mungkin memerlukan suatu penelitian yang panjang untuk membuktikan kaitan antara pidato Sukarno ini dengan tren memuncak kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Namun, dunia setelah tahun 1960 menyaksikan kemerdekaan berbagai bangsa dari belenggu kolonialisme. Di Afrika saja, terdapat lebih dari 30 negara yang merdeka terhitung sejak ditutupnya pidato Sukarno di muka Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 itu.
Editor: Irfan Teguh