tirto.id - Dalam perhelatan akbar Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan April 1955 dimulai, Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno mengeluarkan seruan yang kuat dan mengguncang lewat pidatonya. Ia menegaskan:
“Ayo kita lampaui kepahitan dimasa lalu, dan bukalah mata kita untuk menyongsong masa depan. Ayo kita ingat bersama bahwa tidak ada berkah yang lebih manis daripada kehidupan dan kebebasan. Ayo kita ingat bahwa martabat kemanusiaan tidak akan tampil selama masih ada bangsa-bangsa yang belum merdeka. Ayo kita ingat bersama bahwa tugas sejarah utama dari kemanusiaan adalah pembebasan manusia dari belenggu ketakutan dan kemiskinan. Tantangan yang kita hadapi untuk memajukan pembebasan ummat manusia tidaklah mudah, karena kedepan kita menghadapi bukan lagi kolonialisme lama, tapi imperialisme yang muncul dengan busana baru yakni kontrol ekonomi dan kontrol intelektual. Ayo kita ingat bersama saudara dan saudariku atas nama kemanusiaan dan melawan segenap tantangan itu, maka seluruh bangsa-bangsa Asia dan Afrika harus bersatu.”
Seruan Sukarno dalam pidato pembuka KAA, tulis sejarawan Vijay Prashad dalam The Darker Nations: A People’s History of the Third World (2007), adalah sebuah orasi terkuat yang menegaskan saripati proyek politik Dunia Ketiga. Saripati itu dapat diterjemahkan ke dalam tiga prinsip: pertama, semangat kebangsaan yang tumbuh dari negara-negara baru pasca-dekolonisasi sebagai nasionalisme yang tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari internasionalisme dan kemanusiaan. Pokok ini sudah terlihat dalam pidato Sukarno berjudul “Lahirnya Panca-Sila” (1945). Internasionalisme, demikian Sukarno dalam pidato itu, “tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.”
Spirit yang sama bahkan muncul dari karya para pemikir radikal Asia-Afrika lainnya seperti Frantz Fanon pada 1961 menegaskan bahwa perlawanan rakyat Afrika yang terampas haknya oleh praktik kolonialisme adalah suatu gerak dialektik yang tidak selesai pada kemerdekaan alih-alih tertuju ke arah kemanusiaan baru.
Prinsip kedua: “Dunia Ketiga sebagai sebuah proyek politik” tidak dibatasi secara kewilayahan oleh dominasi suatu bangsa atas bangsa lainnya. Alih-alih, politik Dunia Ketiga berpijak pada tujuan pembebasan umat manusia dari belenggu kemiskinan dan ketakutan. Pembebasan itu menemukan praktiknya dalam kerja-kerja membongkar hubungan tuan dan budak (master and slave) sehingga tiap manusia dapat hidup merdeka dari berbagai corak dominasi politik dan ekonomi.
Prinsip ketiga: Kerja-kerja pembebasan tersebut termanifestasi dalam perjuangan membongkar tatanan struktur ekonomi-politik kapitalisme imperialistik yang bersemayam dalam dominasi ekonomi dan hegemoni intelektual. Kerja-kerja ini dilatarbelakangi kesadaran bahwa kolonialisme Eropa masih menyisakan warisan hubungan-hubungan kapitalisme imperialistik yang harus disudahi melalui persatuan negeri-negeri yang selama ini dieksploitasi.
Asia-Afrika boleh jadi sudah merdeka, namun kekayaannya terus mengalir ke negeri-negeri bekas penjajah. Prashad, seorang sejarawan kiri asal India, bahkan berani menegaskan bahwa proyek politik Dunia Ketiga yang tiang pancangnya ditegakkan di Bandung tahun 1955 adalah suatu peristiwa gerakan politik terbesar pada abad ke-20 yang menggugat imperialisme.
Ekonom Samir Amin bahkan menempatkan eksperimentasi Bandung 1955 dan proyek politik Dunia Ketiga sebagai sumber inspirasi bagi analisis radikalnya untuk merumuskan proses delinking negara-negara eks-koloni dari kekuatan-kekuatan utama pemodal dalam rangka membangun tatanan dunia pasca-kapitalisme.
Geopolitik Perang Dingin
Efek mendunia Bandung 1955 hanya bisa dimaknai sejauh kita memahami konstelasi geopolitik Perang Dingin pasca-Perang Dunia II.
Seperti diutarakan oleh Samir Amin dalam memoarnya pada 2006, corak pertarungan sosial yang berlangsung pada era Perang Dingin terlalu karikatural jika dimaknai sebatas pertarungan antara Blok Barat (liberal-kapitalis) dan Blok Timur (Soviet-Komunis). Ada anggapan umum bahwa benturan antara Blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan Blok Timur (Soviet dan Eropa Timur) adalah benturan ideologis yang setara. Kenyataannya tidak. Hingga satu dekade setelah Perang Dunia II usai, Uni Soviet memilih jalan isolasi dan secara permanen berada pada kondisi bertahan (defensive). Pasalnya, dalam perang melawan fasisme, Soviet mengalami kerugian material ekonomi dan korban jiwa jauh lebih besar dari Amerika Serikat. Paman Sam hanya kehilangan 400 ribu prajurit, sementara Soviet kehilangan lebih kurang 30 juta prajurit dan warga sipil.
Daratan utama (mainland) Amerika Serikat memang tidak pernah diserang oleh kekuatan fasis—berbeda dengan letak geografis Uni Soviet yang menjadi bagian dari teater Perang Dunia II. Soviet jelas merugi akibat agresi Hitler. Upaya pemulihan kondisi sosial, ekonomi, dan mental di Soviet baru selesai setelah meninggalnya Stalin pada tahun 1953, dan Kongres Ke-20 Partai Komunis Uni Soviet di bawah pemerintahan Krushchev memposisikan diri sebagai mitra dari negara-negara Dunia Ketiga.
Kurang lebih dua dekade awal Perang Dingin, blok liberal kapitalis Amerika Serikat menghadapi ancaman baru: negeri-negeri yang baru merdeka atau tengah memerdekakan diri. Jumlah penduduk dari negeri-negeri Dunia Ketiga ini luar biasa signifikan: sekitar 2/3 populasi seluruh dunia. Mereka juga tentunya memiliki sumber daya alam berlimpah yang ratusan tahun telah dihisap negara-negara kolonial.
Pudarnya Politik Dunia Ketiga
Setelah memasuki era tahun 1970-an, pengaruh proyek politik Dunia Ketiga perlahan memudar seiring gencarnya arus kontra-revolusi kapitalis di negara-negara Asia-Afrika dan Amerika Latin. Tentu ada peran dari blok liberal kapitalis Barat untuk membungkam kekuatan baru ini. Namun, yang lebih menentukan adalah bentuk imperialisme baru tersebut kerap diundang oleh pihak-pihak kekuatan konservatif dalam negeri di negara-negara Dunia Ketiga.
Di Asia-Afrika dan Amerika Latin, kekuatan politik progresif yang memimpin perlawanan terhadap imperialisme selalu berada pada dilema dan ketegangan. Seperti halnya yang dialami oleh Indonesia pada era Sukarno, politik progresif kerap harus berkompromi dan terbentur kekuatan-kekuatan reaksioner yang hendak merawat hirarki warisan feodalisme yang lebih nyaman beraliansi dengan kekuatan kapitalis-liberal alih-alih melawannya. Dalam pertarungan sosial itu, kekuatan konservatif yang berpusat pada kaum tuan tanah, birokrasi, kapitalis, dan militer akhirnya berhasil membungkam kekuatan-kekuatan progresif dengan sokongan negara-negara kapitalis Barat.
Walhasil, kegagalan proyek politik Dunia Ketiga saat ini semakin memuluskan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan politik sebagian besar kelas oligarki dunia di tengah proses pemiskinan dan ketimpangan sosial yang semakin lebar.
Di Indonesia, cita-cita pembebasan umat manusia dari kemiskinan dan ketakutan sudah dianggap lamunan usang. Tak mengherankan jika Bandung 1955 sebagai peritiwa politik terbesar abad ke-20 kini kalah pamor dengan perkawinan pesohor dan youtuber yang bahkan dihadiri para petinggi republik.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.