Menuju konten utama
Demo UGM

Pesta Rakyat, Atau Panggung untuk Dua Lakon

Bertepatan dengan Hari Pendidikan, ribuan orang menggelar Pesta Rakyat di UGM. Mereka menyuarakan beragam tuntutan. Tuntutan tersebut meliputi protes mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), protes mengenai keran tunjangan kinerja tenaga kependidikan yang tersumbat selama lebih dari tiga semester tidak dibayar, sampai kepada protes menolak relokasi kantin bonbin sementara Rektorat menyikapinya dengan sikap ketidakjelasan.

Pesta Rakyat, Atau Panggung untuk Dua Lakon
Ribuan mahasiswa universitas gadjah mada (ugm) melakukan aksi unjuk rasa, bertepatan dengan peringatan hari pendidikan nasional di halaman balairung ugm, di yogyakarta, selasa (2/5). Dalam aksinya mereka menyuarakan penolakan terhadap kenaikan uang kuliah tunggal dan pembayaran uang pangkal serta menuntut pencairan dana tunjangan kinerja bagi pns tenaga kependidikan (nondosen) selama 18 bulan. antara foto/andreas fitri atmoko/kye/16.

tirto.id - “Seumur-umur, baru kali ini aku bangga jadi cah UGM,” ujar Windu Jusuf, seorang pengajar di Jurusan Film Bina Nusantara University, Jakarta, pada 3 Mei 2016. Windu pernah bercokol selama satu dekade di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dia belajar di jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, sejak 2003 hingga 2008 dan Sekolah Pascasarjana Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) sejak 2010 sampai 2013. Sepanjang 2008-2010, ia beredar di kampus meski tak mengantungi kartu mahasiswa. Kini, bertahun-tahun setelah lulus untuk kali kedua, ia tetap memperhatikan hal-hal yang terjadi di kampusnya.

Windu bicara tentang Pesta Rakyat, unjuk rasa gabungan mahasiswa dan tenaga kependidikan—pustakawan, laboran, pengelola administrasi dan keuangan—UGM plus para pedagang kantin yang dilaksanakan tepat di Hari Pendidikan.

Tuntutan massa aksi antara lain: perbaikan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT), pembayaran tunjangan kinerja tenaga kependidikan yang sudah tertahan selama 18 bulan, serta renovasi kantin sosio-humaniora Bonbin alih-alih pemindahan para pedagangnya ke Pujale atau Pusat Jajan Lembah.

Menurut Windu, Pesta Rakyat adalah demonstrasi terbesar di UGM setelah 1998. Sebagian besar media memberitakan massa aksi tersebut terdiri dari sekitar seribu orang. Namun, menurut seorang mahasiswa Fakultas Filsafat yang tak ingin namanya disebutkan, hitungan itu pasti keliru.

“Kemungkinan besar, yang mereka lihat cuma sebagian mahasiswa yang berkumpul di Fisipol sebelum berangkat ke gedung rektorat.” Presiden Mahasiswa UGM 2016, Muhammad Ali Zaenal Abidin, mengatakan peserta demonstrasi berjumlah antara 8 hingga 10 ribu orang.

Ibu Bohong kepada Beta

Malam sebelum Pesta Rakyat digelar, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D, Rektor Universitas Gadjah Mada masa bakti 2014-2017, melakukan siaran di radio Swaragama FM. Ia menyebut aksi yang disiapkan selama berbulan-bulan oleh para mahasiswa lintas bidang keilmuan itu sebagai simulasi, gladi demokrasi, dan bahkan praktikum lapangan untuk mengemukakan pendapat yang dirancang rektorat sebagai bagian dari peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Begitu keluar dari kantor Swaragama, Dwikorita didekati sejumlah mahasiswa. Anggota satpam kampus yang mengawalnya berjaga-jaga. Sebagian mahasiswa meminta penjelasan atas pernyataan sang rektor dan sebagian yang lain mengiringi dengan sorak-sorai. Gayung bersambut. Ia bicara dan mahasiswa mendengarkan dan ia bicara dan mahasiswa mendengarkan dan ia bicara dan begitu terus selama nyaris delapan menit.

Dalam beberapa jeda singkat di antara kalimat-kalimat rektor, seorang mahasiswa yang terlihat seperti orang hendak tenggelam berulangkali menanyakan apakah benar Pesta Rakyat adalah gladi yang disiapkan oleh kampus. Rektor memandangi mahasiswa itu, lalu memberi jawaban atas pertanyaan yang tidak diajukan oleh siapa-siapa.

Rekaman peristiwa itu dipacak oleh Lembaga Pers Mahasiswa Balairung di Youtube. Pada bagian awal rekaman, terdengar seseorang menyanyikan potongan lagu “Kasih Ibu” karya SM Muchtar dengan sedikit penyesuaian: “Ibu bohong kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.”

Kolesterol, Ekspresi Kebahagiaan, dan Uang Kuliah Tunggal

Keesokan harinya, Dwikorita terlihat lebih percaya diri, baik ketika meladeni demonstran maupun wartawan. Ia mengenakan setelan serba putih. Gestur dan gaya bicaranya mirip mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan dan tidak lagi terkesan hendak membuat orang-orang di sekitarnya kehilangan akal.

Sesudah menguji pengetahuan para wartawan tentang nama Bonbin, dia bertanya: “Apakah logis mahasiswa dicampur dengan kebun binatang?”

Dwikorita menyebut Bonbin sebagai tempat yang gelap dan kurang sehat. “Sebuah riset oleh mahasiswa BEM membuktikan keberadaan bakteri Salmonella di Bonbin," katanya. Seolah-olah keterangan itu belum cukup mengerikan, ia menambahkan lagi: “Mulai banyak alumnus yang gagal melewati tes pekerjaan. Itu karena apa? Ternyata, mereka itu tingkat kolesterolnya tinggi. Setelah kami investigasi, hal itu disebabkan oleh kantin-kantin yang tidak sehat.”

Berbeda dengan rencana penanggulangan kolesterol yang salah tempat, kemungkinan infeksi Salmonella adalah perkara yang patut diberi perhatian. Bakteri Salmonella hidup di dalam usus binatang-binatang berdarah panas, antara lain sapi, kambing, unggas, dan manusia. Menurut Mayoclinic.org, Salmonella lazimnya tidak berbahaya kecuali dalam jumlah besar.

Kebanyakan orang terinfeksi bakteri tersebut karena menelan feses alias tahi bersama makanan mereka. Maka, andaikata riset yang dikutip secara tak meyakinkan oleh rektor itu benar ada serta dijadikan bahan pertimbangan, kebijakan yang lebih cocok untuk Bonbin adalah perbaikan sanitasi, bukan penggusuran.

Mengenai keran tunjangan kinerja tenaga kependidikan yang tersumbat selama lebih dari tiga semester, rektor menjelaskan kepada para wartawan bahwa itu adalah tanggung jawab Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Namun, UGM bersama enam Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) lain sudah berjuang, bahkan memohon, agar tunjangan tersebut dibayarkan.

Menurut Dwikorita, perjuangan itu tidak sia-sia. Permohonan mereka dikabulkan oleh Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti dan dana akan cair dalam waktu dekat. Hal tersebut, ujarnya, telah diumumkan pada Kamis, 28 April. Maka, lanjut sang rektor, sorak-sorai para pegawai siang itu “boleh jadi merupakan ekspresi kebahagiaan.”

Pada hari yang sama di hadapan audiens yang berbeda, yaitu para demonstran, Dwikorita menyampaikan dua peristiwa penting telah terjadi pada tanggal 28 April atau empat hari sebelum Pesta Rakyat. Pertama, rektorat telah memberitahu tenaga-tenaga kependidikan bahwa, “tunjangan kinerja tetap akan diperjuangkan bersama-sama Sekjen Kemenristekdikti dan seluruh PTN BH dengan cara mengubah peraturan. Sebab, jika peraturan itu tidak diubah, pemberian tunjangan kinerja berarti pelanggaran hukum”.

Peraturan yang dimaksud oleh rektor adalah Perpres nomor 138 yang diberlakukan sejak 2015. Pasal 3 ayat 1 butir 8 dalam Perpres itu menyatakan bahwa para pegawai PTN BH tidak berhak atas tunjangan kinerja.

Kedua, “berdasarkan masukan dari seluruh civitas academica, universitas telah memutuskan bahwa besaran UKT tetap seperti tahun lalu.”

Airmuka rektor mengesankan bahwa ia mengharapkan sambutan baik, setidaknya untuk pengumuman kedua. Namun, para peserta aksi tak bereaksi, seakan-akan mereka adalah rombongan yang berkumpul cuma buat mengamati pelepah palem. Pengalaman mereka bernegosiasi dengan pejabat kampus jelas tak seragam.

Namun, semua sama paham bahwa “terus diperjuangkan” adalah kaset kusut yang diputar ulang dan keruwetan yang melingkupi UKT tak seketika jadi beres hanya karena tahun ini tidak ada kenaikan.

Sistem Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diterapkan sejak tahun akademik 2013/2014 sebagai ganti Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Permenristekdikti nomor 22 tahun 2015, penyempurnaan atas Permendikbud nomor 55 tahun 2013 dan nomor 73 tahun 2014, dalam pasal 1 ayat 5-6 menyatakan bahwa “BKT adalah keseluruhan biaya operasional mahasiswa per semester pada program studi di Perguruan Tinggi Negeri” dan “UKT adalah sebagian BKT yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya.”

Namun, kata “sebagian” dalam ayat 6 itu tidak sesuai dengan ketetapan pada Lampiran I (diperuntukkan bagi mahasiswa angkatan 2013) dalam berkas yang sama. Pada kolom program studi Akuntansi, Ilmu Ekonomi, dan Manajemen, misalnya, UKT yang ditetapkan bagi mahasiswa kelompok 5 adalah Rp7 juta, padahal BKT-nya hanya Rp6 juta. Bagaimana mungkin sebagian lebih banyak ketimbang keseluruhan? Sampai tulisan ini terbit, Tirto.id sudah berkali-kali menghubungi Kemenristekdikti lewat nomor telepon yang tercantum di situs resmi mereka untuk minta penjelasan, tetapi tidak satu panggilan pun tersambung dengan operator.

Mengenai pasal 8: “Perguruan Tinggi Negeri dilarang memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma.” Apakah biaya Kuliah Kerja Nyata termasuk “pungutan lain” yang terlarang atau urusan yang diatur oleh ketetapan berbeda? Jika ia terlarang, bagaimana Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) UGM bisa tidak mengerti dan tetap memungut biaya KKN? Seandainya ia diatur oleh ketetapan lain, ketetapan apakah itu?

Mahasiswa UGM mengajukan delapan buah tuntutan soal UKT kepada pihak rektorat. Salah satunya adalah tentang jumlah tanggungan keluarga yang hingga kini tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kelompok (ekonomi) mahasiswa. Sebuah keluarga tiga orang berpenghasilan Rp7 juta, misalnya, jelas lebih kuat secara finansial ketimbang keluarga berpendapatan Rp10 juta dengan jumlah tanggungan sembilan orang. Penentuan kelompok (ekonomi) mahasiswa di UGM sejak penerapan BKT dan UKT adalah sistem yang tidak adil. Ia memungkinkan para mahasiswa membayar biaya pendidikan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada kesanggupan mereka.

Siang itu, Dwikorita pergi sebelum merampungkan penjelasannya soal pemindahan pedagang Bonbin. Ia tidak senang karena ajakannya untuk menyebut Bonbin sebagai kantin sosio-humaniora malah ditanggapi para peserta aksi dengan pelbagai macam jeritan. Demikian pula sewaktu ia menyatakan bahwa kontrak para pedagang Bonbin sudah habis sejak Juli tahun lalu dan relokasi ke Pujale adalah semacam amal baik yang didasari oleh rasa kemanusiaan pejabat kampus. Begitu ia berbalik masuk ke gedung rektorat, sejumlah demonstran berseru dari balik punggungnya: “Otoriter! Otoriter!”

Baca juga artikel terkait DEMO UGM atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Hukum
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait