tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit perbankan per Oktober 2019 menyentuh angka 6,53 persen. Nilai ini tumbuh melambat dari capaian September 2019 yang sempat menyentuh 7,89 persen.
Perlambatan kredit tersebut disebabkan melempemnya permintaan kredit dari dua sektor usaha di antaranya sektor pertambangan dan sektor konstruksi.
“Pertumbuhan kredit sektoral yang paling dalam itu pertambangan. Dia pertambangan turun sekitar Rp 5 triliun atau minus 4 persen. Karena suply chain pertambangan seperti transportasi di hilir itu belum bangkit,” ucap Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK, Slamet Edy Purnomo di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Slamet mengatakan kalau lambatnya pertumbuhan kredit ini hendaknya tidak terlalu dipaksakan untuk kembali naik. Menurutnya, hal ini terkait juga dengan masalah likuiditas yang disebut berbagai kalangan cukup kering per Oktober 2019 lalu.
Dia menambahkan kala likuiditas yang sedang seret ini bisa dibuat sedikit lebih menggeliat. Bank Indonesia, katanya, dapat membuat kebijakan untuk memperlancar kondisi itu.
Namun, hal itu bergantung pada permintaan kredit. Dia khawatir bila setelah ada tindakan terhadap likuiditas dan bank didorong untuk meningkatkan pertumbuhan kredit dikhawatirkan malah berujung membuat kredit macet atau non performing loan (NPL).
Dia mencontohkan pada kasus perusahaan tekstil Duniatex. Bank terlalu banyak menyalurkan kredit sehingga terjadi kelebihan pendanaan atau overfinancing. Kredit disalurkan terus menerus padahal perusahaan tidak terlalu mebutuhkannya.
“Kalau likuiditas cukup enggak itu tergantung demand loan. Kami menghindari kita oversupply untuk bank ditarget double digit. Takutnya dia kasih ke perusahaan itu-itu aja. Kayak Duniatex. Udah percaya dijorjorin padahal dia enggak minta, tapi dikasih juga,” ucap Slamet.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang