Menuju konten utama

Pertamina Persilakan Awak Mobil Tangki Tempuh Jalur Hukum

Anak usaha PT Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga, menegaskan persoalan PHK Awak Mobil Tangki (AMT) bukanlah tanggung jawab mereka.

Anggota Awak Mobil Tangki (AMT) berunjuk rasa sebelum melakukan aksi Longmarch Bandung Jakarta dengan berjalan kaki, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (13/10/2017). ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra

tirto.id - Pihak PT Pertamina Patra Niaga menegaskan tidak bertanggung jawab atas aksi long march para Awak Mobil Tangki (AMT) Pertamina dari Bandung ke Jakarta sejak Jumat pekan lalu (13/10).

Mereka beralasan AMT merupakan tanggung jawab dari para vendor outsourcing transportasi angkutan BBM di Pertamina. Bagi perseroan, para peserta aksi tidak lagi memiliki hubungan kerja dengan PT Pertamina Patra Niaga.

Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Rudy Permana, mengatakan bahwa perusahaan telah mempersilakan para AMT untuk menempuh jalur hukum. Namun para AMT memilih mogok dan long march Jakarta-Bandung.

"Kalau kami salah atau nggak patuh, kami siap (dikenai sanksi). Sementara kalau mereka yang salah, harus diterima. Tapi rupanya mereka lebih pilih aksi yang mengandalkan kekuatan massa," ujar Rudy saat dihubungi Tirto via telepon, Jumat (20/10/2017).

Rudy mengatakan bahwa masalah ini telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Harusnya, kata Rudy, jika langkah hukum yang dipilih, solusi masalah ini dapat lebih jelas.

Baca juga: Jalan Panjang Awak Mobil Tangki Pertamina Mencari Keadilan

Kendati memilih untuk mengambil langkah diam, BUMN energi ini terus memantau aksi long march sejauh 150 kilometer para AMT. PT Pertamina Patra Niaga memastikan tidak ada aktivitas operasional yang terganggu ketika aksi berlangsung.

"Mereka (para peserta aksi) bukan pekerja kita. Asal tidak mengganggu sopir yang masih aktif, tidak masalah," kata Rudy.

Iamenjelaskan bagaimana PT Pertamina Patra Niaga mencari vendor outsourcing. Menurutnya, dasar pemilihan rekanan semata hasil dari evaluasi kinerja. Vendor baru ini wajib menerima pekerja dari vendor lama.

Selanjutnya, vendor baru akan melakukan pendaftaran ulang bagi para AMT yang berniat melanjutkan kerja. Pada tahapan ini, Rudy menduga terhadap mereka yang mengaku terkena PHK merupakan pekerja yang tidak memilih untuk mendaftar ulang.

Baca juga: Komisi VII DPR: Tidak Perlu Ada PHK Awak Mobil Tangki Pertamina

Setelah tahapan yang sifatnya mengecek persyaratan administratif tersebut, vendor akan meminta para pekerja untuk menyerahkan data diri hingga surat kesediaan untuk bekerja. Seperti halnya tahap awal, Rudy juga mengatakan kalau ada para pekerja yang menolak untuk mengikuti prosedur.

"Biasanya di tahap kedua ini, vendor baru akan mengecek riwayat pekerja. Pada tersangkutnya di situ, karena dipelajari catatan-catatan terkait, seperti adakah kehilangan tangki dalam proses pengiriman," jelas Rudy.

Tahapan terakhir, vendor menggelar tes psikologi guna melihat tingkat emosional para pekerja. "Ada juga yang menolak untuk dites,” ujar Rudy lagi.

Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito menolak berkomentar tentang aksi long march para AMT tersebut.

Adiatma hanya menyatakan PT Pertamina tidak tahu bagaimana tata kelola sumber daya manusia yang menggunakan tenaga outsourcing untuk pekerjaan inti di tubuh PT Pertamina Patra Niaga.

"Meskipun basis Undang-Undang (UU) sama, tapi aturan yang berlaku tidak sama. SOP (standard operating procedure/prosedur operasi standar) berbeda. Jadi untuk itu langsung ke PT Pertamina Patra Niaga saja biar tidak misleading," ujar Adiatma saat dihubungi Tirto, hari ini.

Versi Awak Mobil Tangki

Nuratmo, Ketua AMT, mengatakan bahwa masalah ini bermula pada 2012 lalu. Ketika Patra Niaga mengalihkan pekerja kontrak distribusi BBM ke perusahaan outsourcing. Padahal sejak 2007, mereka adalah pekerja kontrak PT Pertamina Patra Niaga.

Jadi alih-alih mengangkatnya jadi pegawai tetap sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, justru yang Patra Niaga lakukan adalah menjadikan mereka sebagai pekerja outsource untuk perusahaan rekanan outsourcing.

"Tahun 2007 sampai 2012, kami ini pekerja Patra yang dikontrak lima tahun. Tapi mulai 2012 malah divendorkan. Ini menyalahi aturan. Namanya orang kerja kontrak 'kan maksimal tiga kali perpanjangan, setelah itu diangkat (jadi pekerja tetap). Bukan malah divendorkan," terang Nuratmo, kepada Tirto, Jumat (20/10/2017).

Baca juga: Pengalihan Status, Awal Mula Buruh AMT jadi Zombie

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan bahwa pengalihan status dari kontrak ke outsourcing adalah modus pelanggaran yang lazim terjadi di banyak perusahaan, tidak hanya Pertamina saja. Namun begitu, katanya, meski dialihkan ke perusahaan payung, tetap tanggung jawab berada di perusahaan utama.

"Meski disubkontrak ke berbagai perusahaan, tetap status kerjanya itu ya ke perusahaan utama, dalam hal ini PT Pertamina Patra Niaga dan PT Elnusa Petrofin," kata Isnur.

Hal ini juga yang kemudian mendorong AMT untuk menuntut pihak Pertamina Niaga, tidak hanya perusahaan outsource mereka.

Pada September 2016, Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudisnaker) Jakarta Utara juga telah mengeluarkan nota pemeriksaan yang isinya mendesak Pertamina Patra Niaga mengangkat buruh AMT menjadi karyawan tetap. Merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kenagakerjaan, outsourcing tidak boleh diterapkan pada golongan pekerjaan inti. Padahal jenis kerja distribusi masuk di dalam bidang usaha inti Pertamina Patra Niaga.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino
-->