tirto.id - Gagasan manusia tentang keberadaan wilayah di bumi selatan sudah hadir sejak zaman Yunani Kuno. Filsuf Parmenindes (540 SM-470 SM) tercatat menjadi orang pertama yang menguak hal tersebut. Pada tahun 450 SM, ia mengutarakan bahwa di selatan terdapat wilayah bersuhu dingin yang dinamainya Antartikos.
Visualisasi awal atas bayangan Parmenindes muncul seiring kemampuan manusia membuat peta. Ahli geografi, Ptolemy (100 M-170 M), memunculkan Antartikos di peta yang dibuatnya. Ptolemy menamainya Terra Incognita atau Tanah tak dikenal. Dari sini, keberadaan wilayah di selatan semakin santer terdengar. Apalagi setelah penjelajah Ui-te-Rangiora yang berlayar ke selatan pada 650 M, sebagaimana ditulis Antje Neumann dalam Wilderness Protection in Polar Regions (2020), ia bersaksi bahwa di sana terdapat “laut yang penuh dengan buih.” Banyak yang menginterpretasikan ucapan itu merujuk pada keberadaan es.
Pada tahun 1821, penjelajah Amerika James Davis, menjadi orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di tanah tak dikenal tersebut. Sejak saat itu puluhan penjelajah berupaya mencapai pedalaman Antartika yang kemudian dikenal sebagai Kutub Selatan. Tapi, banyak yang mengalami kegagalan. Beberapa ratus kilometer sebelum mendarat, para pelaut sudah menyerah karena suhu yang sangat dingin.
Butuh waktu 90 tahun bagi umat manusia untuk sampai ke Kutub Selatan setelah kedatangan James Davis. Warsa 1911, Roald Amundsen berhasil sampai di Kutub Selatan. Sejak saat itu, para penjelajah kembali berlomba-lomba mengikuti jejak Amundsen.
Pada umumnya, mereka datang sekadar unjuk keberhasilan. Mereka tiba, meninggalkan jejak, lalu pulang dan mengumumkan di negara asalnya bahwa mereka adalah yang pertama berada di Antartika. Selain itu, ada juga kelompok peneliti yang ingin mengungkap rahasia alam di balik tebalnya lapisan es.
Perubahan Motif
Memasuki tahun 1940-an, perubahan motif penjelajahan ke Antartika semakin terlihat. Dari yang semula murni penelitian, menjadi politik dan militer. Inggris menjadi negara pertama yang datang ke Antartika dengan tujuan militer. Pada 1943, militer Inggris melakukan penjelajahan untuk mempertahankan posisinya di Kepulauan Falkland dan Antartika Utara. Ini dilakukan agar tidak ada lagi yang mengklaim kedudukan Inggris di dua wilayah itu.
Minat eksplorasi semakin besar pada tahun 1945 atau saat Perang Dunia II berakhir. Suasana politik global yang memanas akibat Perang Dingin menjadi pemantik untuk mendorong Blok Barat dan Blok Timur mengirimkan utusannya ke Antartika.
Setelah Inggris, terdapat Amerika Serikat yang datang dengan membawa ribuan personel dan alutsista ke Antartika pada 1946. Tujuannya untuk melatih personel dan alutsista agar tahan cuaca dingin. Namun, banyak yang menduga bahwa itu hanya dalih AS. Lebih dari itu, AS hendak memperluas kedaulatannya sekaligus bersiap membangun pangkalan militer.
Selama tahun 1950-an, tujuh negara mengklaim kedaulatan wilayahnya di Antartika. Mereka adalah Argentina, Australia, Chili, Prancis, Selandia Baru, AS, dan Inggris. Mereka membangun pangkalan penelitian yang diselimuti oleh motif politik. Mengutip riset David Day dalam Antarctica (2019), dalam tahun-tahun tersebut terdapat delapan pangkalan penelitian Argentina, enam pangkalan penelitian Inggris, dan tiga pangkalan penelitian Chili.
Mengutip RussiaBeyond, pada 1958 Uni Soviet mengirimkan tim ekspedisi untuk mengalahkan penjelajahan AS yang telah berhasil mendirikan stasiun Amundsen-Scott di dataran tinggi Antartika dua tahun sebelumnya. Para penjelajah diharuskan mencapai pedalaman Antartika yang sangat sulit dijangkau. Tujuannya agar tidak ada yang menyaingi kesuksesan Soviet. Pada penghujung tahun tersebut, Soviet berhasil mencapai pelosok Anatartika.
Netralitas Antartika
“Di dasar bumi yang beku, Rusia bergerak ke posisi di mana skuadron misilnya dapat mengepung dunia. Setengah dari Antartika dengan cepat berubah dari putih menjadi merah. Sementara itu, traktor berbendera merah bergerak melalui salju Antartika dalam jumlah yang meningkat. Kapal selam rudal, kemudian pangkalan rudal, bisa datang kapan saja.”
Kalimat yang dikutip dari Stephen Martin dalam A History of Antarctica (2013) itu adalah tulisan yang terbit pada Juni 1959 berjudul “Red Threat from Antarctica” yang terbit di jurnal Missiles and Rockets: Magazine of World Astronautics. Meski tidak jelas siapa penulisnya dan tidak diketahui pula kebenarannya, tulisan itu berhasil membuat dunia percaya bahwa Uni Soviet bertindak agresif di Antartika.
Mereka percaya bahwa kapal selam nuklir Soviet bersembunyi di pantai Antartika dan dapat mengirim rudal kapan saja ke Australia, Amerika Selatan, serta berbagai wilayah lain yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik, dan Hindia.
Tak lama kemudian, Presiden AS Eisenhower mengambil langkah inisiatif. Ibarat juru damai, ia mengundang negara-negara yang terlibat di Antartika untuk membahas kedaulatannya. Usulan AS sederhana: jangan menjadikan Antartika sebagai objek politik dan mengusulkannya hanya sebagai kegiatan ilmiah atau damai.
Negara-negara Belahan Bumi Selatan seperti Australia dan Selandia Baru jelas mengkhawatirkan kehadiran Soviet di selatan mereka. AS juga khawatir tentang potensi ancaman terhadap mereka dan sekutunya dari Uni Soviet. Inggris yang terlibat konflik dengan Argentina dan Chili juga ingin mencari solusi perselisihan mereka atas kedaulatan wilayah Semenanjung.
Pada 14 Oktober 1959, bertempat di Washington, Argentina, Australia, Belgia, Chili, Prancis, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet mencapai kata mufakat. Mereka bersepakat menandatangani Antarctic Treaty. Poin utamanya adalah “Antartika hanya akan digunakan untuk tujuan damai”.
Perjanjian ini mulai berlaku pada 23 Juni 1961, tepat hari ini 61 tahun lalu. Setelah itu tidak ada lagi kegiatan militer dan politik di Antartika. Yang ada hanya aktivitas penelitian. Perjanjian ini kelak menjadi perjanjian paling berpengaruh di dunia karena berhasil mengatur ambisi setiap negara sebelum terjadi konflik. Apalagi sepuluh tahun kemudian, para peneliti menemukan minyak dalam jumlah besar di bawah lapisan es. Para pengamat percaya, jika tidak ada perjanjian tersebut, maka pengeboran es demi minyak akan kita saksikan saat ini.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi