tirto.id - Peringatan tentang bahaya merokok sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, yang kemudian aturan pelaksanaannya dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau.
Dalam aturan tersebut, ada lima gambar yang dipakai dalam tiap bungkus rokok yaitu kanker mulut, kanker paru, dan bronkitis akut, kanker tenggorokan, merokok membahayakan anak, serta gambar tengkorak. Tujuannya untuk membuat perokok sadar akan bahaya yang mengancam.
Meski demikian, gambar tersebut ternyata tidak memberikan dampak bagi perokok. Bahkan kini pemerintah dihadapkan pada kenyataan bahwa terjadi peningkatan jumlah perokok usia remaja.
"Kasus ini memprihatinkan, ada anak umur 6 tahun sudah merokok, dan kelak berpotensi mengalami gangguan kesehatan lainnya dengan rentang waktu panjang, karena itu program Kawasan Tanpa Asap ROkok (KTR) harus digaungkan," jelas pemerhati masalah kesehatan dan lingkungan Ridwan Mochtar Taha MSc.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi mengkonsumsi tembakau bagi penduduk berusia di atas 15 tahun di Indonesia sangat tinggi, khususnya pada laki-laki. Pada 1995, sebanyak 27 persen penduduk berusia di atas 15 tahun mengonsumsi tembakau. Angka ini meningkat menjadi 36,3 persen pada 2013.
Menurut Buku Fakta Tembakau (PDF) yang diterbitkan Tobacco Control and Support Center-IAKMI pada 2014, proporsi konsumsi tembakau hisap pada penduduk berusia ≥15 tahun lebih besar dibanding tembakau kunyah. Pada pada 2013, 33,4 persen penduduk mengonsumsi tembakau hisap, sementara yang mengonsumsi tembakau kunyah hanya 2,9 persen.
Tingginya proporsi konsumsi tembakau dapat mengindikasikan peningkatan jumlah perokok di Indonesia. Ironinya, kebanyakan perokok usia ≥15 tahun tercatat mulai merokok pada usia anak dan remaja.
Tren kenaikan signifikan terlihat pada mereka yang mulai merokok pada usia anak dengan rentang 5-14 tahun. Tahun 1995, sebanyak 9,6 persen penduduk usia 5-14 tahun mulai mencoba merokok. Pada 2001, jumlah ini naik jadi 9,9 persen, kemudian terus melonjak hingga 19,2 persen pada 2010. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, mengingat anak usia 5-14 tahun seharusnya masih di bawah pengawasan orangtua.
Sementara itu, proporsi perokok yang baru menghisap tembakau di usia lebih dari 20 tahun menunjukkan tren menurun. Jumlahnya menurun menjadi 24,3 persen pada 2013 dari yang awalnya 35,9 persen pada 1995. Padahal, pada usia tersebut seseorang sudah dapat memutuskan untuk merokok atau tidak.
Selain mengancam kelangsungan generasi, rokok juga merupakan salah satu komoditas penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras. Berdasarkan Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Indonesia, per september 2017, beras berkontribusi terhadap kemiskinan terbesar sebanyak 18,8 persen di perkotaan dan 24,52 persen di pedesaan. Faktor kedua yang berkontribusi terhadap kemiskinan adalah rokok kretek yang menyumbang sebesar 9,98 persen kemiskinan di perkotaan serta 10,7 persen di perdesaan.
Jika dilihat lebih rinci, kontribusi kemiskinan rokok baik di perkotaan maupun perdesaan sama-sama mengalami kenaikan. Pada Maret 2015, rokok tercatat menyumbang 8,24 persen kemiskinan perkotaan. Meski sempat turun sebanyak 2 persen pada September 2015 menjadi 8,08 persen, tapi pada periode setelahnya angka ini terus meningkat (11,79 persen) hingga Maret 2017.
Namun, di perkotaan maupun perdesaan terjadi penurunan kontribusi kemiskinan rokok pada periode September 2017 masing-masing sebesar 15 persen dan 7 persen. Kemungkinan terbesar adalah adanya vape yang disebut-sebut sebagai alternatif pengganti rokok yang mulai populer di masyarakat perkotaan.
Walaupun sudah mengalami penurunan, bukan berarti masalah selesai. Upaya pemerintah untuk menekan tingkat konsumsi rokok dinilai belum membuahkan hasil. Rendahnya harga rokok dan praktik penjualan rokok eceran diduga menjadi penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
Melalui PP No 109 Tahun 2012, pemerintah telah mengatur pengendalian kegiatan promosi tembakau. Namun, para pelaku industri rokok nampaknya tidak tinggal diam. Mereka terus mencari generasi konsumen baru, misalnya lewat pemberian sponsor acara-acara olahraga dan musik, mulai dari Djarum Superliga Badminton, LA Lights Indiefest, hingga We The Fest. Meski tidak secara gamblang menawarkan produk, nyatanya strategi tersebut sukses menjaga popularitas brand rokok.
Jika melihat semakin banyak orang yang mulai merokok di usia muda ditambah dengan gencarnya iklan rokok, maka akan sulit menghentikan perilaku merokok di kalangan anak dan remaja.
Regulasi harga kenaikan dan larangan iklan rokok masih belum mampu menghentikan perilaku merokok anak dan remaja di Indonesia jika tidak dibarengi edukasi masyarakat tentang bahaya merokok. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah pemerintah yang masih mencari sumber pendapatan negara dari cukai rokok.
Penulis: Desi Purnamasari
Editor: Windu Jusuf