Menuju konten utama

Perlunya Pengemudi Ojek Daring Memiliki Sertifikat "Safety Riding"

Memiliki SIM bukan jaminan seorang berkendara dengan tertib mematuhi aturan lalu lintas.

Perlunya Pengemudi Ojek Daring Memiliki Sertifikat
Pengendara Ojek Online mengendarai motor sembari memainkan telepon genggam di kawasan Manggarai, Jakarta, Senin (5/3/2018). 5 Maret hingga 28 Maret Polisi Lalu Lintas menggelar Operasi Keselamatan yang salah satu pasalnya melarang untuk bermain telepon genggam sambil berkendara. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Perilaku ojek daring yang ugal-ugalan mulai membuat resah. Mereka acapkali mengabaikan keselamatan berlalu lintas demi mengejar orderan. Ini sangat berbeda dengan situasi pada awal-awal kehadiran ojek daring, di mana para pengemudi umumnya sangat santun di jalanan.

Sutari (24), sering melihat pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengemudi ojek daring di Jakarta. Mulai dari melawan arus, menerobos lampu merah, hingga menggunakan badan ke trotoar. Ia menilai wajar jika kemudian banyak keluhan dilontarkan konsumen kepada para pengemudi ojek daring. Dari pengalamannya selama menggunakan aplikasi ojek daring yang paling menyebalkan adalah kelakuan pengemudi yang kebut-kebutan.

Ia juga pernah diantar oleh pengemudi yang tidak membawa Surat Izin Mengemudi (SIM). Sehingga, saat berpapasan dengan polisi lalu-lintas, si pengemudi memaksa putar balik melawan arus demi mencari jalan yang "lebih aman".

"Macam-macam deh pokoknya, sudah sering. Pernah juga ojeknya lawan arah dan bikin macet, sampai diomelin sama pengendara lain," ungkap karyawan di salah satu perusahaan swasta tersebut.

Beberapa perusahaan aplikasi ojek daring di Indonesia memang pernah melatih para calong pengemudi yang ingin bermitra dengan mereka. Go-jek misalnya, melakukan pelatihan safety riding dengan menggandeng Rifat Drive Labs (RDL), konsultan keselamatan berkendara yang didirikan Rifat Sungkar. Namun, itu hanya terjadi di masa-masa awal perusahaan berdiri.

Pengakuan beberapa pengemudi ojek daring kepada Tirto mereka tidak pernah mendapat pelatihan serupa. Aziz, misalnya, mengatakan tak mendapat pelatihan khusus yang berkaitan dengan safety riding saat dirinya bergabung dengan Go-Jek pada 2016. "Saya datang ke kantor enggak dikasih apa-apa. Cuma arahan-arahan dan buku panduan," ucapnya.

"Istilahnya kalau kata orang Jawa diculke neng (dibiarkan di) rimba langsung."

Dihubungi oleh Tirto, Rifat Sungkat menjelaskan safety riding bukan hanya diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan aplikasi ojek daring, melainkan juga mencegah pengemudi terlibat aksi kekerasan di jalan.

Meskipun, kata dia, sumber masalah kekerasan di jalan sangat beragam dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelatihan. "Pengemudi sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tumbuh dan belajar dari lingkungan mereka. Tidak cukup dalam sehari kita bisa merubah perilaku mereka jika tidak di ikuti dengan perubahan di lingkungannya," ungkapnya.

Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto menilai pelatihan kepada pengemudi ojek daring untuk mendapat sertifikat safety riding merupakan tanggung jawab perusahaan. Ia mengimbau perusahaan ojek daring mengawasi para pengemudinya secara berkala. "Tapi [saya] belum tahu bagaimana [cara] pengawasannya," ujarnya.

Public Relation Consultant Go-Jek, Anisa Idea tak mengonfirmasi pertanyaan Tirto soal alasan mengapa perusahaan tak lagi menerapkan pelatihan safety riding kepada para pengemudi. Ia sempat meminta Tirto mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik, akan tetapi hingga berita ini tayang Anisa tak memberikan jawaban.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiayadi belum berencana membuat regulasi yang mengharuskan setiap pengemudi ojek daring memiliki sertifikat safety riding. "Enggak ada. Ke depan juga enggak ada rencana."

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Muhammad Akbar Wijaya