tirto.id - Tidak selamanya manusia bangun tidur dalam kondisi segar bugar. Sebab itu, tak mengherankan bila seseorang mengisi waktu istirahat di kantor dengan, misalnya, browsing soal keluhan yang dirasakan pada tubuh setelah bangun pagi. Mengapa pundak pegal? Mengapa lengan terasa kaku? Mengapa badan lemas? Dan seterusnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu bikin orang membuka berbagai situs kesehatan, menerka apa yang terjadi pada tubuh, dan mencari solusinya. Melakukan diagnosis pribadi terkait kesehatan memang bukan hal terbaik, namun tak jarang menjadi cara paling cepat buat sejenak menenangkan diri.
Ketika pandemi melanda, keluhan-keluhan soal kesehatan bertambah lantaran perubahan mobilitas dan meningkatnya stres. Pada rentang waktu itu pula berbagai aplikasi kesehatan marak bermunculan, begitu diminati, dan menjadi andalan publik. Ya, aplikasi telah memudahkan akses konsultasi sehingga publik tak perlu lagi melakukan diagnosis pribadi.
Pada Juli 2020, Forbes mengabarkan bahwa masyarakat dunia semakin bergantung pada aplikasi. Hal itu ditandai dengan peningkatan persentase penggunaan aplikasi ponsel sebesar 40%. Di Indonesia, peningkatan penggunaan aplikasi sejak awal pandemi hingga April 2020 adalah 25%. Jumlah tersebut sangat mungkin bertambah pada saat ini.
“Menemukan aplikasi yang tepat jadi hal esensial dalam dunia kita yang sudah terkoneksi. Aplikasi jadi kunci bagi kesejahteraan batin, kesehatan, pendidikan, kehidupan sosial, transportasi, pariwisata, kesenangan, dan segala hal di antaranya,” tulis Forbes.
Industri kesehatan ambil peran dalam ranah ini. Situs-situs kesehatan ternama di AS seperti Mayo Clinic memutuskan membuat aplikasi yang membantu pengguna untuk membuat jadwal kunjungan, konsultasi daring dengan tenaga kesehatan profesional, menyajikan informasi gejala dan penyakit, serta informasi tentang hasil pemeriksaan.
Para penyedia layanan kesehatan dan organisasi kesehatan lain di AS juga kian serius mengembangkan aplikasi dan konsultasi daring via Zoom. Mereka berupaya agar aplikasi-aplikasi kesehatan mampu menampung kebutuhan publik, antara lain akses terhadap informasi riwayat kesehatan, kemudahan untuk membuat jadwal konsultasi sekaligus mengubahnya andai diperlukan, dan memberi resep yang bisa digunakan berulang.
Pada April 2020, Global Newswire mempublikasikan hasil penelitian Reports and Data yang menyebut bahwa pada 2027, pasar aplikasi kesehatan akan mencapai 311,98 miliar dolar.
“Ranah kesehatan digital akan jadi bisnis yang sukses dan mampu menarik beberapa industri di luar industri kesehatan. Sejauh ini, 60% pemegang saham aplikasi kesehatan adalah pemain di industri kesehatan, sementara 40%-nya berasal dari luar industri kesehatan,” catat Global Newswire.
Temuan tersebut turut mencatat bahwa fitur konsultasi dalam aplikasi bisa jadi solusi atas tantangan komunikasi tatap muka dokter-pasien yang ada kalanya kurang efektif. Aplikasi juga diminati lantaran bisa membantu individu menjaga kesehatannya, mempromosikan pola hidup sehat, serta punya akses terhadap informasi penting kapan pun dibutuhkan.
Menjawab Tantangan Aplikasi Kesehatan
Forbes juga menyebut bahwa perkembangan aplikasi kesehatan adalah jalan yang mengeliminasi rumitnya birokrasi asuransi kesehatan. Namun kini, di Indonesia, sebagaimana tampak pada langkah Prudential Indonesia, industri asuransi kesehatan mulai menyadari bahwa mereka mesti turut serta memberikan berbagai kemudahan bagi publik dalam mengakses layanan kesehatan.
Beberapa waktu lalu, perusahaan tersebut melansir aplikasi kesehatan Pulse (dibaca “Pals”). Aplikasi ini memungkinkan pengguna melakukan pengecekan kondisi kesehatan, mengecek gejala penyakit, berkonsultasi dengan dokter secara online, membeli obat berdasarkan konsultasi yang dilakukan dan pengiriman obat ke rumah.
Teknologi kecerdasan artifisial yang digunakan dalam aplikasi membantu pengguna dalam menganalisis soal keluhan kesehatan. Pengguna ditanya secara detail soal berbagai kondisi yang berpotensi memunculkan masalah kesehatan. Berdasarkan informasi yang diberikan, pengguna akan memperoleh informasi mengenai penyebab dan rekomendasi tindakan yang mesti dilakukan.
Keberadaan Pulse, terutama bagi warga Jakarta atau kota lain yang masuk dalam kategori zona merah pandemi, membawa keuntungan tersendiri. Apalagi pada musim hujan seperti sekarang, saat masyarakat rentan terkena berbagai penyakit tropis semisal demam berdarah, malaria, tifus (tifoid), dan campak.
Konsultasi soal gejala awal penyakit bisa dilakukan secara virtual. Bila diperlukan, pengguna dapat mengetahui informasi rumah sakit rekanan Prudential terdekat beserta nama dokter yang praktek di rumah sakit tersebut dengan aplikasi yang sama.
Soal biaya pengobatan, para pengguna semakin dimudahkan sebab Pulse juga menyediakan asuransi jiwa PRUTect Care - Tropical Disease yang memberi perlindungan terhadap penyakit tropis—malaria, demam berdarah dengue, tifus, dan campak—serta santunan meninggal dunia akibat COVID 19.
Kontribusi asuransi dimulai dari Rp112.000,- per tahun dan tersedia tiga pilihan paket perlindungan yakni Silver, Gold, dan Platinum. Para nasabah asuransi bisa mendapat manfaat seperti santunan bila meninggal dunia (akibat penyakit tropis maupun bukan) senilai Rp3 juta sampai dengan Rp9 juta. Nasabah juga bisa mendapat santunan saat terdiagnosis penyakit DBD, malaria, tifus, dan campak, senilai Rp1 juta sampai dengan Rp3 juta. Ada pula santunan untuk pasien rawat inap harian (tidak termasuk ICU) sampai dengan Rp300 ribu per hari.
Calon nasabah bisa memilih santunan asuransi sesuai kebutuhan, memilih ragam varian manfaat yang sesuai prioritas diri, memilih masa kepesertaan program (1,3,6, dan 12 bulan). Semua fitur ini dapat diakses melalui aplikasi Pulse.
Pada masa ketika mobilitas manusia masih dibatasi, kemudahan akses adalah sejumput harapan yang membesarkan hati.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis