tirto.id - Hampir 22 tahun silam, Garuda 1, satelit komunikasi milik Indonesia mengangkasa untuk pertama kalinya. Satelit yang dibuat oleh Lockeed Martin berdasarkan rancang bangun satelit A2100AXX ini mengorbit di wilayah geostasioner di titik 123 Bujur Timur (BT) atau tepat berada di langit Sulawesi.
Dengan memanfaatkan roket buatan Rusia, Proton-K/DM3, Garuda 1 terbang dari bandar antariksa Baikonur Cosmodrome di Kazakhstan pada 12 Februari 2000.
Satelit yang memiliki dua antena besar (masing-masing berdiameter 12 meter) serta 88 transponder berspektrum L-Band ini dioperasikan oleh ACeS (PT Asia Cellular Satellite) di Batam untuk melayani komunikasi di seluruh penjuru Indonesia--dengan memanfaatkan 140 "spot beam" atau penerima pancaran sinyal/spektrum khusus yang berada di bumi Nusantara.
Kala itu, Garuda 1 dianggap sebagai pencapaian amat strategis bagi dunia komunikasi Indonesia. Ini tak lain karena Garuda 1 memakai L-Band dan spektrum frekuensi radio dengan pita selebar 1 hingga 2 gigahertz (GHz) yang diyakini paling andal untuk dimanfaatkan sebagai pengindraan maritim hingga komunikasi daerah terpencil. Apalagi, selain Indonesia, hanya Jepang, Australia, Inggris, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia yang memiliki satelit berspektrum L-Band.
Nahas, di tengah keberadaannya yang sangat strategis, tujuh bulan usai mengangkasa di langit Sulawesi, muncul anomali pada satelit ini. Meski sudah diupayakan reparasi oleh teknisi-teknisi ACes, Garuda 1 terpaksa kehilangan 50 persen kekuatannya. Dan pada 2015 silam, dihujani banyak kerusakan sistem, Garuda 1 memasuki tahap unstable state atau tidak stabil untuk digunakan. Hingga, tanpa bisa dicegah, Garuda 1 keluar dari orbit yang telah ditetapkan, melanglangbuana menuju graveyard orbit.
Merujuk aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan orbit diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit yang "kosong" itu. Ini penting, apalagi jika negara pengelola tidak ingin kehilangan hak-nya.
Andai 123 BT tak diisi Indonesia dalam tiga tahun usai "desersi" Garuda 1, slot orbit 123 BT akan dilelang ulang dan sangat mungkin digunakan negara lain. Maka, tak ingin kehilangan slot orbit 123 BT, Presiden Joko Widodo melalui rapat terbatas menginstruksikan Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengisi kekosongan slot tersebut.
Satelit dan Keruwetan
Kemhan akhirnya menjalankan instruksi tersebut dengan berencana memasang satelit militer di slot orbit 123 BT. Mereka meminta bantuan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memperoleh persetujuan penggunaan slot hak Indonesia itu. Dan karena belum memiliki anggaran untuk membuat satelit, Kemhan menyewa satelit Artemis milik Avanti Communication Limited sebagai "floater" atau satelit sementara pengisi orbit pada 6 Desember 2015.
Sayangnya, proses sewa satelit ini dilakukan sebelum Kominfo memberikan izin, persetujuan, dan penggunaan slot orbit 123 BT tersebut. Izin baru diterbitkan Kominfo pada 29 Januari 2016. Dan yang lebih mengherankan, di antara keputusan Kemhan menyewa satelit milik Avanti serta izin yang belum dikeluarkan Kominfo, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat untuk membuatkan satelit pertahanan.
Entah apa yang terjadi, pada 25 Juni 2018, Kemhan mengembalikan hak pengelolaan orbit 123 BT kepada Kominfo. Kominfo pun, pada 10 Desember 2018, mengeluarkan keputusan untuk menempatkan satelit Garuda 2 dan Nusantara A1A pada orbit 123 BT dan menunjuk PT Dini Nusa Kusuma sebagai pengelolanya.
Akhirnya, karena adanya administrasi berbelit ini, serta biaya sewa yang tak dibayar Kemhan, Avanti mengajukan gugatan arbitrasi di London Court of International Arbitration. Suatu gugatan yang memaksa Kemhan (atau Pemerintah Indonesia) diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp515 miliar pada Juli 2019 silam. Tak berhenti di sana, pengadilan arbitrasi Singapura pun menjatuhkan sanksi senilai Rp304 miliar atas kerugian yang diderita Novayo karena kontrak pembuatan satelit pertahanan yang dilanggar Kemhan.
Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, sebagaimana dilaporkan Antara, menyebut Indonesia pun kemungkinan, "...ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat," atas kekacauan Kemhan menjalankan instruksi presiden untuk mengisi orbit 123 BT ini.
Terlebih, melalui audit BPK, Kemhan dan Airbus diketahui menandatangani kontrak pembangunan satelit MMS dan Ground Segment senilai 669,5 juta dolar, atau Rp9,565 triliun--angka yang tidak bisa dipenuhi karena tidak memiliki anggaran, tapi tetap ditandatangani.
Satelit: Penting dan Menguntungkan
Dengan kacaunya upaya Kemhan untuk mengisi slot 123 BT, keberadaan satelit di langit Sulawesi terancam. Padahal, satelit merupakan teknolog teramat penting dan sesungguhnya sangat menguntungkan.
Lebih dari 60 tahun semenjak Sputnik diluncurkan, ada lebih dari 1.300 satelit aktif yang mengorbit Bumi saat ini. Booz & Company, sebuah firma riset pasar, dalam publikasi berjudul “Why Satellites Matter: The Relevance of Commercial Satellites in the 21st Century, A Perspective 2012-2020” mengatakan satelit merupakan industri bernilai 100 miliar Euro.
Industri ini bernilai amat besar karena satelit menjadi tulang-punggung bagi telepon lintas benua, siaran televisi yang menyebar ke berbagai area, hingga dimanfaatkan sebagai petunjuk global bagi manusia, alias global positioning system (GPS).
Angka berbeda tapi senada dipaparkan dalam laporan Satellite Industry Association (SIA). Menurut SIA, dari tahun ke tahun semenjak 2007, pendapatan yang diperoleh industri satelit terus mengalami peningkatan. Pada 2007 industri ini hanya menghasilkan pendapatan 122 miliar dolar, lalu naik dua kali lipat jadi 247 miliar dolar pada 2014. Secara keseluruhan, industri satelit menghasilkan pendapatan senilai 260,5 miliar dolar di 2016 atau sekitar Rp3.600 triliun.
Secara umum, bisnis satelit, sebagaimana termuat dalam publikasi tersebut, mencakup enam bagian, yakni Ground System/Equipment (dikuasai 20 perusahaan global), Satellite Manufacturing (dikuasai 20 perusahaan global), Launch (dikuasai kurang dari 10 perusahaan global), Satellite Operation (dikuasai 50 perusahaan global), Equipment Manufacturing, dan Service Provisioning (yang dikuasai lebih dari 1.000 perusahaan telekomunikasi, lebih dari 1.500 perusahaan ISP, dan lebih 10.000 perusahaan TV berbasis satelit global).
Ada beberapa alasan mengapa industri satelit terus merangkak naik. Misalnya, pada 2016 tercatat adanya peningkatan penggunaan data khusus video sebesar 86 persen dari lalu-lintas IP dunia. Sayangnya, jaringan komunikasi berbasis tanah tak akan sanggup memenuhi seluruh permintaan tersebut. Karena itu, satelit merupakan teknologi yang bisa diandalkan.
Maka, akan sangat disayangkan jika keruwetan satelit yang digarap Kemhan ini tak jua menemui titik terang. Karena Indonesia akan mengalami setidaknya tiga kerugian. Pertama, Indonesia harus membayar ganti rugi (dan itu sudah dilakukan). Kedua, Indonesia bisa kehilangan spot orbit. Dan yang ketiga: akan ada banyak calon pendapatan yang hilang.
Editor: Nuran Wibisono