tirto.id - "Kartu Jakarta Jomblo itu adalah program di ujung akhir kampanye kami, dipakai sebagai varian yang nanti akan digabung dalam program utama kami."
Susah dibayangkan perkataan itu keluar dari mulut Sandiaga Uno, Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta. Ia mengucapkan itu saat berada di kompleks Masjid Al-Azhar, 1 Mei 2017. Beberapa hari sebelumnya ia memang mengatakan akan memperhatikan kaum jomblo. Banyak orang menganggapnya kelakar belaka. Namun, ternyata Sandi serius. Apalagi Sandi juga mengatakan akan membangun pojok taaruf di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak.
Apa yang diungkapkan Sandi ini sebenarnya adalah fenomena yang terjadi sejak lama: menjadikan pria dan perempuan lajang sebagai warga kelas dua. Jomblo, alias belum punya pasangan, dianggap sebagai aib. Lajang, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sendirian (belum kawin), juga mendapat stigma kelas dua sebagai warga tak laku.
Sandi bukan satu-satunya wakil pemerintahan yang getol berbicara soal jomblo dan lajang. Yang dianggap paling awal dan paling sering membahas jomblo ini adalah Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung. Selain sering bercanda soal jomblo, Ridwan sering memberi nasihat untuk menikah. Pada postingan 2 minggu lalu, misalkan. Ridwan berkisah tentang kenekatannya untuk menikah dengan modal pas-pasan. Ia berjanji pada calon istrinya untuk kelak mengajaknya keliling dunia. Setelah menikah, Ridwan dan istri memang akhirnya tinggal di Amerika Serikat dan Hongkong.
"Mau? Nikahlah (percayalah wanita baik2 itu hanya butuh keyakinan bukan kemewahan, *mungkin sedikit transferan)," tulis Ridwan di postingan yang disukai oleh 455.575 akun itu.
Langkah Ridwan juga berlanjut ke tindakan. Ia, misalkan, membuat Taman Jomblo. Apalagi alasannya kalau bukan popularitas yang akan didapat. Berkat guyonan santai dan khas anak muda, serta selalu update kegiatan di media sosial, Ridwan populer di kalangan anak muda. Ia dianggap sebagai perwakilan pemerintah yang modis, gaul, memahami anak muda, dan tentu saja alim. Wajar kalau pengikutnya di Instagram mencapai 6,2 juta.
Dan kita bisa melihat, Sandi sedang perlahan mengikuti jejak Ridwan.
Diskriminasi Terhadap Lajang
Di Amerika Serikat ternyata juga terjadi diskriminasi terhadap kaum lajang. Bedanya, diskriminasi ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Tak berupa guyonan norak dan dorongan menikah yang menyebalkan. Contoh kasusnya pernah ditulis oleh Lisa Arnold dan Christina Campbell dari The Atlantic dalam artikel "The High Price of Being Single in America."
Di sana, dua penulis ini mengatakan bahwa ada banyak diskriminasi terhadap warga lajang di AS. Mulai pembayaran asuransi yang lebih mahal, pajak yang lebih tinggi, hingga kesusahan mencari apartemen. Diskriminasi ini tetap berlaku walaupun ada U.S. Federal Code Title 5 Part III, yang mengatakan, "Presiden boleh membuat peraturan yang melarang diskriminasi karena status perkawinan."
Contoh dari diskriminasi tersebut adalah pembayaran pajak. Lisa dan Christina membandingkan dua pembayaran pajak dari seorang perempuan lajang dan seorang perempuan yang menikah. Perempuan lajang ini mendapatkan pendapatan $40.000 per tahun dan membayar pajak sebesar $6.181 per tahun. Yang sudah menikah hanya membayar $5.162 per tahun.
Semakin besar pendapatan, kesenjangan pembayaran pajak itu akan makin besar. Narasumber lajang kedua adalah perempuan yang mendapatkan gaji $80.000 per tahun dan membayar pajak $16.125, sedangkan yang sudah menikah mendapat gaji sama namun membayar pajak lebih murah $4.000. Perempuan yang sudah menikah di AS, tulis Lisa dan Christina, memasukkan formulir pembayaran pajak bersama sehingga yang mereka bayarkan lebih murah ketimbang yang masih lajang.
Diskriminasi ini juga terjadi di berbagai sektor. Mulai dari Social Security (semacam BPJS di sana), biaya kesehatan, hingga soal hunian.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap lajang ini tidak hanya berada di ranah privat, namun juga terjadi di sektor publik. Contoh kecil, beban pajak lajang yang bekerja akan lebih besar ketimbang pekerja yang sudah menikah. Contoh lain bisa ditengok pada Pegawai Negeri Sipil. Besaran gaji PNS yang sudah berkeluarga pasti akan lebih besar ketimbang PNS lajang, karena mereka mendapat tunjangan istri dan anak (jika sudah punya). Tunjangan istri sebesar 10 persen gaji pokok, dan tunjangan anak 2 persen gaji pokok.
Selain itu diskriminasi juga terjadi soal jam kerja. Pernah dengar celetukan, "mumpung masih bujang, kamu saja yang kerjain lembur. Kalau yang sudah berkeluarga kasihan." Itu juga terjadi di banyak kantor, tak hanya swasta tapi juga di pemerintahan. Gita Wiryawan, lajang yang sekarang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak juga mengaku sering disuruh lembur karena alasan "mumpung masih bujang."
"Di beberapa tempat tertentu, ada kepala bagian yang lebih sering menyuruh pekerja lajang untuk lembur. Alasannya memang mumpung masih bujang," kata Dwi Nugroho, pekerja lain di sebuah kementerian.
Lajang Sebagai Kekuatan Politik
Pada Februari 2016, Rebecca Traister dari NYMag menulis artikel menarik berjudul "The Single American Woman." Subjudulnya adalah, "Kelompok pemilih paling kuat tahun ini, perempuan Amerika lajang jumlahnya terus meningkat dan menjadi kategori warga baru."
Di tulisannya itu, Rebecca mengungkapkan statistik di Amerika: pada 2009, perempuan Amerika yang menikah jumlahnya turun di bawah 50 persen. Ini artinya, kata Rebecca, untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat perempuan lajang (termasuk yang belum pernah menikah, janda, bercerai, atau berpisah) jumlahnya lebih banyak ketimbang yang menikah. Sekarang di AS, di kelompok perempuan usia 18-29 tahun hanya 20 persen yang menikah.
Ini membawa banyak perubahan dalam tatanan masyarakat AS, termasuk untuk urusan politik. Perempuan AS sekarang berkembang menjadi kelompok yang tak lagi bergantung secara ekonomi, sosial, seksual, kepada lelaki. Secara politik, kini kaum perempuan lajang di AS menuntut program yang bermanfaat bagi mereka. Semisal tuntutan untuk gaji yang setara, cuti untuk urusan keluarga dan tetap dibayar, UMR yang lebih tinggi, hingga berbagai akses terhadap hak terkait urusan perempuan seperti haid atau hamil.
Hingga setengah abad lalu, isu-isu itu nyaris tak pernah diangkat dalam dunia politik AS. Sekarang isu itu lebih diperhatikan. Apalagi sejak 2012 di AS, perempuan lajang mewakili 23 persen suara pemilih. Menurut Page Gardner, pendiri lembaga Voter Participation Center, pada pemilihan presiden AS 2012, perempuan lajang jumlahnya meningkat di segala demografi pemilih.
"Hampir 40 persen di populasi Afrika-Amerika, hampir 30 persen di populasi Latin, dan sekitar sepertiga dari semua pemilih muda," ujarnya. Hasilnya memang berpengaruh besar bagi sang pemenang Pilpres AS 2012, Barack Obama. Menurut Voter Participation Center, 67 persen perempuan lajang memilih Obama.
Ini artinya, jika berhimpun, para lajang di Indonesia mempunyai daya tawar kuat. Mereka bisa menuntut berbagai perubahan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya persamaan gaji, keringanan membayar pajak, hingga kemudahan membeli rumah.
Di sisi lain, politisi seharusnya lebih melek terhadap isu krusial para lajang. Jadi tak melulu berbicara hal yang klise, membosankan, dan menyebalkan seperti guyonan jomblo dan taaruf. Walau ini bisa dipahami karena pendekatan seperti itu yang sekarang amat populer di kalangan anak muda kebanyakan: calon lumbung suara.
Komisi Pemilihan Umum pernah merilis data bahwa pemilih Pilkada 2017 di 101 daerah berjumlah 41,8 juta orang. Pemilih pemula (17-21 tahun) berjumlah 2,3 juta orang. Sedangkan pemilih muda (17-30 tahun) berjumlah 13,6 juta alias hampir 1/3 dari total pemilih. Sedangkan di DKI Jakarta, 718 ribu pemilih pemula (usia 17-21 tahun). Sedangkan pemilih muda (17-30 tahun) lebih banyak, yakni 1,3 juta orang alias sekitar 28 persen dari total pemilih. Jumlah pemilih pemula dan muda ini amat besar dan menggiurkan. Tentu ini dimanfaatkan oleh politisi.
Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menyayangkan calon kebijakan seperti pojok taaruf. Ia sempat terhenyak ketika diberitahu bahwa rencana ini benar-benar diomongkan oleh Sandi.
"Dia sedang bercanda atau bagaimana? Dia enggak sadar kalau dia pemimpin daerah?" tanyanya.
Para lajang, terutama di Jakarta yang akan dipimpin oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, memang sebaiknya berhimpun. Ada banyak yang bisa dipelajari dari himpunan lajang dari negara lain, yakni tuntutan untuk hajat hidup orang banyak. Di Amerika Serikat, lembaga seperti Levo League (yang salah satu anggotanya adalah Chelsea Clinton) meluncurkan kampanye bertajuk Ask4More. Mereka mengajak perempuan untuk menegosiasikan gaji yang lebih layak.
Di Indonesia kampanyenya bisa disesuaikan dengan isu besar, seperti misalkan, pernikahan anak. "Seharusnya para lajang itu bisa fokus dengan isu seperti itu, dan mengusahakan agar usia perkawinan itu dinaikkan. Tunggu cukup umur, deh," ujar Tunggal.
Selama ini pendekatan pemerintah kepada kaum lajang—paling tidak seperti yang dilakukan oleh Ridwan ataupun Sandi—memang amat dangkal. Tak jauh dari ejekan jomblo dan taaruf, paling banter bikin taman bernama Taman Jomblo. Seharusnya baik kaum lajang maupun pemerintah sadar bahwa mencari pasangan dan menikah itu adalah ranah privat. Negara tidak berhak dan tidak seharusnya mencampuri urusan privat warganya.
Ridwan atau Sandi sebaiknya meniru apa yang dilakukan oleh, misalkan Wali Kota New York, Bill de Blasio. Ia beberapa kali ikut demonstrasi dan mendukung para pekerja bergaji rendah di industri restoran cepat saji. Perkara peningkatan upah jelas lebih penting ketimbang isu mencari pasangan. Begitu pula yang dilakukan oleh Gubernur New York, Andrew Cuomo. Ia meloloskan tuntutan tentang peningkatan bujet untuk sekolah prataman kanak-kanak. Penyediaan sekolah layak bagi anak usia dini tentu penting bagi para pemilih, ketimbang isu jomblo dan taaruf.
"Jadi pemimpin itu harusnya fokus pada hak dasar. Melihat siapa kelompok paling rentan. Penuhi dulu kebutuhan kelompok rentan. Pemimpin yang fokus pada hal tidak penting itu biasanya tipikal pemimpin miskin gagasan," kata Tunggal.
Alih-alih sibuk mengurusi jomblo dan taaruf, Anies dan Sandi, juga Ridwan Kamil, atau siapapun kepala pemerintahan di Indonesia, mungkin lebih baik membuat kebijakan yang memenuhi hak dasar warganya. Sebaliknya, warga lajang yang sering dibawa-bawa para politisi ini harus lebih aktif menyuarakan tuntutan politik serius sehingga para politisi itu tak lagi sibuk mengurusi ruang privat warganya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti