Menuju konten utama

Perjalanan Sandal Melintas Zaman

Perjalanan sandal telah melintas negara dan zaman. Ia kini menjadi sebuah simbol kenyamanan bagi penggunanya. Variasinya juga sudah sangat beragam. Bagaimana bentuk sandal di masa silam?

Perjalanan Sandal Melintas Zaman
Warga binaan menunjukkan hasil kerajinan berupa sandal bertema kata-kata bahasa Minang di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) II A Muaro, Padang, Sumatera Barat. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

tirto.id - Vid adalah seorang mahasiswa semester akhir di sebuah perguruan tinggi negeri terpadat di Kota Malang. Saat liburan semester beberapa waktu lalu, ia masih harus datang ke kampus karena mengikuti perkuliahan semester pendek.

Pagi itu, Vid datang terlambat saat perkuliahan sudah dimulai beberapa menit. Sebagai ganjaran, ibu dosen memberinya sanksi dengan bernyanyi menghibur di depan kelas. Bagi Vid yang seorang vokalis di homeband fakultas, hukuman itu tentu saja terasa menyenangkan.

Belum sampai mahasiswa ini bernyanyi, ibu dosen terkejut saat melihat Vid berdiri di depan dengan hanya memakai sandal jepit.

“Vid, kenapa tidak pakai sepatu? Kok pakai sandal jepit?” Kata ibu dosen kaget setengah heran.

Vid yang berpenampilan ala anak band ini pun hanya bisa nyengir sembari menjawab: “Saya lupa, bu.”

Bagi Vid, memakai sandal jepit adalah sebuah kejujuran kepada telapak kakinya. Memakai sandal jepit adalah sebuah kenyamanan, praktis, santai, dan tidak sedang dalam situasi yang banyak aturan.

Jejak Sandal di Berbagai Dunia

Kata sandal berasal dari bahasa Yunani yaitu sandalion yang diturunkan menjadi sandal. Sandal dapat didefinisikan sebagai pelindung telapak kaki dengan tali pengikat yang melewati punggung kaki atau beberapa jenis melewati pergelangan kaki.

Bahan dari sandal bisa terbuat dari kulit, plastik, jerami, logam, atau karet. Sandal paling pas dipakai dalam keadaan panas, iklim kering, daerah berbatu atau kondisi cuaca dan medan yang ekstrim lainnya.

Melihat ke belakang lagi, sekitar 6000 SM perajin sandal di Sumeria mulai menggunakan kulit binatang sebagai bahan utama sandal. Di belahan bumi lainnya, tepatnya di negara bagian Oregon, Amerika Serikat, ditemukan sandal yang terbuat dari kulit di Gua Ford Rock pada tahun 1938. Menurut National Geographic, umurnya berkisar antara 10.500 tahun yang lalu dan dikenakan oleh orang Amerika Utara asli pada waktu itu.

Peradaban Mesir kuno juga mencatatkan kehadiran penggunaan sandal. Ini merujuk pada mural di makam dan kuil-kuil bergambar sandal jepit yang berumur 4000 SM. Sedangkan sepasang sandal jepit Mesir kuno yang dipamerkan di British Museum telah berusia 1500 SM. Sandal tersebut terbuat dari daun lontar dan dalam perkembangannya telah dibuat dengan berbagai macam bahan.

Pengrajin Mesir kuno mahir membuat berbagai sentuhan dalam sandal jepit. Beberapa dibuat dengan desain yang praktis dan sederhana, tapi beberapa lainnya dibuat dengan sangat kaya ornamen dan sentuhan seni. Perbedaan desain ini juga merujuk pada tingkatan status sosial penggunanya. Komposisi dari sandal ini rata-rata terbuat dari daun lontar atau daun kelapa, berkelok-kelok mirip dengan anyaman keranjang yang melingkar.

Sandal Mesir kuno yang menakjubkan ditemukan di makam Raja Tutankhamun. Warnanya didominasi ungu, dengan taburan potongan-potongan emas, kulit pohon birch, tulang dan bahkan potongan kaca hias untuk menambah kesan mewah dan glamor.

Di Yunani, selain sandal yang sederhana terbuat dari daun dedalu, ranting, atau serat seperti yang dikenakan oleh aktor di serial cerita berlatar Yunani kuno atau para filsuf-filsuf, juga dikenal Kothurnus, jenis sandal lainnya yang biasa digunakan oleh penunggang kuda, pemburu dan oleh orang-orang yang memiliki pangkat dan otoritas. Perbedannya ada pada telapak sandal yang dibuat lebih tebal yang biasanya menggunakan irisan seperti gabus dan menambah efek tinggi badan pada pemakainya. Beberapa wanita biasanya juga menggunakan kothurnus untuk menambah kesan tinggi dalam penampilannya

Paduka adalah nama tertua di India yang merujuk pada alas kaki atau sandal. Bentuknya umumnya menyerupai lekuk telapak kaki dengan sebuah pegangan fleksibel yang ketika digunakan terjepit di antara jempol kaki dan jari kaki kedua. Bahan baku umumnya dari kayu, gading atau bahkan perak. Kadang-kadang juga memakai berbagai hiasan yang rumit dan menunjukkan tingkat kegunaannya sebagai setelan dari baju pengantin, namun juga bisa diberikan sebagai persembahan keagamaan atau malah menjadikan pemakainnya sebagai objek pemujaan.

Era Romawi antara 100-50 SM, istilah Sandalium merujuk pada sandal itu sendiri. Biasanya digunakan oleh para petarung gladiator dan terbuat dari kulit. Saat kekaisaran Romawi, Julius Cesar dan anaknya memilih sandal dengan warna merah dan ungu. Sedangkan Poppaea istri kaisar Nero memilih sandal yang terbuat dari emas, dengan tatahan batu-batu mulia. Ketika itu yang menjadi pembeda status sosial pengguna sandal adalah dari warnanya.

Jenis alas kaki lainnya yang paling umum adalah Solea, atau sandal. Sebuah alas kaki dari kulit atau tenunan daun papirus, yang dipasangkan ke kaki dengan tali sederhana ke bagian atas dari kaki, atau hanya sampai punggung kaki. Alas kaki dalam ruangan lainnya termasuk Soccus, sebuah sandal kulit longgar.

Daratan Spanyol mengenal alas kaki yang merujuk pada sandal bernama Espadrilles. Museum Arkeologi Granada memiliki sepasang Espadrilles yang ditemukan pada manusia yang tinggal di Cueva de los murielagos (gua kelelawar) dan diperkirakan sandal ini berusia sekitar 4000 tahun. Sandal ini dibuat dari tali goni atau rami yang dikepang dan dengan kain linen yang juga berasal dari Spanyol.

Nama Espadrille diambil dari sebuah tanaman yang awalnya terbakar kemudian dijalin untuk menjadi sol sandal. Abad ke 13, sandal ini biasa dipakai oleh pasukan infantri Raja Aragon. Perkembanganya terbatas di daerah Perancis selatan, Spanyol dan Portugal. Pada 1930-an sempat populer sandal Espadrille dengan bahan ban bekas terutama di kalangan kaum bohemian Amerika.

Negeri samurai mengenal sandal dengan nama Geta dan mulai berkembang di era Heian 794-1192. Geta terbuat dari sepotong kayu yang di bagian belakangnya memiliki ketinggian 4 sampai 5 sentimeter. Fungsi dari ini untuk menghindari kain kimono yang dikenakan kotor mengenai tanah ketika berjalan. Selain Geta, ada Waraji yang terbuat dari anyaman jerami atau tali. Pada zaman feodal, abad ke-12 hingga 19, kaum samurai Jepang dan pasukan infanteri (ashigura) biasa memakai sandal jenis ini.

Jepang juga memiliki jenis sandal jepit lagi seperti Zori yang biasanya terbuat dari jerami, kain, kulit, atau karet.

Era modern

Majalah Historia (13/2013) pernah menuliskan, Setelah Perang Dunia Kedua, serdadu Amerika kembali ke negaranya dengan membawa Zori yang adalah sandal jepit tradisional dari Jepang sebagai souvenir. Sempat menjadi tren, sandal ini juga ditinggalkan karena berbahan karet murah dan membuat lecet. Tapi ia tidak benar-benar tenggelam. Pada 1957, Morris Yock seorang pebisnis dari Selandia Baru mematenkan produk sandalnya bernama “Jandal” yang adalah singkatan dari Japan dan Sandal.

Perkembangan industri plastik tercatat juga turut andil dalam produksi massal sandal ini. Pada tahun 1950-an, teknik cetak baru yang menggabungkan karet dan plastik diperkenalkan di taiwan. Hal inilah yang membentuk jenis sandal jepit sampai sekarang termasuk di Indonesia.

Meskipun begitu, di balik kemudahan dan kemurahan yang ditawarkan oleh sandal jepit, ancaman cedera juga terbuka karena desain dari sandal jepit yang sederhana. Menurut Daily Mail, pada 2010, ada 200.000 pengguna sandal jepit yang cedera. Para ahli menyampaikan bahwa sandal jepit memaksa orang untuk mengubah cara berjalan mereka. Ketika pengguna mengambil langkah, mereka menempakan tekanan pada bagian kaki depan dibanding tumit mereka. Ini menyebabkan cedera jangka panjang.

Kendati demikian, sandal merupakan salah satu alas kaki favorit tidak hanya orang Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Ia bukan hanya sekadar alas untuk melindungi kaki, tapi juga simbol dari kenyamanan dan kemerdekaan bagi penggunanya.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti