tirto.id - “Perempuan, apa lagi di Indonesia, hidupnya berat sekali karena omongan orang lain. Banyak wanita yang terpaksa melupakan mimpi mereka karena takut: 'Nanti orang lain bilang apa kalau saya tidak begini, tidak begitu?'” ujar penyanyi Anggun tentang lagu barunya, “Siapa Bilang Nggak Bisa.” Ia berharap lagu itu dapat menginspirasi para perempuan Indonesia untuk menggapai cita-cita dan mendobrak batasan-batasan tak adil yang kerap dipatok konstruk sosial bagi perempuan.
Pada 2007, sejarawan Harvard, Laurel Thatcher Ulrich, menulis buku berjudul provokatif: Well-Behaved Women Seldom Make History—perempuan baik-baik jarang menciptakan sejarah. Meski mengejutkan, pernyataan itu bukan omong kosong. Ulrich mengisahkan riwayat para tokoh perempuan, antara lain Christine De Pizan, penulis terkemuka abad pertengahan, perintis tulisan-tulisan feminisme; Elizabeth Cady Stanton, aktivis hak perempuan asal Amerika yang menulis The Women’s Bible; serta Virginia Woolf, novelis besar Inggris.
Saat kebanyakan orang membiarkan, atau bahkan ikut melestarikan, kultur yang melemahkan dan mempersempit peran perempuan dalam lingkup sosial, mereka justru bersuara dan tampil di depan dengan cara masing-masing. Karena itulah mereka, mengacu kepada judul buku Ulrich, dianggap mahiwal—nyeleneh, menyimpang. Tetapi karena itu pulalah mereka sanggup mengukir sejarah.
Di Indonesia, tentu ada pula perempuan-perempuan yang menciptakan sejarah. Dewi Sartika, misalnya. Pada 1904, saat masyarakat meyakini ruang gerak perempuan cuma sebatas sumur, dapur, dan kasur, putri menak Bandung tersebut malah membuka Sakola Istri, sekolah pertama di Tatar Priangan untuk para perempuan pribumi.
Pada 1911, di Sumatera Barat, Rohana Kudus mendirikan sekolah Amai Setia yang secara khusus mengajari para perempuan membuat barang-barang kriya, untuk kemudian dijual.
Kemandirian finansial adalah kekuatan, maka Rohana ditentang orang-orang yang ingin perempuan tunduk belaka. Tetapi alih-alih berhenti, ia justru memperluas upayanya mencerdaskan sesama. Selang setahun, Rohana mendirikan Sunting Melayu, surat kabar mingguan yang dikelola sekaligus ditujukan kepada kaum perempuan pribumi. Sunting Melayu terbit selama 9 tahun, memuat tulisan-tulisan para perempuan dari pelbagai penjuru Hindia Belanda.

Perempuan Mencipta Sejarah
Dewi Sartika dan Rohana Kudus menunjukkan bahwa keberadaan ruang-ruang yang tertutup bagi perempuan hanyalah mitos. Siapa bilang perempuan tak bisa terdidik, mandiri, dan bersuara?
Pembongkaran mitos-mitos merugikan itu berjalan terus dan, atas nama kemanusiaan, ia memang perlu diteruskan hingga tak ada lagi diskriminasi berdasarkan gender; hingga dunia tak lagi berat sebelah.
Kini kita mengenal, misalnya, Angkie Yudistia. Angkie terlahir dengan hambatan fisik besar. Ia tunarungu. Namun, jauh dari sekadar meratapi nasib, ia melakukan kerja-kerja besar. Angkie mendirikan Thisable Enteprise, yang membantu para penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan, dan menulis dua buku.
Ada pula kabar-kabar menggembirakan dari dunia sains. Bidang tersebut, kita tahu, didominasi laki-laki (orang mudah saja jika diminta menyebutkan nama-nama ilmuwan laki-laki, tetapi ilmuwan perempuan? Belum tentu). Kini ada Premana W Premadi, astronom dan akademisi Institut Teknologi Bandung. Ia adalah wanita Indonesia pertama yang namanya diabadikan di langit: asteroid 12937 Premadi, sebagai penghargaan atas kiprahnya selaku pendidik.
Ada pula Evvy Kartini, fisikawan yang menemukan model baru difusi dalam material gelas. Kini Evvy merancang baterai mikro berbahan gelas. Memanfaatkan metode hamburan neutron, baterai itu diharapkan dapat menghasilkan daya yang lebih besar ketimbang baterai pada umumnya sekaligus lebih ramah lingkungan.
Pada 2016, Badan Pusat Statistik menyebut jumlah penduduk Indonesia adalah 258,71 juta jiwa, dan 128,72 juta jiwa di antaranya ialah perempuan. Komposisi penduduk berusia produktif antara perempuan dan laki-laki pun cukup berimbang: 66,95% berbanding 66,99%. Namun, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun yang sama, jumlah keseluruhan pekerja dari 17 sektor pekerjaan masih didominasi laki-laki. Rinciannya: 45,8 juta orang pekerja, terdiri dari 29,3 juta laki-laki dan 16,4 juta perempuan.
Jumlah perempuan Indonesia yang bekerja memang belum sebanyak laki-laki. Tetapi para perempuan—terutama yang tak gentar dianggap “menyimpang” dari konstruk sosial--telah dan terus menunjukkan bahwa mereka, bahkan ketika menjadi minoritas di bidangnya, bisa berada di depan dan menciptakan sejarah.
Pada 2007, sejarawan Harvard, Laurel Thatcher Ulrich, menulis buku berjudul provokatif: Well-Behaved Women Seldom Make History—perempuan baik-baik jarang menciptakan sejarah. Meski mengejutkan, pernyataan itu bukan omong kosong. Ulrich mengisahkan riwayat para tokoh perempuan, antara lain Christine De Pizan, penulis terkemuka abad pertengahan, perintis tulisan-tulisan feminisme; Elizabeth Cady Stanton, aktivis hak perempuan asal Amerika yang menulis The Women’s Bible; serta Virginia Woolf, novelis besar Inggris.
Saat kebanyakan orang membiarkan, atau bahkan ikut melestarikan, kultur yang melemahkan dan mempersempit peran perempuan dalam lingkup sosial, mereka justru bersuara dan tampil di depan dengan cara masing-masing. Karena itulah mereka, mengacu kepada judul buku Ulrich, dianggap mahiwal—nyeleneh, menyimpang. Tetapi karena itu pulalah mereka sanggup mengukir sejarah.
Di Indonesia, tentu ada pula perempuan-perempuan yang menciptakan sejarah. Dewi Sartika, misalnya. Pada 1904, saat masyarakat meyakini ruang gerak perempuan cuma sebatas sumur, dapur, dan kasur, putri menak Bandung tersebut malah membuka Sakola Istri, sekolah pertama di Tatar Priangan untuk para perempuan pribumi.
Pada 1911, di Sumatera Barat, Rohana Kudus mendirikan sekolah Amai Setia yang secara khusus mengajari para perempuan membuat barang-barang kriya, untuk kemudian dijual.
Kemandirian finansial adalah kekuatan, maka Rohana ditentang orang-orang yang ingin perempuan tunduk belaka. Tetapi alih-alih berhenti, ia justru memperluas upayanya mencerdaskan sesama. Selang setahun, Rohana mendirikan Sunting Melayu, surat kabar mingguan yang dikelola sekaligus ditujukan kepada kaum perempuan pribumi. Sunting Melayu terbit selama 9 tahun, memuat tulisan-tulisan para perempuan dari pelbagai penjuru Hindia Belanda.

Perempuan Mencipta Sejarah
Dewi Sartika dan Rohana Kudus menunjukkan bahwa keberadaan ruang-ruang yang tertutup bagi perempuan hanyalah mitos. Siapa bilang perempuan tak bisa terdidik, mandiri, dan bersuara?
Pembongkaran mitos-mitos merugikan itu berjalan terus dan, atas nama kemanusiaan, ia memang perlu diteruskan hingga tak ada lagi diskriminasi berdasarkan gender; hingga dunia tak lagi berat sebelah.
Kini kita mengenal, misalnya, Angkie Yudistia. Angkie terlahir dengan hambatan fisik besar. Ia tunarungu. Namun, jauh dari sekadar meratapi nasib, ia melakukan kerja-kerja besar. Angkie mendirikan Thisable Enteprise, yang membantu para penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan, dan menulis dua buku.
Ada pula kabar-kabar menggembirakan dari dunia sains. Bidang tersebut, kita tahu, didominasi laki-laki (orang mudah saja jika diminta menyebutkan nama-nama ilmuwan laki-laki, tetapi ilmuwan perempuan? Belum tentu). Kini ada Premana W Premadi, astronom dan akademisi Institut Teknologi Bandung. Ia adalah wanita Indonesia pertama yang namanya diabadikan di langit: asteroid 12937 Premadi, sebagai penghargaan atas kiprahnya selaku pendidik.
Ada pula Evvy Kartini, fisikawan yang menemukan model baru difusi dalam material gelas. Kini Evvy merancang baterai mikro berbahan gelas. Memanfaatkan metode hamburan neutron, baterai itu diharapkan dapat menghasilkan daya yang lebih besar ketimbang baterai pada umumnya sekaligus lebih ramah lingkungan.
Pada 2016, Badan Pusat Statistik menyebut jumlah penduduk Indonesia adalah 258,71 juta jiwa, dan 128,72 juta jiwa di antaranya ialah perempuan. Komposisi penduduk berusia produktif antara perempuan dan laki-laki pun cukup berimbang: 66,95% berbanding 66,99%. Namun, menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun yang sama, jumlah keseluruhan pekerja dari 17 sektor pekerjaan masih didominasi laki-laki. Rinciannya: 45,8 juta orang pekerja, terdiri dari 29,3 juta laki-laki dan 16,4 juta perempuan.
Jumlah perempuan Indonesia yang bekerja memang belum sebanyak laki-laki. Tetapi para perempuan—terutama yang tak gentar dianggap “menyimpang” dari konstruk sosial--telah dan terus menunjukkan bahwa mereka, bahkan ketika menjadi minoritas di bidangnya, bisa berada di depan dan menciptakan sejarah.
(tirto.id - Mild Report)
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dea Anugrah
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dea Anugrah