Menuju konten utama
Diajeng Berdaya

Menjahit Pembalut Kain: Solusi Westiani Atasi Period Poverty

Melalui organisasi Biyung, Westiani berjuang untuk edukasi hak menstruasi sehat dan pemberdayaan komunitas perempuan lewat pelatihan produksi pembalut kain

Menjahit Pembalut Kain: Solusi Westiani Atasi Period Poverty
Westiani Agustin dari Yayasan Biyung. tirto.id/Quita

tirto.id - Period poverty, keterbatasan akses terhadap hak menstruasi sehat, termasuk produk alat penampung darah yang sehat dan aman, bukanlah isu yang dulu Westiani Agustin bayangkan bakal digelutinya sekarang.

Akan tetapi, kini, sehari-hari dirinya berkutat dengan upaya mengakhiri period poverty melalui program pelatihan menjahit pembalut kain di berbagai pelosok daerah di Indonesia.

Semua bermula dari ketertarikan Ani, sapaan akrabnya, dalam bidang pendidikan lingkungan sejak tahun 2000. Ia acap kali berkeliling ke sekolah-sekolah dan kelompok masyarakat untuk meningkatkan awareness tentang pelestarian lingkungan.

Sampai tibalah ia merasa tergelitik oleh persoalan limbah pembalut sekali pakai yang dikaitkan dengan stigmatisasi perempuan sebagai “perusak Bumi”.

Hal ini setelah berbagai studi mengonfirmasi tingginya sampah pembalut sekali pakai.

International Journal of Gynecology and Obstretics (2022) mengemukakan, orang yang menstruasi menggunakan 5.000 sampai 15.000 pembalut plastik dan tampon sepanjang hayatnya.

Menurut laporan di India pada 2023, setidaknya seorang perempuan menghasilkan 28,8 kg limbah dari penggunaan pembalut konvensional dalam seumur hidupnya. Sementara hasil limbah tampon sekitar 7,2 kg.

Pembalut plastik disebut menimbulkan dampak kerusakan lingkungan paling berat karena proses produksinya melibatkan bahan bakar fosil, menyisakan jejak karbon tinggi dan segunung limbah kering maupun basah.

Beberapa tahun belakangan, menstrual cup—cangkir menstruasi—digadang-gadang sebagai produk penampung darah menstruasi paling minim limbah. Sayangnya, pilihan ini belum terlalu dilirik oleh perempuan Indonesia. Selain harganya relatif mahal, sebagian perempuan masih merasa belum punya cukup pengetahuan tentang cara pakainya.

Pembalut kain, menurut Ani, dapat menjadi solusi alternatif yang mudah menjangkau banyak perempuan dan tentunya menekan volume limbah.

Pada 2018, Ani dan sejumlah kawannya yang berbasis di daerah Sleman, Yogyakarta mencoba merancang skema bisnis penjualan satu set berisi empat lembar pembalut kain. Harganya Rp100 ribu.

Walau banyak menerima respons positif, ternyata masih ada keluhan terkait harga yang dirasa kurang terjangkau. Terutama bagi kelompok perempuan di Gunung Kidul. Belum lagi ongkos ekspedisinya ke Gunung Kidul yang bisa jadi jauh lebih tinggi daripada pengiriman ke ibukota Jakarta.

Ani seakan disadarkan, “Kalau mau bicara pelestarian lingkungan, kita juga harus bicara tentang keadilan ekologi. Dan produk kami ternyata belum cukup adil bagi semua individu yang menstruasi.”

Memasuki akhir 2018, seorang sahabat menyarankannya agar bertolak langsung ke Gunung Kidul untuk memberikan pelatihan menjahit pembalut kain. Ani mantap mengiyakan.

Setelah tiga bulan menggalang donasi, pada Februari 2019, Ani dan tim menggelar workshop menjahit pembalut kain dengan 30 perempuan Padukuhan Kelor Kidul di Desa Kemadang.

“Tiba di sana, kami merasa heroik, ya,” Ani tertawa mengenang pelatihan pembalut kain pertamanya.

Ketika membuka sesi latihan dengan pertanyaan “kenapa tertarik dengan pembalut kain?”, Ani mendapat jawaban tak terduga dari peserta.

“Eh, mereka malah cerita soal menstruasi. Sebagian besar waktu workshop pun jadi obrolan tentang menstruasi... Mereka bertanya-tanya kenapa perempuan punya kodrat untuk mens, kenapa tidak punya pilihan terjangkau selain pembalut plastik sekali pakai, harus merasa panas dan gatal setelah memakainya…”

Ani kemudian memutuskan untuk mengalokasikan energi lebih pada edukasi tentang kesehatan menstruasi alih-alih sebatas pelatihan menjahit pembalut kain.

Pertimbangan ini terkait dengan realita bahwa pembalut kain cenderung dilirik mereka yang aktif di media sosial. Ani asumsikan, sekitar 80 persen perempuan diperkirakan belum terhubung dengan isu ini. Proporsi inilah yang ingin Ani jadikan target dalam programnya.

Demikian awal mula gerakan edukasi hak-hak menstruasi sehat di bawah naungan organisasi Biyung—ibu—nama yang terinspirasi dari legenda tentang kasih sayang ibu di Pantai Siung, Gunung Kidul.

“Kami mendedikasikan [nama] ini kepada para ibu, juga ibu Bumi, karena kami melihat kaitannya dengan kerahiman, ya. Seorang ibu yang mempunyai rahim menjadi sumber kehidupan, termasuk ibu Bumi juga sumber kehidupan bagi semua makhluk,” jelas Ani.

Ani tak menampik ingin membangun Biyung yang ideal sebagai entitas bisnis sekaligus organisasi sosial.

“Di dalam yayasan kami ada satu divisi untuk memproduksi merchandise yang semua orang bisa pesan. Hasil penjualannya semua masuk kembali ke program kami,” papar Ani terkait pembalut kain produksi Biyung yang dijual di beberapa etalase e-commerce.

Selain disokong oleh sumbangan donatur, aktivitas Biyung dapat berjalan lancar berkat kerja sama dengan kolaborator, seperti organisasi atau lembaga swadaya yang sebagian sudah siap dengan pendanaan sendiri.

Ani bersyukur betul dapat mempelajari strategi berjejaring setelah menerima pelatihan capacity-building tentang women social entrepreneurship dari lembaga nirlaba Ashoka pada 2022 silam.

Selama lima tahun beroperasi, Biyung berhasil menyelenggarakan sedikitnya 50 sesi pelatihan pembalut kain—mayoritas di kota-kota besar di Jawa.

Infografik Diajeng Gerakan Biyung

Infografik Diajeng Gerakan Biyung. tirto.id/Nadya

Banyak hal membikin Ani gerah dalam usahanya mengurangi period poverty selama ini.

Salah satunya terkait produksi dan pemasaran pembalut plastik yang cenderung kurang mengutamakan sisi kesehatan karena kuatnya pandangan tentang menstruasi sebagai urusan hygiene alias kebersihan semata.

“Negara, dan sistem di dunia, menempatkan menstruasi sebagai persoalan kebersihan, bukan kebutuhan atau hak kesehatan—sehingga menstruasi adalah bagaimana melulu tentang menyediakan suplai atas permintaan pasar terhadap produk kebersihan.”

Ani mencontohkan berita viral beberapa waktu silam tentang pembalut reject yang satu karungnya dijual seharga Rp25 ribu, “Jadi, bagaimana menyuplai alat pembersih darah semurah-murahnya, tidak peduli terbuat dari apa, standarnya bagaimana, untuk memenuhi kebutuhan pasar yang memang sangat besar,”

Ani juga menyayangkan kurangnya peran pemerintah dalam menyediakan sistem pengolahan sampah bekas pembalut yang memadai.

“Negara membiarkan kita untuk menghasilkan limbah sampah yang tidak tahu mau diapakan… Mereka mau terima pajak dari produsen pembalut, tapi tidak mau mengurus pasca konsumsinya.”

Ani semakin pusing karena persoalan limbah pembalut juga mustahil dipisahkan dari stigmatisasi perempuan yang ‘kotor’ saat mengalami menstruasi. Kisah ini ditemuinya saat memberikan pelatihan di kawasan rumah apung di Desa Pulau Raman, provinsi Jambi, pada 2021.

Perempuan di sana mengaku terpaksa membuang sampah pembalut ke sungai karena takut terlihat membawanya keluar dari kamar mandi. “Kalau kami ketahuan kami menstruasi, kami dikucilkan,” terang mereka pada Ani.

Di satu sisi, mereka sadar di sungai itulah mereka mencuci, mengambil air untuk minum ternak, dan mengairi kebun. Dulu, ibu-ibu mereka pernah mengajarkan cara memakai kain yang dilipat-lipat. Opsi ini dianggap merepotkan karena membatasi ruang gerak yang menuntut kelincahan untuk menyeberangi sungai sehari-hari.

Selama berkeliling ke berbagai komunitas di daerah lain, tak jarang Ani mendengar mitos-mitos ngawur seputar sampah bekas menstruasi. Contohnya, larangan membakar pembalut karena dipercaya akan membuat vagina terasa panas atau larangan membuang pembalut ke kebun karena bisa membuat kita dikejar-kejar setan.

Marak pula Ani dengar perdebatan tentang perlu tidaknya mencuci pembalut sekali pakai. Argumen dari pihak yang setuju mencuci ada bermacam-macam. Mulai dari anggapan agar terhindar dari makhluk halus, sampai yang menganggap darah menstruasi akan mencemari lingkungan.

Padahal, sebagaimana Ani tekankan, yang mencemari lingkungan adalah limbah dari pembalut sekali pakai, bukan darah menstruasinya.

Di balik berbagai kisah dan tantangan yang Ani jumpai di lapangan, penggemar film-film Studio Ghibli ini optimis dengan usahanya untuk meningkatkan kesadaran publik tentang hak-hak menstruasi sehat berikut layanan kesehatan dan produk menstruasi yang sehat, manusiawi, dan ramah lingkungan.

Ani menyinggung keputusan WHO pada Juni 2022 untuk memasukkan isu kesehatan menstruasi dalam agenda Human Rights Council. WHO menyerukan agar “kesehatan menstruasi diakui, dibingkai, dan ditangani sebagai isu hak asasi dan kesehatan alih-alih perkara kebersihan”.

Terlambat memang, kata Ani. Namun langkah WHO dapat dimaknai sebagai sinyal kuat bahwa hak kesehatan menstruasi perempuan akan semakin diseriusi oleh pemangku kebijakan di penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Ani percaya, isu period poverty pun akan semakin mendapat perhatian. Terlebih pada era ketika informasi dan pengetahuan mudah diakses dengan sentuhan jari dan disebarluaskan melalui sosial media.

Edukasi hak menstruasi sehat oleh Biyung juga erat kaitannya dengan gerakan pemberdayaan perempuan.

Melalui pelatihan menjahit pembalut kain, Ani ingin ikut berkontribusi mempersiapkan komunitas-komunitas perempuan yang berdaya secara ekonomi di daerah-daerah. Harapannya, mereka bersama-sama dapat mendorong pemerintah untuk menelurkan kebijakan penyediaan pembalut kain gratis yang dapat diakses oleh siapa pun di puskesmas.

“Selanjutnya adalah pemerintah harus membeli [pembalut kain] dari kelompok produksi yang ada di setiap kecamatan,” tegas Ani, “dan secara otomatis juga persoalan sampah pembalut sekali pakai akan selesai di wilayah kecamatan.”

Ani menyadari perjuangan Biyung masih panjang dan berliku, namun ia ingin tetap fokus pada cita-cita gerakan, “Kami ingin bisa terhubung dengan banyak pihak. Kami ingin gerakan ini menjadi milik bersama untuk setiap perempuan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG BERDAYA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Dwi Ayuningtyas