tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menyoroti tahun 2016 sebagai tahun dimana pelanggaran lalu lintas memiliki jumlah paling tinggi dibandingkan perkara lainnya. Ini menjadi perhatian khusus MA. Bahkan, MA mencatat setiap tahunnya ada sekitar tiga sampai empat juta perkara pelanggaran lalu lintas atau sekitar 96 persen dari jumlah seluruh perkara yang ada di pengadilan.
Besarnya jumlah perkara itu menjadikan pengelolaan perkara pelanggaran lalu lintas tersebut dinilai MA sebagai representasi utama lembaga peradilan di mata masyarakat. Pada praktiknya, masyarakat pun banyak yang beranggapan bahwa perkara dengan jumlah perkara sebanyak itu belum didukung oleh standar pengelolaan secara optimal dan seragam.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung RI (Puslitbang MA) dan Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) kemudian menemukan bahwa setidak-tidaknya ada lima permasalahan utama dalam perkara tersebut. Antara lain penerapan slip (blanko) yang rancu, tingginya beban administrasi, minimnya pemanfaatan teknologi informasi, lemahnya koordinasi antar institusi, dan timbulnya persepsi buruk terkait keberadaan calo.
Merespons penelitian dan situasi sosial masyarakat, Ketua MA membentuk Kelompok Kerja Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan Negeri melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 124/KMA/SK/VIII/2016, yang dibentuk pada 9 Agustus 2016.
Setelah empat bulan berjalan, Kelompok Kerja telah berhasil menyelesaikan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung dan telah disahkan menjadi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas pada 16 Desember 2016. Perma Perkara Tilang itu diharapkan dapat mempercepat dan mempermudah proses penyelesaian perkara tilang di pengadilan negeri, yang selama ini tergolong lama dan menjadi perkara yang menumpuk.
"Kami baru saja menerbitkan Perma tentang Perkara Tilang yang sudah dimuat dalam Berita Negara, dengan harapan Perma ini mengubah mekanisme sidang tilang agar proses penyelesaian lebih mudah, cepat, sederhana," ujar Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Agung Ridwan Mansyur, sebagaimana dikutip Antara.
Dalam jumpa pers beberapa waktu lalu di Gedung MA, Ketua MA Hatta Ali mengungkapkan bahwa ada beberapa poin penting dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang tata cara penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas.
"Poin pentingnya adalah pelanggar tidak perlu hadir di persidangan," ungkapnya.
Hatta Ali menjelaskan bahwa pelanggar tidak perlu hadir di persidangan kerena bertujuan mengurangi praktik calo dan pungutan liar atas perkara tilang di pengadilan negeri. Pelanggar dapat hadir di persidangan bila ia mengajukan keberatan atas penetapan atau putusan yang dinilai pelanggar merampas kemerdekaannya.
"Karena pelanggar tidak perlu hadir dalam persidangan di pengadilan negeri, maka pembayaran denda tilang dilakukan secara elektronik ke rekening Kejaksaan dengan menitipkan jumlah denda tilang melalui bank yang sudah ditunjuk, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI)," ujarnya.
Sementara itu, ia mengemukakan, untuk pengambilan barang bukti dapat diambil melalui Jaksa selaku eksekutor di Kejaksaan setempat dengan memperlihatkan bukti pembayaran denda.
Terkait dengan berkas perkara pelanggaran lalu lintas, Perma juga mengatur daftar berkas tilang yang juga dilakukan secara elektronik dalam jaringan (daring) Internet atau online dengan jangka waktu tiga hari sebelum sidang perkara tilang.
Situs pengadilan negeri setempat akan mempublikasikan data penetapan atau putusan perkara tilang pada hari sidang, yang berisi nama pelanggar, sangkaan, penetapan denda pelanggaran, serta nama Hakim dan Panitera Pengganti yang menyidangkan.
"Nanti untuk sinkronisasi tentu ada laporan bersama antara pengadilan negeri, kepolisian dan kejaksaan," ujar Hatta Ali.
Melalui terobosan yang ditungkan dalam Perma, ia mengemukakan, penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas akan berjalan dengan efektif dan efisien.
Dengan demikian, diharapkannya, upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan perkara pelanggaran lalu lintas diharapkan mampu tercapai dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik yang prima, mendorong akuntabilitas penegak hukum, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan.
"Pelayanan publik tentu akan menjadi semakin mudah dan cepat, khususnya untuk penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas karena sudah berbasis elektronik," kata Hatta Ali.
Perma itu kemudian disosialisasikan pada 17 hingga 20 Desember 2016 oleh Pimpinan Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di Denpasar sekaligus penyerahan sertifikasi akreditasi pengadilan. Ia menjelaskan bahwa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tersebut berbeda dengan sistem bukti pelanggaran (tilang) elektronik (e-Tilang) yang diluncurkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
"Kami akan lakukan kesepakatan dengan Polri, khususnya untuk penerapan pemberian slip kepada pelanggar," demikian Hatta Ali.
Kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Penegakkan Hukum Direktorat lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Ditlantas Polda Metro Jaya) AKBP Budiyanto mengatakan bahwa e-Tilang sudah mulai dilaksanakan pada Jumat, 16 Desember 2016, namun penerapannya akan dilakukan secara bertahap tergantung kesiapan anggota dan peralatan di masing-masing wilayah.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan