Menuju konten utama

Peraturan BI Dorong Turunnya Utang Luar Negeri Swasta

Bank Indonesia (BI) menyatakan tren pertumbuhan utang luar negeri swasta kian menurun pasca diberlakukannya Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 mengenai Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Luar Negeri Korporasi Nonbank (KPPK).

Peraturan BI Dorong Turunnya Utang Luar Negeri Swasta
Ilustrasi uang. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc/17.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) menyatakan tren pertumbuhan utang luar negeri swasta kian menurun pasca diberlakukannya Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 mengenai Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Luar Negeri Korporasi Nonbank (KPPK).

Hal ini diungkapkan Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo, Selasa (7/3/2017), di Gedung Bank Indonesia, Jakarta.

“Pertumbuhan utang luar negeri swasta terus menurun meskipun levelnya masih tinggi. Di akhir 2014, utang luar negeri sekitar 163,6 miliar dollar Amerika Serikat, sementara di akhir 2016, sebesar 158,7 miliar dollar Amerika Serikat. Trennya menurun secara nominal maupun pertumbuhan,” tutur Dody.

Menurut Dody, dikeluarkannya PBI tersebut sejak 2014 terbukti mampu menekan pertumbuhan utang luar negeri. Dari data yang dipaparkan, dapat diketahui tren utang luar negeri mengalami perlambatan pertumbuhan hingga kuartal empat 2016, yakni hanya dengan tumbuh sebesar 5,6 persen. Sementara pada 2010-2014, pertumbuhannya bisa mencapai 17,9 persen.

“Kami lakukan ini pada 2014, 2015, dan 2016. Latar belakang paling utama dari PBI ini adalah konteks utang luar negeri swasta yang terus meningkat. Kalau melihat persoalan 1997-1998, salah satu resiko utang luar negeri tidak dikelola dengan baik karena persoalan global, likuiditas, harga, dan over leverage swasta,” jelasnya.

Dengan diterbitkannya PBI KPPK, tingkat pelaporan dikatakan meningkat secara signifikan, yakni dari 85,2 persen di Kuartal III 2015 menjadi 94.7 persen di Kuartal III 2016.

Sementara itu, tingkat kepatuhan korporasi pada pemenuhan rasio likuiditas juga meningkat, yakni dari 83 persen di Kuartal III 2015 menjadi 86 persen di Kuartal III 2016.

“Kepatuhan dalam pelaporan hedging sebesar 89 persen untuk yang di bawah tiga bulan, dan kewajiban selama 3-6 bulan sebesar 94 persen di Kuartal III 2016,” ucap Doddy.

Penerapan prinsip lindung nilai (hedging) dikatakan turut memberi dampak. Lindung nilai sendiri dilakukan untuk mengurangi risiko utang akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Dalam PBI, hedging dengan besaran minimum 25 persen dari utang luar negeri diwajibkan untuk korporasi nonbank sejak 1 Januari 2017. Untuk rasio likuiditasnya sendiri minimum sebesar 70 persen dan peringkat utang minimum BB minus dari bank dalam dan luar negeri.

“Kewajiban oleh bank domestik tahun ini dikarenakan tujuannya untuk mendalami dan efisiensi pasar,” tambah Dody.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo juga pernah memberikan pernyataannya mengenai hedging pada 25 Mei 2016 lalu. Seusai menandatangani fasilitas lindung nilai delapan BUMN dengan tiga bank BUMN, Agus mengatakan usaha tersebut dapat mendukung tercapainya stabilitas makroekonomi.

“BI akan terus mendorong sektor perbankan dengan meningkatkan pengembangan produk derivatif untuk tujuan lindung nilai,” kata Agus kala itu.

Adapun BI akan mengeluarkan sanksi tegas bagi korporasi yang tidak melaporkan kewajiban utang luar negeri mereka, meliputi rasio hedging, rasio likuiditas, dan peringkat utang. Sementara itu, sejumlah sanksi yang bagi pelanggar aturan KPPK beragam, mulai dari surat teguran sampai denda sebesar Rp 10 juta.

Baca juga artikel terkait UTANG LUAR NEGERI SWASTA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri