tirto.id - Di Stadion Ciracas, Ahad, 10 Februari 2013, seorang bocah berusia 14 tahun mencetak gol indah pada penghujung laga. Tembakan akurat yang dia lepaskan menggetarkan gawang lawan dengan mudah. Gol itu sekaligus melengkapi kemenangan 9-0 SSB Asiop Apacinti atas SSB Tunas Patriot dalam gelaran Liga Kompas Gramedia 2013.
Sejak aksi dalam pertandingan yang tercatat sebagai duel dengan skor paling telak pada masanya itu, enam bulan berselang, bocah pencetak gol penutup itu dipanggil untuk memperkuat tim muda Indonesia dalam gelaran Asian Youth Games 2013. Sayang, saat itu Garuda tak melangkah jauh. Kiprahnya terhenti lantaran takluk 2-3 dari Korea Utara pada perempat final.
Kemenangan dan kekalahan sama-sama mendewasakan pemain yang kemudian lebih banyak dipasang sebagai gelandang bertahan itu. Hingga kemudian pada Selasa (26/2/2019) malam, bocah yang kini sudah berusia 20 tahun itu berhasil mengantarkan Timnas U-22 Indonesia juara Piala AFF di Kaboja.
Orang Indonesia lantas ramai-ramai mengenalinya. Nama bocah itu adalah Muhammad Luthfi Kamal Baharsyah.
Berperan dengan Baik
Bersama Timnas U-22, dalam gelaran Piala AFF U-22 2019, Luthfi Kamal adalah pemain paling konsisten. Namanya memang jadi pujian saat mencetak sebuah gol tendangan bebas yang mengunci kemenangan 1-0 Indonesia pada semifinal lawan Vietnam. Namun, sesungguhnya peran Luthfi lebih dari sekadar algojo bola mati.
Luthfi adalah tipe gelandang bertahan murni yang jadi penentu dalam skema permainan pelatih Indra Sjafri. Sepanjang turnamen, Indra tidak pernah mengubah formasi 4-3-3. Namun pada penerapannya, skema ini berubah jadi 4-2-3-1.
Dalam skema itu, Luthfi menjadi satu di antara dua gelandang bertahan. Dia kerap ditemani Sani Rizki Fauzi, kadang pula Hanif Sjahbandi atau Rafi Syarahil. Tetapi, siapapun partnernya, tugas yang diemban Luthfi berbeda dibanding satu gelandang bertahan lain.
Luthfi hampir tak pernah keluar dan maju sampai sepertiga lapangan lawan. Jika harus naik membantu serangan, paling banter dia hanya berada beberapa jengkal melewati garis tengah lapangan.
Bukan berarti dia tidak seberani satu gelandang bertahan lain. Memang seperti itulah peran yang dibebankan pelatih kepadanya. Dia diharuskan menjadi perusak alur serangan lawan sebelum memasuki daerah pertahanan Indonesia.
Peran itu nyaris selalu dilakoni Luthfi dengan baik. Pada duel final lawan Thailand misalnya, berkali-kali lawan kesulitan menerobos karena pergerakan Luthfi. Kemampuannya melakukan pressing juga membuat tim Gajah Putih kesulitan menerapkan switch-play, jurus yang selalu mereka aplikasikan pada empat pertandingan sebelumnya.
Luthfi juga piawai memberikan umpan akurat, baik bola-bola pendek maupun lambung. Visi bermainnya yang jempolan turut membuat pemain bernomor punggung tujuh itu sangat ideal di posisinya. Saat transisi ke menyerang, dia acap mengambil peran deep-lying playmaker. Usai mendapat bola dari kaki lawan atau umpan kiriman bek, Luthfi biasanya merapikan tempo permainan Indonesia dengan beberapa sentuhan kaki dan kiriman umpan yang selalu jadi pangkal serangan ke daerah lawan.
Menjawab Kebutuhan
Keberadaan Luthfi dalam skuat Indonesia seperti sebuah anugerah jika dibandingkan dengan skuat Indonesia U-22 era sebelumnya. Absennya sosok gelandang bertahan murni memang jadi salah satu masalah laten timnas dalam beberapa periode terakhir.
Indonesia sudah sangat jarang punya stok gelandang jangkar yang disiplin sejak menuanya seorang Hariono. Gelandang-gelandang Indonesia belakangan cenderung punya obsesi lebih tinggi membantu serangan dan kerap terlambat turun.
Ini pula yang jadi dasar mengapa Indonesia kerap jadi tim yang identik kedodoran saat dihajar lawan-lawannya dengan serangan balik. Indra Sjafri mengamputasi kelemahan itu lewat sosok Luthfi Kamal.
Namun, meski sudah mendidik si gelandang sejak berkiprah di Timnas U-19, Indra sebenarnya baru menyadari betapa pentingnya seorang Luthfi Kamal sejak turnamen Piala AFF U-19 2018.
Saat itu, sejak awal turnamen hingga menjelang semifinal, Luthfi tidak pernah absen dalam satu pun pertandingan. Sayangnya, dengan dalih mengistirahatkan pemain, Indra mencadangkan Luthfi pada laga semifinal, padahal lawan mereka saat itu adalah Malaysia.
"Jadi kami memilih Rafi di semifinal, tapi hampir semua pemain kemampuannya merata," ujar Indra pada konferensi pers.
Indra terbukti salah. Terlalu naif mengatakan bahwa komposisi pemain Timnas U-19 saat itu merata. Maka, hasil yang didapat dari langkah tersebut bisa ditebak. Sempat unggul berkat eksekusi penalti Egy Maulana, Garuda Nusantara lantas kelimpungan saat dihajar Malaysia dengan serangan-serangan cepat. Gawang akhirnya kebobolan dan skor jadi 1-1.
Indra menyadari bahwa salah satu aspek yang membuat Garuda tampil lembek saat itu adalah absennya Luthfi. Maka, pada paruh kedua dia akhirnya memasukkan sang gelandang bertahan. Langkah ini terbukti jitu dan Indonesia tak lagi kemasukan gol.
Sayang, pergantian itu tetap saja terlambat. Timnas U-19 Indonesia akhirnya harus gigit jari lantaran kalah dari Malaysia lewat adu penalti.
Sejak itulah, Indra seperti berintrospeksi. Dia enggan mengulang kesalahan serupa dan memainkan Luthfi di semifinal Piala AFF U-22 2019 pekan ini. Luthfi pun membuktikan tajinya dengan mencetak gol kemenangan.
"Alhamdulillah, satu gol [Luthfi] sangat berharga," ujar Indra setelah pertandingan.
Bahkan, saat kembali dimainkan pada final lawan Thailand, Selasa (26/2/2019) kemarin, kemampuan eksekusi bola mati Luthfi kembali jadi berkah. Umpan terukurnya dituntaskan Osvaldo Haay dengan sundulan yang berbuntut gol kemenangan Garuda Muda.
Indonesia menundukkan Thailand 2-1 guna merengkuh gelar Piala AFF U-22 perdananya. Dari semua itu, Indra jelas sama sekali tidak menyesal karena memainkan Luthfi dalam seluruh pertandingan Indonesia di Piala AFF U-22 2019.
"Ini membuktikan, bangsa Indonesia bisa berdiri di kaki sendiri, dengan pemain-pemain muda," kata sang pelatih.
Editor: Mufti Sholih