Menuju konten utama

Penyebab Makam Muncul di Waduk Gajah Mungkur dan Sejarahnya

Penyebab muncul makan di Waduk Gajah Mungkur dan sejarah berdirinya waduk.

Penyebab Makam Muncul di Waduk Gajah Mungkur dan Sejarahnya
Waduk Gajah Mungkur. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Warga Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, dibuat heboh atas kemunculan makam-makam kuno setelah air di Waduk Gajah Mungkur (WGM) mengering. Lalu, apa penyebab muncul makam di Waduk Gajah Mungkur ini?

Waduk Gajah Mungkur merupakan sebuah waduk yang terletak sekitar 6 kilometer di selatan pusat perkotaan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk Gajah Mungkur termasuk salah satu waduk tertua di Indonesia dan terbesar di Wonogiri.

Waduk ini dibangun pertama kali pada 1976 dan mulai dioperasikan sejak 17 November 1981. WGM menjadi waduk terakhir di Indonesia yang dibangun secara mandiri oleh Kementerian Pekerjaan Umum tanpa melibatkan kontraktor pada periode tersebut.

Genangan air yang berada di Waduk Gajah Mungkur berasal dari sungai terpanjang di Pulau Jawa, yakni Bengawan Solo beserta anak sungai lainnya seperti Sungai Keduang, Sungai Tirtomoyo, Sungai Posong, dan lainnya.

Berdasarkan kapasitasnya, WGM yang memiliki ketinggian di puncak mencapai 142 mdpl dan panjang 830 meter ini memiliki luas daerah tangkapan air (DTA) mencapai 1.350 kilometer kuadrat dan luas genangan maksimum mencapai 9.100 hektare.

Ide pembangunan Waduk Gajah Mungkur sendiri dikemukakan pertamakali oleh Ir. R.M. Sarsito Mangunkusumo pada 1941 silam saat ia tengah menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum Mangkunegaran di Surakarta dan dirancang oleh Nippon Koei.

Menurut catatan sejarahnya, lahan yang saat ini dijadikan sebagai Waduk Gajah Mungkur sebelumnya merupakan pemukiman warga yang dihuni sekitar 41.000 warga lebih dari 45 desa di 6 kecamatan di Wonogiri.

Artinya, tak heran jika saat ini terdapat puing-puing bangunan termasuk makam kuno yang berada di dasar waduk.

Terlebih, untuk kelancaran pembangunan WGM, sekitar 40.000 warga yang berada di wilayah tersebut terpaksa harus dipindahkan atau transmigrasi ke wilayah lain dan meninggalkan sejumlah peninggalan seperti rumah, makam, dan lainnya.

Baru-baru ini, warga Wonogiri dihebohkan atas kemunculan makam-makam kuno setelah Waduk Gajah Mungkur mengalami kekeringan parah.

Berdasarkan informasi yang beredar, dari makam-makam kuno yang muncul itu terdapat kijing berwarna putih seperti bebatuan.

Kijing sendiri merupakan sebuah batu khusus penutup makam yang menyatu dengan batu nisannya. Kijing biasanya terbuat dari pualam, tegel, atau semen.

Beberapa makam yang muncul ke permukaan itu ada yang masih teridentifikasi dari segi tulisannya yang menampilkan angka tahun 1950-an. Adapun diantaranya yang bertuliskan tulisan jawa kuno.

Terlepas dari fenomena langka itu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab makam-makam kuno muncul di Waduk Gajah Mungkur?

Penyebab Muncul Makam di Waduk Gajah Mungkur

Terkait penyebab kemunculan makam-makam kuno di Waduk Gajah Mungkur ini pada dasarnya tidak ada kaitannya dengan pertanda buruk maupun hal-hal mistis lainnya. Melainkan, fenomena ini terjadi akibat musim kemarau berkepanjangan yang telah melanda Indonesia.

Akibat musim kemarau yang panjang itu secara perlahan membuat air di Waduk Gajah Mungkur semakin menyusut hingga menampilkan kompleks makam di tengah waduk.

Diketahui, kompleks makam kuno tersebut masuk dalam wilayah Kelurahan Wuryantoro, Kecamatan Wuryantoro, sekitar 200 meter dari jalan perkampungan di dekat waduk tersebut.

Menurut Camat Wuryantoro, Sumardjono Fadjari dalam sebuah pernyataan, fenomena ini sebenarnya bukan yang pertama. Makam itu, sebut Soemardjono, biasa muncul ke permukaan setiap wilayahnya dilanda kekeringan atau pada saat musim kemarau.

Seperti diketahui, saat ini sejumlah wilayah di Indonesia termasuk di Wonogiri tengah dilanda kekeringan parah akibat musim kemarau panjang.

Musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan ini disebut-sebut didorong oleh fenomena El Nino yang diprediksi puncaknya akan terjadi pada September ini.

Baca juga artikel terkait URGENT atau tulisan lainnya dari Imanudin Abdurohman

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Imanudin Abdurohman
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Dipna Videlia Putsanra