tirto.id - Sejak bergulir pada 2015 lalu, Rancangan Undang-Undang (RUU) minuman beralkohol (minol) masih menjadi pembahasan panjang dan belum menunjukkan tanda selesai. Pembahasan RUU minol masih berjalan alot karena ada perdebatan di kubu pro dan kontra.
Bambang Britono, Pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran, Food and Beverage menuturkan bahwa pihak PHRI menolak pelarangan minol. Sebaliknya, mereka mendukung upaya pengaturan dan pengendalian minol.
“Kalau RUU minol yang sudah bisa di-download isinya dan judulnya pelarangan seperti itu, artinya kan memproduksi, menyimpan, mengkonsumsi itu kan semua dilarang. Artinya kita sektor hotel dan restoran akan terganggu. Jadi kalau selama itu pengaturan dan pengendalian, mudah-mudahan berimbang.” tutur Bambang saat ditemui di Kantor PWNU, Jakarta Timur pada Kamis (12/4) sore.
Bambang khawatir jika RUU minol dengan hasil pelarangan disahkan, maka akan mengganggu mata rantai industri hotel lantaran punya banyak mata rantai perekonomian yang terlibat.
Berdasarkan data global, kata Bambang, sekitar 40 para pelancong dunia melihat ketersediaan minuman beralkohol di sebuah hotel. Dari 40 persen tersebut, 30 persen di antaranya tidak mau menginap di tempat yang tidak menjual alkohol.
“Begitu negara tidak ada [minuman alkohol], ini orang mulai mikir. Oh berarti enggak terbuka ini. Bukan cuma produk alkohol tapi juga berpengaruh ke citra destinasi, kira-kira gitu. Ini masalah persepsi” ujar Bambang.
Di Kantor PWNU DKI Jakarta, Bambang menghadiri undangan dari Lapeksdam PBNU DKI Jakarta dalam diskusi bertema “Membedah RUU Minuman Alkohol, Kajian Pariwisata, Pajak, dan Pendapatan Negara”.
Acara dengan format Focus group discussion (FGD) ini juga dihadiri oleh Tedi Himawan dari Direktorat Bea Cukai. Sementara dari pihak Pansus RUU minol, Aryo Djojohadikusumo tidak tampak hadir sampai selesainya acara.
Penulis: Tony Firman
Editor: Alexander Haryanto