tirto.id - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,71 persen di 2018 cukup memberatkan. Menurut Ketua Apindo bidang Ketenagakerjaan Harijanto, sejumlah industri seperti ritel dan padat karya bakal terkena imbasnya, mengingat faktor kondisi perekonomian Indonesia juga tengah lesu saat ini.
Lebih lanjut, Harijanto menilai setiap sektor industri tidak bisa dianggap mampu memenuhi kenaikan upah pegawainya hingga 8,71 persen. Pasalnya, meningkatnya pertumbuhan di satu sektor industri, kerap tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja pada sektor industri lainnya.
Harijanto pun lantas mencontohkan bahwa di beberapa negara lain, upah pegawai malah diturunkan apabila sektor industrinya sedang terpuruk. “Harusnya upah minimum berdasarkan inflasi saja. Selebihnya melihat kinerja per sektor,” ucap Harijanto di Hotel Borobudur, Jakarta pada Selasa (31/10/2017).
Salah satu sektor industri yang disoroti Harijanto pun tak lain adalah industri ritel. Dengan pertumbuhan yang hanya sebesar 3,7 persen di semester I 2017, Harijanto mengklaim para pelaku usaha ritel berpotensi semakin terbebani.
“ILO (International Labour Organization) telah mengingatkan kita, ancaman tahun depan adalah tergerus oleh otomatisasi. Kita jangan naif berdebat soal upah tinggi tanpa memikirkan kesempatan kerja,” ungkap Harijanto.
Apindo sendiri memprediksi bentuk efisiensi yang dilakukan industri ritel bakal utamanya menyasar ketenagakerjaan. Meski belum memiliki datanya secara rinci, namun Harijanto menyebutkan kalau dampak efisiensi karena otomatisasi tersebut dapat mencapai 10-15 persen dari total karyawan yang ada.
“Kalau satu department store saja karyawannya ada berapa ratus, atau satu minimarket sudah menggunakan otomatisasi, prediksi saya 10-15 persen dari jumlah orang (keseluruhan),” kata Harijanto lagi.
Kendati demikian, persentase sebesar 10-15 persen itu masih bersifat tentatif karena industri ritel yang berguguran tidak hanya yang bersifat modern. “Belum lagi macam yang informal seperti di Glodok atau Mangga Dua,” ucap Harijanto.
“Tapi (angka 10-15 persen) itu perkiraan kita saja. Semuanya tergantung pada ketahanan kita. Apabila buruhnya ingin upah tinggi, maka akhirnya banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) juga,” tambah Harijanto.
Masih menurut Harijanto, UMP pun tidak seharusnya menjadi upah layak yang perlu dikebut angkanya setinggi mungkin. Pemerintah sendiri diimbau agar mampu memberikan keadilan dalam hal pemberian upah, baik bagi pemberi maupun pencari kerja.
Kendati mengkritisi kenaikan UMP di 2018, namun Harijanto mengklaim kalau para pengusaha bakal tetap menerima UMP yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. “Kita harus menerima PP tersebut karena itu ketetapan pemerintah. Meski (naik) 8,71 persen berat, tapi kita harus menerima,” ujar Harijanto.
Berdasarkan data yang dihimpun BPS (Badan Pusat Statistik), kenaikan upah sebesar 8,71 persen itu berasal dari data pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99 persen dan tingkat inflasi di angka 3,72 persen.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri