tirto.id - Pada Maret 1493, Christopher Columbus tiba di Spanyol usai merampungkan pelayaran perdananya melintasi Samudera Atlantik. Columbus diterima baik oleh Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I—penguasa Spanyol yang mensponsori pelayarannya. Columbus juga membawa “oleh-oleh” spesial untuk dua penguasa Spanyol itu: klaim penemuan Dunia Baru.
Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I lalu bergegas mendeklarasikan bahwa Dunia Baru—yang kemudian kita kenal sebagai Benua Amerika. Mereka bahkan memaksa Sri Paus Alexander VI yang kebetulan berasal dari Spanyol untuk melegitimasi deklarasi ini.
Deklarasi itu kemudian membuat hubungan Kerajaan Spanyol dan Portugal memanas. Pasalnya, di waktu yang berdekatan, Kerajaan Portugal juga berhasil menemukan Dunia Baru lainnya melalui pelayaran Ferdinand Magellan. Deklarasi Kerajaan Spanyol itu tentu bikin kecewa monarki Portugal.
Untunglah, karena tidak ingin melihat dua kekuatan terbesar di Eropa ini berperang, Paus Alexander VI mengambil sikap bijaksana dengan membagi dunia—yang kala itu bahkan belum diketahui seberapa luasnya—menjadi dua bagian.
Pembagian itu dilakukan dengan menggambar garis khayal yang membentang dari utara ke selatan di peta dunia dengan menjadikan Azores (Tanjung Verde) sebagai pusatnya. Titah Paus, semua lautan dan tanah yang berada di sebelah kanan garis itu berhak dikuasai Spanyol. Sebaliknya, segala hal yang ada di sebelah kiri garis tersebut menjadi kuasa Portugal.
Meskipun tindakan Paus Alexander VI itu terlihat bijaksana, menurut Dava Sobel dalam Longitude: The True Story of Lone Genius Who Solved the Greatest Scientific Problem of His Time (1995), Spanyol dan Portugal tetap kecewa. Dua monarki itu bukan kecewa karena gagal menguasai dunia secara utuh, tapi karena garis khayal vertikal—kini disebut longitude atau garis bujur—itu ditarik secara serampangan dan membingungkan.
Konsep garis bujur dalam navigasi sebenarnya sudah digagas berabad-abad sebelum era penjelajahan maritim dimulai. Namun, hingga saat itu, garis bujur belum memiliki garis sentral alamiah sebagai patokan tetap.
Ia berbeda dari latitude atau garis lintang yang memiliki garis sentral alamiah yang disebut khatulistiwa atau equator—garis di mana matahari tepat bertengger di atasnya kala ekuinoks. Dengan memanfaatkan garis lintang, pelaut atau petualang dapat menavigasi lokasi mereka berada (berapa derajat lintang utara atau selatan dari khatulistiwa) hanya dengan melihat ufuk matahari dan melakukan perhitungan sederhana.
Sayangnya, navigasi berbasis garis lintang semata tak dapat dijadikan patokan lokasi yang akurat. Karena itulah, garis bujur wajib dilibatkan. Sialnya, hal itu sukar dilakukan karena garis bujur sentralnya terus diubah seiring waktu.
Sekira 150 tahun sebelum kelahiran Yesus, Ptolemy telah menentukan bahwa nol derajat garis bujur berada di Fortunate Island (sekarang disebut Pulau Canary). Setelah keluarnya putusan Paus Alexander VI, garis bujur sentral dipindah ke Azures. Setelah itu pun, garis bujur utama berturut-turut dipindah lagi ke Roma, Copenhagen, Jerusalem, St. Petersburg, Pisa, Paris, hingga Philadelphia (sebelum akhirnya mantap bertengger di London hingga hari ini).
Lain itu, navigasi berdasarkan garis bujur juga melibatkan perhitungan yang rumit. Pasalnya, pelaut harus membandingkan dua unit jam—satu unit disetel untuk tetap menampilkan waktu di lokasi keberangkatan dan jam satunya lagi menampilkan waktu lokal atau waktu di lokasi tujuan. Karena bumi berotasi pada sumbunya selama 24 jam serta bumi memiliki sudut sebesar 360 dejarat, tiap jam yang berbeda di antara titik keberangkatan dan lokasi tujuan menandakan perbedaan sebesar 15 derajat di peta.
Sialnya, teknologi jam di zaman Columbus belum seakurat hari ini. Kala terombang-ambing di lautan, jam kadang terlalu cepat 10 menit atau terlalu lambat 10 menit. Juga, karena baterai belum ditemukan, jam harus disetel ulang setiap hari dan itu artinya satu lagi perhitungan membingungkan harus dilakukan.
Gabungan semua perhitungan dan masalah rumit itulah yang membuat keputusan Paus Alexander VI menjadi sukar disebut bijaksana. Untunglah, keruwetan penentuan lokasi garis bujur (dan garis lintang) akhirnya sirna kala John Harrison berhasil membuat jam spesial super akurat yang disebut kronometer laut pada 1761.
Dengan bantuan kronometer laut, penentuan koordinat lokasi di peta yang berpatokan pada garis bujur dan garis lintang jadi lebih mudah dan akurat. Kini, selang tiga abad dari penciptaan kronometer laut, penentuan koordinat garis lintang dan garis bujur jadi semakin mudah berkat teknologi global positioning system (GPS).
Yang menarik, meskipun GPS terkesan sebagai bentuk sains adiluhung, cara kerja teknologi ini pada dasarnya tak berbeda jauh dibanding kronometer laut. Pasalnya, ia tetap membutuhkan pengukuran waktu super akurat untuk berfungsi optimal.
Tahun dan Hari
Kisah unik nan nyeleneh terjadi dalam gelaran Olimpiade London pada 1908. Sesuai rencana, pelbagai kompetisi olahraga hendak dimulai pada 10 Juli. Tapi, hingga waktu yang ditetapkan, kontingen Rusia tak kunjung tiba di arena.
Ketidakmunculan kontingan Rusia ini terjadi karena mereka tiba di lokasi pertandingan melebihi waktu yang dijadwalkan. Alih-alih berada di lokasi pada 10 Juli, kontingan Rusia baru menampakkan batang hidungnya di London 13 hari kemudian, tepatnya pada 23 Juli.
Menariknya, kontingan Rusia percaya bahwa mereka tiba tepat waktu sesuai jadwal pertandingan. Usut punya usut, kekeliruan unik itu terjadi karena 10 Juli dalam kalander Rusia sama dengan 23 Juli dalam standar kalander yang digunakan Inggris kala itu. Mengapa bisa begitu?
"Alam semesta hanya memberikan umat manusia dua jenis patokan waktu: tahun dan hari," tulis Matt Parker dalam bukunya Humble Pi: A Comedy of Maths Errors (2019). "Dan segala jenis waktu yang berada di antaranya (bulan, jam, menit, detik) adalah semata buatan manusia yang tak sempurna."
Perbedaan kalender Rusia dan kalender Inggris itu terjadi karena patokan waktu yang diberikan alam semesta untuk umat manusia, tahun dan hari itu, tidak sinkron. Tahun ditentukan dari waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari (kala revolusi), tepatnya 365 hari, 6 jam, 9 menit, dan 10 detik. Sementara itu, penentuan hari berpatokan pada rotasi Bumi terhadap sumbunya, tepatnya 24 jam.
Artinya, satuan hari tidak dapat benar-benar merepresentasikan kala revolusi Bumi secara sempurna gara-gara kelebihan 6 jam, 9 menit, dan 10 detik (seperempat hari) itu.
Pada 46 SM, Julius Caesar menginisiasi pemberian 1 hari tambahan setiap empat tahun sekali (tahun kabisat) untuk mengejar perbedaan seperempat hari itu. Namun, pemberian 1 hari tambahan ini hanya memperhitungkan kelebihan 6 jam dalam kala revolusi Bumi. Ia tidak memperhitungkan 9 menit dan 10 detik.
Maka kalender yang dibuat Julius Caesar itu akan terlambat 1 hari setiap 128 tahun sekali. Pada awal 1500 silam, kelebihan 9 menit dan 10 detik itu akhirnya terakumulasi menjadi 10 hari keterlambatan. Paus Gregorius XIII lantas mencoba mengoreksi kekeliruan itu dengan memerintahkan masyarakat dunia membuang 10 hari yang terdapat pada Oktober 1582. Pada tahun itu, tanggal 4 Oktober langsung diikuti 15 Oktober.
Perintah Sri Paus itu betul-betul dilaksanakan oleh masyarakat dunia Kristen, kecuali Rusia.
Jam, Menit, dan Detik
Meskipun, sistem kalander yang dibuat Julius Caesar juga tidak dapat merepresentasikan kala revolusi Bumi dengan sempurna, ia abadi hingga saat ini. Sampai sekarang, satu tahun ditetapkan berjumlah 365 hari (kecuali tahun kabisat, 366 hari) yang dipecah dalam 12 bulan.
Untuk mempermudah aktivitas manusia, satuan bulan dipecah lagi ke dalam bentuk minggu—1 minggu sama dengan 7 hari. Lebih lanjut, dengan berpatokan pada rotasi Bumi, 1 hari ditetapkan berdurasi 24 jam. Satuan jam pun dipecah lagi dengan ketetapan bahwa 1 jam berdurasi 60 menit. Lalu, 1 menit merupakan akumulasi dari 60 detik.
Lantas, apa maksud dari 1 detik? Richard D. Easton dalam bukunya GPS Declassified: From Smart Bombs to Smartphones (2013) menyebut 1 detik mula-mula didasarkan pada waktu yang diperlukan pendulum untuk berayun satu kali. Standar itu dianggap sempurna karena akurasinya terjaga—hanya melambat atau terlalu cepat 10 detik setiap tahun dan itu mudah dikalibrasi ulang.
Namun pada 1930-an, masifnya penggunaan radio membuat patokan pendulum menjadi usang. Pasalnya, radio bisa memancarkan jutaan frekuensi per detik. The National Bureau of Standard (NBS) di bawah pemerintah Amerika Serikat kemudian memutuskan untuk mencari definisi baru dari 1 detik.
Awalnya, NBS menetapkan 1 detik sama dengan waktu yang diperlukan arus listrik beresonansi sebesar 100 kHZ terhadap kristal quartz. Standar ini yang diyakini akurat hingga 3 tahun (sebelum akhirnya dikalibrasi ulang). Sayangnya, karena kristal quartz memiliki banyak rupa yang memberikan nilai resonansi berbeda tatkala dialiri listrik, definisi 1 detik berbasis kristal quartz dan listrik ini tak bertahan lama.
Para ilmuwan kemudian menyadari bahwa atom dapat dimanfaatkan sebagai pendefinisi detik. Maka sejak 1949, NBS mendefinisikan 1 detik sebagai durasi resonansi 24 miliar Hz (24 GHz) yang dihasilkan oleh tumbukan atom amonia dan kristal quartz dalam tabung tembaga.
Pada 1955, definisi itu disempurnakan lagi dengan penggunaan sesium—logam bernomor atom 55 dalam tabel periodik. Sejak itu, 1 detik didefinisikan sebagai durasi resonansi atom sesium-133 sebesar 9.192.631.770 Hz atau (9 GHz). Meskipun lebih kecil dari nilai resonansi atom amonia, tapi patokan atom sesium dianggap lebih stabil.
Patokan atom inilah yang membuat pengukuran waktu tingkat tinggi dapat dicapai, misalnya untuk tingkat 1/1.000.000.000 detik atau bahkan 1/1.000.000.000.000 detik.
Tentu, pengukuran waktu yang super akurat ini selalu dipakai untuk kehidupan sehari-hari, misalnya untuk menentukan kapan lonceng tanda pulang sekolah berbunyi. Namun, GPS sangat memerlukan pengukuran waktu super akurat guna menentukan koordinat penggunanya.
Pasalnya, penentuan koordinat secara mendasar dilakukan dengan mengukur jarak antara satelit GPS yang tengah mengangkasa di orbit dengan, misalnya, smartphone. Dalam pengukuran jarak ini, digunakanlah rumus sederhana "JARAK = C x WAKTU". "C" dalam rumus ini adalah kecepatan cahaya dan "WAKTU" adalah durasi yang dibutuhkan gelombang radio dari satelit GPS untuk sampai pada smartphone.
Akurasi waktu dalam penentuan koordinat ala GPS ini penting karena, andai Anda mengingat pelajaran Fisika SMP, cahaya bergerak sejauh 299.792.458 meter per detik.
Kembali merujuk apa yang dipaparkan Richard D. Easton, masing-masing satelit GPS yang mengangkasa di orbit Bumi membawa lima hingga 26 jam atom berbasis sesium buatan Hewlett-Packard (HP). Satelit GPS lalu memancarkan data (seperti waktu dan koordinatnya sendiri) berbungkus gelombang radio untuk diterima smartphone. Dengan hanya mengetahui jarak tiga hingga empat satelit GPS, smartphone dapat mengetahui lokasi, garis lintang, dan garis bujur penggunanya dalam peta dunia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi