tirto.id - Tak lama setelah Christopher Columbus pulang dari pelayaran perdana melintasi Samudra Atlantik pada akhir abad ke-15, hubungan Spanyol dengan Portugal seketika memanas. Musababnya, ketika Columbus pulang, pelayaran yang dilakukan atas restu juga pendanaan dari Spanyol ini membawa oleh-oleh berupa klaim penemuan tanah baru yang belum pernah disinggahi bangsa Eropa.
Hal ini membuat penguasa Spanyol, Ferdinand dan Isabella, bergegas mendeklarasikan diri bahwa Spanyol merupakan negeri yang sah memiliki "dunia baru" yang ditemukan Columbus itu. Bahkan, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Ferdinand dan Isabella memaksa Alexander VI agar Sri Paus yang kebetulan berasal dari Spanyol, segera mengesahkan deklarasi ini.
Portugal yang berhasil menemukan "dunia baru" serupa atas pelayaran yang dilakukan Ferdinand Magellan tak lama dari Columbus, kecewa dengan sikap Spanyol tersebut. Karena tidak ingin melihat dua kekuatan terbesar di Eropa ini berperang, Paus Alexander VI mengambil sikap bijaksana dengan membagi dunia--yang kala itu bahkan tidak diketahui berapa luasnya--menjadi dua bagian dengan menggambar garis khayal yang membentang dari utara ke selatan di peta dunia. Azores (Tanjung Verde) didaulat sebagai pusatnya. Titah Paus, semua lautan dan tanah yang berada di sebelah kanan garis itu berhak dikuasai Spanyol. Sebaliknya, segala hal yang ada di sebelah kiri garis tersebut ia berikan kepada Portugal.
Meskipun sikap yang ditunjukkan Paus Alexander VI terlihat bijaksana, sebagaimana dipaparkan Dava Sobel dalam Longitude: The True Story of Lone Genius Who Solved the Greatest Scientific Problem of His Time (1995), Spanyol dan Portugal kecewa dengan keputusan ini. Keduanya kecewa karena garis khayal vertikal nan serampangan yang ditarik Sri Paus itu--yang kini dikenal sebagai longitude atau garis bujur--membingungkan. Musababnya, tak seperti garis khayal horizontal atau latitude (garis lintang) yang memiliki garis utama bernama khatulistiwa (garis patokan penentu bagian utara dan selatan bumi), garis bujur berbeda.
Memanfaatkan garis khatulistiwa, garis di mana matahari bertengger tepat di atasnya, petualang/pelayar dapat menentukan lokasi di mana mereka berada hanya dengan melihat ufuk matahari dan melakukan perhitungan sederhana. Sayangnya, karena lokasi berbasis garis lintang semata tak dapat dijadikan patokan lokasi yang akurat, maka garis bujur wajib dilibatkan--dan itu sukar dilakukan.
Pertama, garis bujur tak memiliki titik sentral alamiah sebagai patokan tetap. Ketika Ptolemy menggagas kelahiran garis bujur, 0 (nol) derajat garis ini berada di Fortunate Island (sekarang disebut Pulau Canary). Di tangan Paus Alexander VI, titik sentral garis bujur dipindah ke Azure untuk kemudian berpindah ke Roma, Copenhagen, Jerusalem, St. Petersburg, Pisa, Paris, hingga Philadelphia, sebelum akhirnya menetap di London hingga hari ini.
Kedua, untuk menentukan koordinat garis bujur, hitung-hitungan rumit perlu dilakukan, yakni dengan membandingkan dua unit jam--di mana satu unit disetel untuk tetap menampilkan waktu lokasi/tempat keberangkatan dan satunya lagi waktu lokal (waktu di lokasi tiba/tujuan). Karena bumi berotasi pada sumbunya selama 24 jam serta memiliki sudut sebesar 360 dejarat, tiap jam yang berbeda antara titik keberangkatan dan lokasi tujuan menandakan perbedaan lokasi di peta sebesar 15 derajat. Namun, di zaman Columbus, jam belum seakurat hari ini. Terombang-ambing di lautan, jam kadang bergeser terlalu cepat 10 menit atau terlalu lambat 10 menit. Juga, karena baterai belum ditemukan, penyetelan ulang jam harus dilakukan setiap hari, yang tentu saja membingungkan.
Gabungan antara ketiadaan titik sentral alamiah dan jam yang tak bisa dipercaya karena ketidakakuratannya, membuat garis bujur adalah petaka bagi petualang/pelayar.
Untunglah, keruwetan penentuan lokasi garis bujur dan garis lintang akhirnya sirna manakala William Derham berhasil menciptakan jam spesial bernama marine chronometer pada 1713. Para petualang/pelayar dapat mengetahui koordinat mereka di peta dunia dengan mudah dan akurat dengan berpatokan pada khatulistiwa dan London.
Kini, tiga abad berlalu usai marine chronometer diciptakan, mengetahui koordinat garis lintang dan garis bujur untuk menentukan keberadaan kita di peta dunia bukan perkara yang rumit, khususnya setelah global positioning system (GPS) dan John Hanke--mantan diplomat Amerika Serikat untuk Myanmar yang bertransformasi menjadi teknisi software--mendirikan startup bernama Keyhole, cikal bakal Google Maps.
Namun, meskipun Google Maps dianggap akurat, bisikan-bisikan bahwa aplikasi ini menyesatkan sering kali terdengar. Terlebih, jika Google Maps yang digunakan adalah versi iOS (iPhone), bukan Android.
Benarkah?
Google Maps
Suatu hari pada Oktober 2010, Larry Page mengirim email kepada seluruh karyawannya, mengumumkan bahwa Google hendak melakukan restrukturisasi organisasi. Page merombak pucuk pimpinan Google, seperti mempromosikan Udi Manber, Lead Engineer of Google Search, menjadi Head of Product Management and Engineering--jabatan yang bukan sebatas menakhodai Google Search, tetapi juga memimpin bisnis periklanan Google. Dan atas promosi ini, Marissa Mayer, pemegang jabatan sebelumnya dan kelak menjadi CEO Yahoo, harus rela dimutasi.
Mayer akan ditempatkan pada "divisi yang menjadi passion-nya selama ini", yakni Google Geo.
Membaca email tersebut, Bill Kilday, dalam memoarnya berjudul Never Lost Again: The Google Mapping Revolution That Sparked New Industries and Augmented Our Reality (2018), menyebut bahwa "pengumuman ini sangat mengecewakan bagi John."
John yang dimaksud adalah John Hanke, mantan diplomat Amerika Serikat untuk Myanmar yang bertransformasi menjadi teknisi software dan mendirikan startup bernama Keyhole. Ketika Google membeli Keyhole senilai USD35 juta pada 2004, Hanke berhasil mengubah startup buatannya menjadi produk paling revolusioner milik Google: Google Maps dan Google Earth.
Google Maps sebagai pilihan utama masyarakat dunia untuk mengetahui lokasinya di peta dunia tak terjadi pada 2004, tetapi tiga tahun kemudian alias ketika Google Maps merasuk pada tubuh iPhone. Google Maps kala itu menjadi satu-satunya aplikasi pihak ketiga (bukan buatan Apple) yang tersemat pada iPhone.
“Boom!” teriak Steve Jobs memperagakan Google Maps untuk mencari lokasi gerai Starbucks sambil berkelakar memesan 4.000 gelas latte pada nomor telepon gerai tersebut yang tertera di Google Maps.
“Lihat, kehebatan pencarian lokasi ini ada di ponsel (iPhone),” terang Jobs.
Pada versi perdana iPhone, sayangnya, tidak ada modul global positioning system (GPS). Maka, untuk membuat Google Maps dapat memberi tahu di mana lokasi penggunanya berada, Google Maps--juga aplikasi-aplikasi sejenis atau Location-based Service (LBS)--memanfaatkan Cell Identifier (Cell ID) dan Wireless Local Area Network (WLAN).
Sebagaimana dipaparkan Christine Bauer dalam studi berjudul "On the (In-)Accuracy of GPS Measure of Smartphones: A Study of Running Tracking Applications" (dipaparkan dalam International Conference on Advances in Mobile Computing & Multimedia ke-11 di Vienna, Austria, 2013), kunci utama penentuan lokasi berdasarkan Cell ID adalah tower telekomunikasi. Pada alat milik pelbagai perusahaan provider telekomunikasi ini, terdapat berlapis-lapis sel--modul yang memberi sinyal pada ponsel dan dapat dimanfaatkan memetakan di mana ponsel-ponsel yang mengakses sinyal cellular tower telekomunikasi berada.
Ketika pengguna ponsel bergerak, misalnya, ponsel milik si pengguna mengakses sel yang paling dekat--paling tinggi sinyalnya--pada tower telekomunikasi. Perbedaan sel mana yang diakses ponsel memberi tahu jauh atau dekat ponsel.
Tentu, satu tower telekomunikasi saja tidak akurat. Namun, karena di perkotaan jumlah tower telekomunikasi sangat banyak dan fakta bahwa ponsel tak hanya berkorespondensi dengan satu tower semata, membuat Cell ID dapat diandalkan untuk menentukan lokasi.
WLAN, hampir mirip. Alih-alih menggunakan tower telekomunikasi sebagai patokan, penentuan lokasi berbasis WLAN menggunakan router yang hanya bisa memberitahu lokasi ketika ponsel terhubung dengan WiFi dan umumnya digunakan menentukan lokasi di dalam ruangan--karena router biasanya diletakkan di dalam ruangan.
Dengan hanya memanfaatkan Cell ID dan WLAN, di awal-awal kemunculan Google Maps versi iPhone, aplikasi ini tidak dapat memberikan akurasi yang tinggi dalam penentuan lokasi. Namun ketika Apple memperbarui produk buatannya, iPhone 3G, modul GPS ditambahkan semenjak 2008. Karena keterbatasan ruang di dalam iPhone, bukan modul GPS versi utuh yang dipasang Jobs pada iPhone, tetapi Asisted GPS (A-GPS) alias versi sederhana dari GPS (langkah yang diikuti Android setahun kemudian).
Versi ini berfungsi menerima sinyal/data informasi dari satelit (terdapat sekitar 32 satelit GPS di luar angkasa), baik berjenis Pricise Positioning Service (PPS) ataupun Standard Positioning Service (SPS). Sayangnya, karena PPS hanya diizinkan digunakan untuk kebutuhan militer, maka hanya sinyal/data SPS yang dapat digunakan A-GPS yang terpasang dalam tubuh iPhone, juga ponsel-ponsel lain).
Penyematan A-GPS pada iPhone, tutur Denis Huber dalam studinya berjudul "Backgroud Positioning for Mobile Device: Android vs iPhone" (2011), "memberikan Google Maps keakuratan tingkat tinggi soal lokasi. Akurat hingga radius 20 meter dari keberadaan ponsel."
Meeskipun iPhone memiliki tiga modul yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi pengguna (Cell ID, WLAN, dan A-GPS), modul-modul ini tidak dapat diakses serampangan oleh aplikasi. Google, si pemilik Google Maps, harus tunduk pada garis-garis aturan application programming interface (API) iOS yang telah ditetapkan Apple, yakni berupa Core Location API.
Maka, ketika Google Maps diperintah penggunanya untuk mencari tahu lokasi, Google Maps harus berkorespondensi dengan Core Location API. Jenis API yang memberi informasi lokasi berupa "CCLLocationManager" pada Google Maps dan memberi tahu pembaruan lokasi pengguna iPhone dalam bentuk "startUpdatingLocation" serta "distanceFilter" jika pengguna bergerak selepas API ini mengaktifkan tiga modul atau sebagian.
Kembali merujuk Huber, Core Location API merupakan API yang disetel Apple untuk melakukan pembaruan lokasi dalam medium meter, yang tidak dapat diandalkan untuk memberi tahu pembaruan lokasi ketika pengguna bergerak kecil. Terlebih, dalam rancang-bangun iOS, sistem operasi ini secara otomatis akan menonaktifkan Core Location API ketika pengguna mematikan layar ponsel. Maka, jika pengguna iPhone bergerak sangat cepat--butuh informasi lokasi di bawah 1 meter--dan hanya menggunakan suara untuk mendengar perintah turn-by-turn navigation dari Google Maps, maka iPhone kewalahan. Ketidakakuratan sangat mungkin terjadi.
Tak ketinggalan, karena iOS menggunakan teknologi bernama Sanbox--teknologi yang bertugas mengurung aplikasi pihak ketiga agar tidak dapat mengakses sistem operasi secara keseluruhan--tidak ada yang dapat diperbuat Google Maps. Hal yang tidak terjadi pada versi Android karen ia milik Google.
Editor: Irfan Teguh Pribadi