tirto.id - Artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan nisbi telah mampu menggantikan beberapa pekerjaan atau sumber pendapatan manusia. Namun, AI malah belum mampu menggantikan manusia untuk mengerjakan hal-hal praktikal seperti membersihkan rumah. Fakta itu sungguh mengesalkan dan jadi sumber keluhan banyak orang.
Kemunculan AI generatif berbasis large language model (LLM) seperti ChatGPT, terutama, telah menjadi ancaman tersendiri bagi mata pencaharian sebagian orang. AI generatif seperti ini bisa mencuri pekerjaan para penulis, penerjemah, dan mereka yang sehari-harinya bergelut dengan kata-kata untuk mencari nafkah.
Memang benar bahwa AI generatif belum sepenuhnya mampu melakukan semua hal yang biasa dikerjakan oleh penulis, misalnya. Ada yang mengatakan bahwa AI sesungguhnya tidak akan menggantikan manusia; AI hanya akan menggantikan mediokritas. Dengan kata lain, AI cuma akan mencuri pekerjaan Anda apabila Anda tidak sungguh-sungguh ahli dalam pekerjaan tersebut.
Walau demikian, fakta bahwa AI bisa mencuri pekerjaan, sekecil apa pun persentasenya, semestinya sudah cukup mengkhawatirkan. Ini tak jauh berbeda dengan para pekerja padat karya yang kemudian tergusur oleh automasi. Ada sebagian kecil, memang, yang bisa bertahan dengan peran berbeda, tapi sebagian lainnya harus rela tersisih.
Fakta bahwa AI justru mengancam seperti itu, alih-alih membantu pekerjaan manusia ini telah menjadi concern yang sering kali disampaikan—terutama semenjak AI generatif LLM semakin merajalela. Banyak yang merasa, kemunculan berbagai pelantar AI generatif itu sebagai awal mula dari semakin banyaknya pekerjaan yang bakal lenyap kelak.
Namun, kendati mudaratnya tak bisa dinafikan begitu saja (dan harus segera dicari solusinya, entah lewat regulasi, adaptasi, dll.), AI sendiri bukannya tak memiliki manfaat. Bagi para penyandang disabilitas, misalnya, AI saat ini sangat berguna dalam meningkatkan kualitas hidup.
AI untuk Penyandang Disabilitas
Pada 2015 silam, seorang Denmark bernama Hans Jørgen Wiberg meluncurkan sebuah aplikasi bernama Be My Eyes. Aplikasi ini diperuntukkan bagi para penyandang disabilitas netra (buta). Cara kerjanya, pengguna bakal berinteraksi dengan relawan yang akan menjadi “mata” mereka dalam beraktivitas, mulai dari memilih pakaian yang pantas sampai menyetop taksi di pinggir jalan.
Aplikasi Be My Eyes ini, menurut data resmi perusahaan per Juli 2024, digunakan lebih dari 699 ribu penyandang disabilitas netra. Mereka dibantu oleh lebih dari 7,5 juta relawan dari 150 negara yang menguasai 180 bahasa. Singkat kata, Be My Eyes sudah digunakan secara global dan telah banyak membantu orang di seluruh dunia.
Penghargaan social entrepreneurship dari Nordic Startup Awards pun berhasil digamit Wiberg dan timnya.
Be Me Eyes masih terus berkembang. Saat ini, menurut laporan CNN, mereka telah bermitra dengan OpenAI untuk mengembangkan model AI yang bisa menggantikan peran relawan. Dalam demonstrasi model ini, ditunjukkan seorang penyandang disabilitas netra pengguna Be My Eyes hendak menyetop taksi di pinggir jalan. Lalu, aplikasi itu pun memberi isyarat kepada sang pengguna untuk mengangkat tangan di waktu yang tepat.
Pengembangan model AI tersebut nantinya memang bakal menggerus peran manusia dalam aplikasi Be My Eyes. Akan tetapi, sesungguhnya, peran manusia bakal lebih besar dalam proses pelatihan kecerdasan buatan tersebut. Pasalnya, manusialah yang bakal membantu input data dalam sistem AI tersebut sehingga ia dapat semakin mengenali taksi atau objek lainnya dengan lebih akurat.
Be My Eyes tentu saja hanyalah satu contoh dari penggunaan AI untuk meningkatkan kualitas hidup para penyandang disabilitas. Untuk jenis disabilitas yang lain, ada pula pelantar dan aplikasi lain yang telah dikembangkan. Salah satunya adalah Speech Accessibility Project yang dikembangkan sejumlah perusahaan Big Tech seperti Apple, Google, dan Microsoft bersama University of Illinois Urbana-Champaign.
Proyek tersebut bertujuan menciptakan AI yang mampu mengenali keberagaman pola berbicara, khususnya dari para penyandang Parkinson's, ALS, serta Down Syndrome. Sejauh ini, AI tersebut sudah bisa mengenali 88 persen pola berbicara para penyandang disabilitas tersebut.
Masih belum sempurna tentunya, tapi kinerjanya sudah sangat impresif. Nantinya, AI tersebut bakal dikembangkan menjadi sejumlah tools seperti penerjemah, asisten suara, serta pengubah suara menjadi teks.
Sebenarnya, upaya untuk setidaknya menginklusi para penyandang disabilitas dalam perkembangan teknologi telah dilakukan sejak lama. Ponsel-ponsel pintar, misalnya, telah memiliki fitur live transcribe untuk mengubah audio menjadi teks bagi yang kesulitan mendengar atau tuli.
Kemudian, ada pula fitur seperti ukuran teks super besar bagi mereka dengan penglihatan rendah serta fitur khusus untuk penyandang buta warna.
Apple sendiri belum lama ini telah meluncurkan berbagai fitur baru yang cukup revolusioner. Misalnya, fitur pendeteksi gerak mata di iPhone dan iPad untuk membantu mereka yang memiliki disabilitas fisik. Ide besarnya, pengguna produk Apple cukup menggerakkan mata tanpa harus menyentuh layar untuk bisa menggunakan aplikasi-aplikasi yang ada dalam perangkat.
Aplikasi seperti Be My Eyes serta proyek macam Speech Accessibility Project membawa inklusivitas ke level yang lebih tinggi. Dengan Be My Eyes, seorang penyandang disabilitas netra benar-benar bisa jauh lebih mandiri dalam beraktivitas. Sementara itu, jika sukses, Speech Accessibility benar-benar akan memudahkan para penyandang disabilitas berkomunikasi dengan orang yang, kemungkinan besar, tidak terbiasa berkomunikasi dengan mereka.
Pengembangan AI seperti inilah yang seharusnya menjadi fokus. Sebab, hal ini tidak cuma benar-benar membuat kualitas hidup manusia menjadi lebih baik, tapi, menurut petinggi Google, Eve Andersson, juga bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan pengembang.
“Aksesibilitas yang dibutuhkan seseorang memang bermacam-macam, tapi pada prinsipnya semua adalah tentang input dan output. Itulah bagaimana seseorang menerima informasi. Ada disabilitas pendengaran, penglihatan, motorik, bicara, kognitif, dan semua ini memerlukan cara menyampaikan informasi yang berbeda. AI dalam hal ini sangat berguna dalam menerjemahkan perbedaan cara penyampaian informasi itu,” ucap Andersson, dilansir CNN.
“Kami tidak ingin ada yang tertinggal. Secara umum, teknologi punya kemampuan untuk menyamakan ‘level permainan’. Akan tetapi, ada pula alasan finansial yang mendasari kami untuk terus mengembangkan teknologi seperti ini. Kami bisa menjual produk kami ke pemerintah, institusi pendidikan, dan sebagainya,” tutup Andersson.
Inilah, kawan-kawan sekalian, yang disebut sebagai win-win situation.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi