tirto.id - Pakar pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa menilai Polri terlalu cepat dalam menetapkan status tersangka terhadap 11 aktivis dalam kasus dugaan upaya makar. Eva menilai, kesebelas orang itu hanya menggunakan hak untuk berbicara dan berpendapat.
"Terlalu dini untuk kemudian menyangkakan pasal 107 [KUHP] itu karena kita kan sulit membedakan. Ini Negara demokratis kan ya. Kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi itu dijamin," ungkap Eva di LBH Jakarta, Rabu (22/2/2017).
Menurut Eva, seseorang yang akan dijerat pidana harus dilihat pula kapasitas dan kemampuan sang calon tersangka.
Selain itu, kata Eva, seseorang boleh mengkritik pemerintah lewat aksi demonstrasi. Ia menegaskan, massa tidak secara asal-asalan langsung menggulingkan pemerintahan dengan hanya menduduki DPR. Hal itu bukan berarti pemerintahan dapat dijatuhkan.
"Menduduki DPR tidak otomatis kan pemerintah terguling. Ada mekanismenya. Bahkan dalam taraf seperti itu pun kita masih bisa mengatakan itu makar," kata Eva.
"Pertanyaannya apakah sudah ada kemampuan untuk mewujudkan delik misalkan menggulingkan pemerintahan yang sah?" ujarnya lagi.
Dirinya khawatir pemerintah menggunakan pasal 107 KUHP sebagai bentuk abuse of power untuk melawan kelompok kontra pemerintah. Menurut Eva, pemerintah perlu menciptakan sebuah batas pemisah antara makar dengan hak berbicara warga.
"Jangan sampai orang mengutarakan pendapatnya dikatakan di sana sudah ada niat untuk makar," kata Widodo.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengaku tidak ingin berbicara banyak dalam kasus dugaan makar yang disangkakan pada 11 aktivis beberapa waktu lalu. Dirinya tidak mau berspekulasi dalam kasus dugaan makar, apalagi adanya dugaan kriminalisasi pada sejumlah tokoh ketika proses penyidikan sedang berlangsung.
"Kalau kriminalisasi yang kamu maksudkan adalah penyidikan yang dipaksa dengan bukti-bukti yang dipaksa aku belum bisa jawab itu karena proses penyidikannya kan masih jalan," kata Widodo di LBH Jakarta.
Meskipun tidak mau berspekulasi, pria berkacamata ini mengingatkan, kata makar berasal dari kata aanslag. Kata aanslag tidak mengarah pada makar, tetapi hanya menyatakan serangan. Serangan pun seharusnya berbentuk kontak fisik seperti kasus Papua Merdeka.
Widodo melihat kepolisian seolah menyamakan ekspresi politik sebagai serangan padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Ia mencontohkan bentuk serangan dalam bentuk makar yang ideal seperti kasus Papua Merdeka yang sudah menyerang pemerintah. Dalam kasus 11 aktivis, Widodo melihat hal tersebut bukan langkah yang tepat.
"Tidak semuanya firm dengan serangan, tapi ekspresi politik yang sah secara dami juga dimaknai sebagai sebuah serangan. Itu yang jadi masalah," tutur Widodo.
Seperti diberitakan, sebanyak 11 tokoh nasional ditangkap di beberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan sebelum aksi belas Islam pada Jumat 2 Desember 2016 digelar. Para tokoh tersebut ditangkap karena diduga akan melakukan makar.
Tujuh tersangka yakni Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri dijerat dengan Pasal 107 Jo 110 Jo 87 KUHP tentang Makar. Sementara tiga lainnya, yakni Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan juga Pasal 107 Jo Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat.
Sementara itu, Ahmad Dhani yang dalam penangkapan tersebut ditetapkan sebagai tersangka penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo berdasarkan Pasal 207 KUHP.
Saat ini, kepolisian sudah merampungkan berkas Jamran dan Rizal Kobar dalam kasus dugaan pelanggaran ITE. Namun sampai saat ini, keduanya belum disidangkan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH