tirto.id - Perlambatan ekonomi global yang berimbas pada penurunan ekspor dipastikan tak akan menghambat keinginan Kementerian Keuangan menaikkan target bea keluar pada 2020.
Pemerintah memproyeksikan ada perbaikan harga komoditas di tahun depan sehingga kenaikan target bea keluar tetap dilakukan.
“Perencanaan 2020 telah mempertimbangkan beberapa kemungkinan yaitu recovery atau mulai tumbuhnya harga komoditas,” ucap Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kemenkeu, Heru Pambudi dalam konferensi pers di kantornya Jumat (27/9/2019).
Selain perbaikan harga komoditas, Heru beralasan tahun depan akan ada beberapa tambang baru yang beroperasi. Ia menyebutkan penambahan itu juga akan turut meningkatkan ekspor terutama tembaga.
Lagipula, menurut Heru, kenaikan yang ditetapkan pemerintah tidak banyak. Dari Rp2,29 triliun di 2019 menjadi Rp2,6 triliun pada 2020 nanti.
“Gak banyak dari Rp2,3 triliun ke Rp2,6 triliun. Gak banyak,” ucap Heru.
Namun, Heru menjelaskan bahwa hal ini lebih menjurus pada potensi pertumbuhan industri tambang ke depan. Kenaikan bea ini pun, katanya, tidak untuk semata-mata penerimaan, tetapi pengaturan ekspor.
Ia berdalih kenaikan target bea ini lebih menunjukkan bahwa pemerintah ingin menjaga suplai domestik. Dengan demikian, pemerintah berharap kalau pengusaha memilih pasar domestik untuk penjualannya.
“Revenue bukan dasar utama. Jadi bea keluar mirip2 be cukai. Jadi instrumen fiskal ini sebenarnya tujuannya untuk mengatur. Untuk menjaga suplai di domestik ya,” ucap Heru.
Data APBN Kita untuk capaian Januari-Agustus 2019 menunjukan ada kontraksi penerimaan negra yang berasal dari bea keluar untuk ekspor. Nilainya minus 53,25 persen dibanding tahun lalu atau secara year on year.
Pada tahun 2019 ini pemerintah hanya meraup Rp 2,05 triliun atau setara 46,30 persen dari target APBN 2019 turun dari realisasi 2018 senilai Rp 4,38 triliun.
Sama halnya dengan penerimaan pajak sektor pertambangan. Ada kontraksi 16,3 persen dari periode lalu realisasinya setara dengan Rp 40,21 triliun padahal pada tahun 2018 sempat tumbuh 71,6 persen dari tahun sebelumnya.
Sejumlah kontraksi ini diyakini merupakan imbas pelemahan ekonomi global. Salah satu dampaknya penurunan permintaan dari negara-negara dan anjloknya harga komoditas.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri