tirto.id - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengakui adanya kelemahan dalam implementasi Permenkes No.30 tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
"Dalam pasal 8 yang mengatur pengawasan, sampai sekarang tidak bisa ideal. Di dalam peraturan itu yang bertugas mengatur bukan hanya Kemenkes tetapi Dinkes juga," ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono dalam rangka Hari Hipertensi Sedunia di kantor Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).
Konsumsi garam menjadi faktor resiko terjadinya penyakit hipertensi. Selama ini, menurut Anung, implementasi terhadap aturan kadar garam di sejumlah makanan baik itu olahan dan siap saji, masih dinilai kompleks.
"Misalnya begini. Di Indonesia itu ada soto, tapi masing-masing daerah punya sotonya sendiri. Ini jadi persoalan. Kami belum bisa setarakan [kadar garamnya]," ujarnya.
Selain itu, Anung mengaku, pihaknya sejak 2015 sudah mendiskusikan persoalan pencantuman kadar garam pada makanan siap saji atau olahan. Tapi memang persoalan lainnya terletak pada alat dan sumber daya manusia di daerah.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia Tunggul Situmorang juga berharap ada aturan mencantumkan kadar garam pada makanan olahan dan khususnya siap saji. Sebab menurutnya, di beberapa negara sudah mulai ketat menjalankan regulasi tersebut.
"Waktu saya ke Inggris, ada ketentuan di restoran siap saji yang sama dengan di Indonesia. Mereka mencantumkan ingredient. Tapi kalau di sini hanya ada nikmatnya saja," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno