tirto.id - Anda mungkin pernah punya keinginan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang berkelas dipenuhi dengan orang-orang pintar. Tetapi tidak semua orang berpikiran demikian. Bagi beberapa, lebih baik masuk perguruan tinggi yang biasa saja dan menjadi orang pintar di sana.
Pemahaman macam itu disebut sebagai BELFE atau Big Fish Little Pond Effect, sebuah pemahaman yang bisa dianalogikan dengan seekor ikan menganggap dirinya besar ketika berenang di kolam yang relatif kecil. Ini berarti: jika Anda berada di lingkungan yang berkinerja relatif rendah, persepsi terkait kemampuan Anda akan lebih baik dan menguntungkan.
"Konsep-diri" tersebut meningkat, karena Anda adalah ikan besar di antara banyak ikan kecil di kolam. Namun, jika Anda dipindahkan ke konteks atau tempat orang-orang yang berprestasi tinggi, persepsi diri terhadap kemampuan Anda akan menjadi buruk. Hal ini terlepas dari tingkat kinerja Anda yang sama dengan saingan Anda.
Bukti empiris itu diungkapkan oleh hasil dari tiga sub-studi yang diterbitkan dalam edisi terbaru Journal of Personality dan Social Psychology of American Psychological Association.
Penelitian yang dilakukan oleh Thomas Götz, peneliti pendidikan empiris di Universitas Konstanz dan di Universitas Pendidikan Guru Thurgau, ini mengeksplorasi apakah fenomena seperti berada dalam lingkungan orang-orang pintar memiliki efek emosi di sekolah siswa matematika.
Hasilnya jelas, siswa memang merasa lebih baik di lingkungan di mana standar keseluruhan lebih rendah dalam kaitannya dengan kinerja mereka sendiri, daripada berada di tempat di mana itu mereka dituntut bekerja lebih tinggi.
Studi ini terdiri dari survei cross-sectional dan dua studi longitudinal, di mana siswa sekolah dari kelas lima hingga kelas sepuluh di semua jenis sekolah berpartisipasi sekali atau dua kali setahun. Data PISA juga dianalisis. Sebanyak 7.722 siswa sekolah Jerman ambil bagian dalam penelitian ini.
Sebuah kuesioner digunakan untuk mendokumentasikan emosi positif dan negatif tersebut. Emosi ini misalnya kebahagiaan, kebanggaan, kecemasan, kemarahan atau rasa malu. Para siswa juga harus menyelesaikan tes prestasi.
Dalam ketiga studi, korelasi emosi ini dengan prestasi individu siswa dan kinerja kelas masing-masing diselidiki.
"Dari sini kita dapat melihat bagaimana emosi berkembang selama bertahun-tahun di bawah pertimbangan kinerja individu siswa dan kelas secara keseluruhan," kata Thomas Götz.
Ketiga sub-studi menghasilkan hasil yang kuat, yaitu efek pada konsep diri dan berakibat emosi positif jika seseorang berprestasi tinggi. Sebaliknya, efek pada konsep diri dan emosi menjadi negatif jika siswa berada dalam kelas berkinerja terbaik.
Thomas Götz telah mengalami fenomena ini secara langsung di masa lalu. Sebelum belajar psikologi, ia mempelajari musik gereja.
"Saya dulu percaya bahwa saya bisa bermain piano dan organ dengan cukup baik. Di konservatori dengan semua selebaran, saya tiba-tiba menyadari, bahwa sebenarnya, saya tidak sebagus yang saya kira. Apa yang secara alami tidak kita inginkan di sekolah kita adalah bahwa konteks pencapaian tinggi merusak emosi,” kata Thomas Götz
Fenomena serupa dapat dilihat di kelas untuk anak-anak berbakat. Sebelumnya siswa yang baik menganggap kinerja mereka tidak sebagus sebelumnya dan ini disertai dengan pengurangan emosi positif.
Selain penemuan itu, Thomas Götz dan rekan-rekannya juga menemukan juga efek timbal balik yang menjelaskan prestasi mempengaruhi emosi dan emosi mempengaruhi pencapaian.
Jika emosi positif berkurang, prestasi juga berkurang. Para peneliti menekankan betapa pentingnya untuk memperhitungkan fenomena ini, terutama ketika perubahan sekolah.
"Dapat dimengerti bahwa orang tua ingin melihat anak-anak mereka di lingkungan sekolah yang berkinerja tinggi. Namun, penting juga bahwa orang tua dan staf pengajar menyadari fakta bahwa itu bisa membuat stres secara emosional, terutama di masa-masa awal, jika anak tiba di lingkungan yang sangat berprestasi. Pada akhirnya, ini bukan hanya masalah pencapaian dan pengembangan akademik tetapi juga bagaimana perasaan siswa,” jelas Thomas Götz seperti dilansir Sciencedaily.
Editor: Yulaika Ramadhani