Menuju konten utama

Peneliti: Seharusnya Prabowo Kritik Kepemilikan Media oleh Parpol

Contohnya, kata Wisnu, merevisi UU Penyiaran agar konglomerasi media tak ada lagi.

Prabowo memberikan sambutan dalam aksi Reuni 212 yang berlangsung di Monas, Jakarta, Minggu (2/12/18). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Peneliti media independen, Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo menilai bahwa kritik capres nomor urut 02 Prabowo Subianto kepada wartawan dan media beberapa waktu lalu tidak menyentuh substansi dan struktural permasalahan media di Indonesia.

Ia menilai, seharusnya Prabowo mengkritik konglomerasi media secara garis besar. "Jika dia mengkritik media, harusnya kritiknya lebih substantif dan struktural mengenai konglomerasi media. Kepemilikan media oleh partai politik," kata Wisnu saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (7/12/2018) sore.

Apabila Prabowo melakukan kritik terhadap media dan melakukan kampanye, kata Wisnu, harusnya bisa menawarkan suatu program yang bisa membenahi permasalahan media di Indonesia. Contohnya, kata Wisnu, merevisi UU Penyiaran agar konglomerasi media tak ada lagi.

"Contohnya di Inggris, ada namanya politikus Jeremy Corbyn, salah satu yang program yang ditawarkan adalah merevisi regulasi media di Inggris agar tak terjadi konglomerasi media lagi," lanjut Wisnu.

Argumen ini disampaikan Wisnu untuk merespons penyataan Prabowo ketika berpidato dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Rabu, 5 Desember.

Dalam pidatonya, Ketua Umum Partai Gerindra itu menuding media massa telah berupaya memanipulasi demokrasi. Salah satunya terkait pemberitaan mengenai jumlah peserta Reuni 212.

"Hebatnya media-media dengan nama besar dan katakan dirinya objektif, padahal justru mereka memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah, ya, salah, mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000," kata Prabowo.

Setelah acara, Prabowo juga menolak ditanya wartawan. Menurutnya, kebebasan pers harus memberitakan apa adanya.

"Ya tapi redaksi kamu bilang enggak ada orang di situ, hanya beberapa puluh ribu. Itu, kan, tidak objektif, enggak boleh dong," kata Prabowo saat ditanya para wartawan.

Salah satu juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Arief Poyuono mengungkap alasan mengapa Prabowo kerap menunjukkan sikap resistan kepada wartawan dan media.

"Salah satunya karena Metro TV yang membuat berita tidak seimbang, lebih ke Jokowi. Kita tahu pemilik Metro TV ada di kubu Jokowi sekarang (Surya Paloh). Itu membikin media jadi partisan, kendati banyak juga media lain yang tidak partisan," kata Arief saat dihubungi reporter Tirto, Rabu siang.

"Ini konglomerasi media," tegasnya.

Oleh karena itu, ia mengaku yang dikritik Prabowo adalah pemilik media yang memanfaatkan frekuensi publik untuk politik, bukan wartawannya yang notebene pekerja.

Namun, Wisnu menilai, jika Prabowo mengkritik kepemilikan media dan konglomerasi media, seharusnya bukan ucapan seperti yang keluar dari mulut seorang calon presiden.

"Kalau mengkritik sistem, harusnya statement-nya enggak kayak gitu. Dia hanya memperkeruh suasana. Donal Trump di Amerika juga hanya memperkeruh suasana. Dia tidak menawarkan sistem baru, malah mengajak masyarakat tidak percaya media," kata Wisnu.

"Kalau kritiknya hanya seperti itu, itu hanya karena enggak ada media di belakang dia. Itu berarti dia tak didukung media," tutup Wisnu.

Baca juga artikel terkait REUNI 212 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Alexander Haryanto
-->