tirto.id - Saliman sudah dua tahun menjajal pekerjaan sebagai penjual kerupuk ikan. Ia sebelumnya menawarkan jasa pijat urut keliling. Tapi jasanya semakin sedikit disewa lantaran, menurutnya, makin banyaknya klinik spa dan pijat refleksi yang menawarkan kasur empuk serta minyak urut wangi.
Kini, Saliman harus menempuh rute sejauh 2 KM dari Sanggabuana untuk sampai ke tempat kerjanya di Perumahan Cinere Mas, Depok, dan mangkal tepat di depan pusat jajanan perumahan mewah tersebut. Jaraknya memang tidak begitu jauh, tapi Saliman harus melewati segala yang ada di jalan dengan tongkat sebagai pengganti indera penglihatannya.
Saliman yang kehilangan penglihatannya sejak 20 tahun yang lalu saat sebilah bambu tak sengaja mengenai kedua matanya ketika sedang membuat pagar rumah, harus benar-benar memasang telinga. Ia harus memastikan tak ada kendaraan yang melaju terlalu dekat dan membahayakan jiwanya.
Sampai siang itu, belum ada pembeli yang mampir. Mungkin karena hujan tak berhenti, sedangkan tempat mangkalnya hanya dipayungi pohon rindang. Maka, ia bersama temannya sesama penjual kerupuk berteduh di sebuah pangkalan ojek sekaligus tempat jajan di pertigaan jalan.
“Mau pilih siapa juga nggak ngaruh sama hidup kita,” kata seorang tukang ojek sambil bersandar di jok sepeda motornya.
“Apalagi bagi kami [penyandang disabilitas]. Para calon yang mau dipilih bahkan seperti menganggap kami tak ada. Tak ada sosialisasi khusus kepada kami,” Saliman menimpali. “Jangankan para calon, saat mau milih saja bingung, TPS-nya dimana, jauh, gimana nyoblosnya, kita kan nggak kelihatan,” timpal karibnya.
Di setiap acara pesta rakyat tersebut, para pemilih tunanetra memang mengalami kesulitan. Untuk mencapai lokasi, tak jarang mereka harus berjalan bersama orang lain agar tak tersesat. Sesampainya di TPS pun mereka kembali harus bersusah payah mengantri bersama pemilih lainnya.
“Terkadang malah ada TPS yang kita susah naiki karena pakai panggung,” Saliman bersungut-sungut.
Jumlah pemilih penyandang disabilitas seperti Saliman di DKI Jakarta sebenarnya amat potensial. Berdasarkan hasil pemutakhiran data pemilih yang ditetapkan menjadi daftar pemilih sementara (DPS), terdapat 5.366 jiwa kaum difabel. Jumlah ini masih jumlah sementara yang dikumpulkan KPUD DKI Jakarta, yang jumlahnya diperkirakan akan bertambah sampai penutupan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 6 Desember nanti.
“Jumlah tersebut termasuk dalam difabel tunanetra, tunarungu tunawicara, kemudian tunadaksa, dan lain-lain, itu data sementara yang kami kumpulkan," kata Komisioner KPU DKI Jakarta Betty Epsilon saat diskusi di Kantor KPU RI (9/11/2016).
Sayang, jumlah pemilih potensial ini agaknya belum dilirik oleh para pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Dalam visi misi yang ditawarkan, hanya pasangan Ahok-Djarot saja yang memuat detail program untuk para penyandang disabilitas. Pasangan ini menyebut sembilan poin utama untuk para difabel.
Pertama adalah peningkatan seluruh infrastruktur dan fasilitas publik, seperti halte, museum, toilet umum, dan trotoar agar ramah bagi penyandang difabel, selain pembangunan SLB dan panti. Pasangan ini juga berencana membantu anak berkebutuhan khusus dengan aplikasi berbasis IT yang memudahkan mereka dalam belajar dan mengembangkan diri.
Sementara itu, pasangan Agus-Sylviana yang diusung Demokrat, PPP, PKB, dan PAN, baru mencantumkan garis besar visi mereka dalam dua poin, yakni menjanjikan tersedianya fasilitas publik terutama di lembaga-lembaga pemerintahan yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Yang kedua: meningkatkan akses dan fasilitas untuk kesejahteraan lansia.
Pasangan Anies-Sandiaga juga belum merinci program-program mereka bagi para penyandang disabilitas. Ada satu poinnya yang menyebut akan menjadikan DKI Jakarta wilayah yang ramah terhadap disabilitas. Mereka akan wujudkan dalam fasilitas umum dan pelayanan publik, termasuk dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan bidang lainnya yang terkait dengan kehidupan disabilitas.
Dianggap Anak Bawang
Kurangnya fasilitas tak hanya dirasakan penyandang tunanetra, tapi juga difabel lainnya. Yang juga kerap kesulitan adalah para pengidap disabilitas mental. Hak pilih mereka bahkan sempat dicabut hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil atas penghilangan hak pilih bagi pengidap gangguan jiwa atau disabilitas mental.
Sebagian permohonan atas pasal 57 ayat 3 huruf a Undang-undang Pemilihan Langsung Kepala Daerah akhirnya dikabulkan Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat. Arief mengatakan sepanjang frasa 'terganggu jiwa/ingatannya' dalam pasal itu tidak dimaknai gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen—yang menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih—maka penyandang disabilitas mental masih dapat mengikuti pemilihan.
Hakim Wahiduddin Adams mempertimbangkan gangguan jiwa dan ingatan punya karakteristik yang berbeda-beda dan memiliki turunan beragam.
“Dua kategori itu beririsan namun tidak bisa disamakan, sehingga tanda baca garis miring di pasal itu harus ditegaskan,” katanya saat memutuskan uji materi di Gedung MK (13/10/2016).
Gangguan mental dikategorikan bersifat sementara jika dapat pulih kondisi kejiwaannya dan beraktivitas normal seperti sedia kala. Ia juga dapat dilihat pada para penderita penyakit gangguan mental tertentu seperti skizofrenia yang tidak setiap saat kambuh, dan dapat dibangkitkan kesadarannya dengan obat-obatan tertentu.
Soal fasilitas, pihak pemerintah mengakui kurangnya perhatian pada penyandang disabilitas. “Memang selama ini fasilitas untuk para pemilih difabel saya akui kurang, mereka masih dianggap pemilih nomer dua. Sampai pada akhirnya ada advokasi terhadap pasal-pasal yang merugikan difabel dalam pemilihan,” ujar Muhammad Joni Yulianto, Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) kepada tirto.id.
KPU juga sebenarnya tak menutup telinga. Tahun lalu keluar peraturan PKPU No. 10 Tahun 2015 yang membahas syarat pembangunan TPS, yang mana harus aksesibel bagi penyandang disabilitas, yakni tanpa tangga, tanjakan, dan tidak berada jauh dari pemilih difabel.
“Nanti ini akan kita terapkan, jadi sebelum TPS dibangun, KPU akan survei ke tempat, dan melihat kelayakannya. Baru setelah sesuai syarat, pembangunan TPS dilakukan,” papar Komisioner KPUD DKI Jakarta Bidang Pencalonan dan Sosialisasi, Dahliah Umar.
Ia juga menyatakan terdapat anggaran khusus untuk menyukseskan pemilu yang aksesibel terhadap penyandang disabilitas, termasuk untuk membuat surat suara berhuruf braile bagi tunanetra. Juga formulir asistensi bagi difabel yang butuh bantuan dalam pemilihan. Syaratnya, para pendamping ini terlebih dulu harus mengisi formulir pernyataan di TPS yang akan digunakan.
“Setiap satu penyandang akan ditemani satu orang yang berasal dari keluarga atau petugas yang dipercaya sehingga tetap akan aman,” ujarnya.
Bagi penyandang disabilitas mental, pendataan tetap akan dilakukan KPUD selama tidak ada surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa orang yang bersangkutan secara medis mengidap hilang ingatan atau terdapat keterangan berstatus pasien di bawah pengawasan dokter karena mengalami gangguan jiwa.
Agar memudahkan para pemilih disabilitas mental ini, pihak KPUD juga membuka TPS pada setiap rumah sakit yang bersedia memberikan data pemilih, termasuk di Rumah Sakit Jiwa. Namun, jika tidak, maka para pemilih dapat pergi ke TPS terdekat dari rumah sakit.
“Sekarang juga mulai terdapat daftar pemilih yang ada instrumen disabilitasnya, jadi di formulirnya ada keterangan disabilitas. Pemilu legislatif dan pilkada sebelumnya tak ada data disabilitas, jadi kita baru tahu setelah DPT ditetapkan,” katanya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Aditya Widya Putri