Menuju konten utama

Pemilu Rusia 2018: Oposisi Berserak, Putin Diperkirakan Menang

Para penentang Putin terbagi ke dalam berbagai partai politik. Kartu as ada di tangan pembangkang terpopuler di Rusia, Aleksey Navalny.

Pemilu Rusia 2018: Oposisi Berserak, Putin Diperkirakan Menang
Warga dengan seekor anjing berjalan dekat papan yang mengiklankan kampanye Presiden Rusia Vladimir Putin menjelang pemilihan presiden yang akan datang, di sebuah jalan di Stavropol, Rusia, Jumat (9/2/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Eduard Korniyenko

tirto.id - Akhirnya, etape terakhir proses pemilihan presiden Rusia resmi dimulai. Seperti yang sudah diperkirakan, Vladimir Putin, kembali mengikuti kontestasi politiknya yang keempat setelah tahun 2000, 2004, dan 2012.

Meski didukung partai berkuasa (Partai Rusia Bersatu) dan beberapa partai lainnya seperti Partai Tanah Airdan Partai Rusia Berkeadilan, Putin memilih untuk maju sebagai calon perseorangan. Untuk itu ia harus mengumpulkan minimal 300.000 tanda tangan pemilik hak suara, yang 7.500 diantaranya tidak boleh berasal dari penduduk federasi atau provinsi yang sama, sesuai peraturan Komisi Pemilihan Pusat (KPP) Rusia.

Putin terlihat ingin membuktikan bahwa dia tidak hanya bergantung pada kekuatan partai politik, tetapi juga mendapatkan legitimasi moral yang kuat dari rakyat negeri beruang merah” Hal ini dibuktikan dengan keberhasilannya mengumpulkan lebih dari 1 juta tanda tangan dukungan, tiga kali lipat dari jumlah yang dibutuhkannya untuk maju sebagai calon perseorangan.

Lalu, seberapa besar peluang Putin dalam pemilihan kali ini? Apakah rakyat Rusia telah sampai pada titik jenuh dengan kekuasaan Putin yang sudah berlangsung selama hampir dua dekade?

Terhitung sejak menjadi Perdana Menteri pada masa Boris Yeltsin (1999-2000) dan Dimitry Medvedev (2008-2012), Person of the Year 2007 versi majalah Time ini sudah berada dalam lingkaran kekuasaan Rusia selama 19 tahun. Selama berkuasa, Putin dinilai berhasil mengangkat kembali marwah Rusia hingga kembali disegani sebagai salah satu negara adidaya setelah sempat kolaps pada masa-masa awal pascaruntuhnya Uni Soviet di tahun 1991.

Pamor Putin semakin meningkat pasca kembalinya Semenanjung Krimea ke pangkuan Rusia pada 2014. Selain itu, keputusan Putin untuk mengirimkan angkatan bersenjata Rusia ke Suriah, dinilai berhasil membantu pemerintahan Assad dalam memerangi ISIS dan kekuatan-kekuatan penentangnya. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil survei terkini dua lembaga riset terbesar di Rusia, Pusat Riset Opini Publik Rusia (VTSiOM) dan Lembaga Opini Masyarakat (FOM), yang menempatkan Putin dalam posisi pertama pemenang pemilihan dengan tingkat keterpilihan mencapai 70%.

Melihat figur Putin yang masih sangat kuat di mata rakyat Rusia, menarik kiranya menakar peluang tujuh kandidat lain yang akan bersaing dalam pesta politik terbesar di negeri dengan daratan terluas di dunia.

Para Penantang Putin

Para kandidat Presiden Rusia dihadapkan pada beberapa masalah utama, seperti stagnasi ekonomi, hubungan bilateral dengan Amerika Serikat dan NATO yang tak kunjung membaik, serta peran utama Rusia dalam konflik utama di Timur Tengah, khususnya Suriah.

Sebelum mengerucut menjadi delapan, KPP Rusia mencatat bahwa sedikitnya ada 36 orang yang mengungkapkan kesiapannya di berbagai media massa untuk menggantikan Putin di puncak kekuasaan. Namun, menjelang batas akhir pendaftaran dan pengumpulan berkas tanda tangan dukungan (31/01/2018), mayoritas calon kandidat memutuskan untuk mengundurkan diri atau ditolak pendaftarannya oleh KPP Rusia. Hal ini disebabkan antara lain oleh perubahan peta perpolitikan serta pelanggaran calon kandidat terhadap aturan pemilihan, seperti yang dialami oleh tokoh jurnalis dan penulis muslim, Aina Gamzatova, calon kandidat presiden yang namanya sempat viral di media daring Indonesia karena dianggap membawa suara umat muslim.

Selain Putin, sosok-sosok lawas partisipan pilpres Rusia 2018 adalah Grigory Yavlinsky (Partai Yabloko) dan Vladimir Zhirinovsky (Partai Liberal Demokrat Rusia). Sementara itu, lima kandidat lain merupakan nama-nama baru, yakni Pavel Grudinin (Partai Komunis Federasi Rusia, KPRF), Sergei Baburin (Partai Persatuan Seluruh Rakyat Rusia, PSSR), Boris Titov (Partai Pertumbuhan), Ksenia Sobchak (Partai Inisiatif Masyarakat), dan Maksim Suraykin (Komunis Rusia).

Praktis, hanya Putin yang maju sebagai kandidat dari jalur perseorangan.

Yavlinsky dan Zhirinovsky dikenal sebagai oposan utama pemerintahan Putin di majelis rendah atau Duma Negara. Untuk urusan pemilihan presiden, ini akan menjadi partisipasi yang ketiga dan keenam bagi Yavlinsky (1996, 2000) dan Zhirinovsky (1991, 1996, 2000, 2008, 2012). Meski tidak pernah benar-benar menjadi penantang serius dalam sejarah pilpres rusia yang pernah diikuti, keduanya tetap memiliki loyalis yang kuat dan berpotensi untuk memberikan perlawanan dalam persaingan menjadi pemimpin Rusia berikutnya.

Yavlinsky seringkali mengkritik kebijakan Kremlin, terutama dalam permasalahan ekonomi Rusia yang sempat terpuruk akibat sanksi negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat pasca aneksasi Krimea. Selain itu, dia juga memberikan penekanan khusus terhadap masalah HAM dan pertanahan sekaligus berusaha menghentikan manuver luar negeri pemerintahan Putin yang seolah terjebak dalam perang tak berkesudahan seperti konflik Ukraina dan Timur Tengah.

Sementara itu, fokus Zhirinovsky dalam pemilu kali ini diantaranya adalah mengenai pentingnya menggaungkan kembali nasionalisme Rusia. Zhirinovsky juga menawarkan ide-ide untuk menurunkan harga perumahan rakyat, bahan-bahan kebutuhan pokok, dan obat-obatan yang menjadi prioritas utama dalam 100 janji politiknya.

Hal yang tak diduga datang dari Partai Komunis Federasi Rusia (KPRF). Seperti yang disampaikan kantor berita TASS Alih-alih mengajukan Sekretaris Jenderalnya Gennadiy Zhuganov, partai yang mengklaim dirinya sebagai pewaris utama Partai Komunis Uni Soviet ini malah memberikan mandat kepada Pavel Grudinin, yang bukan kader partai. Selain sebagai direktur perusahaan perkebunan negara Sovkhoz Lenin, sosoknya tidak begitu dikenal rakyat Rusia, apalagi konstituen KPRF yang kebanyakan tersebar di pelosok.

Besar kemungkinan, politisi-politisi partai sayap kiri melihat perlunya penyegaran dalam tubuh partai yang selama ini didominasi oleh Zhuganov. Selain itu, pengalaman Grudinin dalam dunia pertanian dan perkebunan diharapkan menjadi nilai jual tersendiri di antara kandidat lainnya. Hal ini juga dianggap sejalan dengan cita-cita partai untuk menaikkan derajat petani serta membangkitkan kembali perekonomian Rusia melalui sistem sosialis.

Pesaing Putin lainnya adalah Sergey Baburin dan Boris Titov yang mewakili suara kaum konservatif. Baburin, pemimpin Partai PSSR, berkampanye akan mengembalikan kebesaran Rusia serta menghentikan proses neoliberalisasi yang dilakukan pemerintahan Putin dan perdana menterinya, Dimitry Medvedev. Selain itu, dia juga berjanji untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta pembatasan terhadap produksi rokok dan minuman-minuman beralkohol.

Boris Titov yang berhaluan lebih liberal mencanangkan tiga “Strategi Pertumbuhan”, yaitu pertumbuhan lapangan kerja baru, atmosfer bisnis yang lebih bebas, serta percepatan cita-cita untuk menjadikan Rusia sentral ekonomi dunia.

Dua calon sisanya adalah figur-figur muda, Ksenia Sobchak dan Maksim Suraykin. Sobchak adalah calon perempuan satu-satunya dan termuda di antara tujuh kontestan. Dia merupakan anak dari mantan walikota Saint Petersburg (1991-1996), Anatoly Sobchak, mentor politik Putin sebelum hijrah ke Moskow. Saat ini, Sobchak lebih dikenal melalui sepak terjangnya sebagai sosialita. Sebelum aktif sebagai politisi, dia bekerja sebagai jurnalis, penyiar radio dan pembawa acara di beberapa acara televisi nasional.

Untuk memenangi pemilu pertamanya, Sobchak menggandeng tokoh-tokoh terkenal seperti eks Menteri Perekonomian era Yeltsin, Andrey Nacayev, analis politik, Stanislav Belkovsky serta politisi kawakan Elena Lukyanova. Dengan slogan “Sobchak Melawan Semua”, mereka bersama-sama merumuskan 123 program kampanye dengan menitikberatkan pada perlunya pergantian kekuasaan serta reformasi hukum dan birokrasi. Sementara Suraykin yang diusung oleh golongan komunis eks-KPRF, konsisten dengan gagasannya untuk mengembalikan kejayaan sosialisme era Uni Soviet yang dilandaskan pada kekuatan rakyat Rusia dan disusun dalam 10 Hantaman Stalin terhadap Kapitalis.

infografik para penentang putin

Faktor Navalny

Melihat dinamika politik terkini, pertarungan politik Rusia akan lebih menarik jika tokoh oposisi Aleksey Navalny diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilihan. Sejak kemunculannya di dunia politik Rusia, Navalny dianggap memiliki potensi untuk menandingi dominasi Putin dan PRB. Dalam pemilihan walikota Moskow tahun 2013, Navalny berhasil menempati peringkat kedua dengan 632.697 suara (27,24%), di bawah Sergei Sobyanin (1.193.178 suara (51,37%), politisi PRB yang dikenal sebagai bagian dari oligarki Putin.

Beberapa tahun terakhir, reputasi Navalny semakin melambung pasca pendirian LSM “Perang Terhadap Korupsi” (Fond Borba s koruptsiyei). Melalui lembaga ini, Navalny melakukan kajian dan penyelidikan atas kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan para pejabat dan BUMN Rusia. Selain itu, dia dianggap berani mengusik Dimitry Medvedev.

Dalam laporan penyelidikan yang dikemas dalam film dokumenter berjudul On vam nye Dimon (Dia bukanlah “Dimon”), Navalny menggambarkan berbagai penyelewengan yang dilakukan Medvedev sebagai kepala pemerintahan. Sejak dirilis (2/3/2017), film ini sudah ditonton sekitar 26 juta orang dan sempat memicu beberapa aksi massa di berbagai kota besar Rusia.

Namun, beberapa kasus hukum yang menjeratnya, seperti skandal “Yves Roche” dan “Kirovles” , membuat Navalny harus mengubur impian untuk menjadi orang nomor satu di Kremlin.

Dinamika politik sejak Desember 2017 memperlihatkan oposisi yang berserak. Suara oposisi akan terbagi antara Yavlinsky, Zhirinovsky dan Sobchak. Apalagi pascaditolak oleh KPP Rusia, Navalny menyerukan kepada pendukungnya untuk memboikot proses pemilihan.

Kelompok sayap kanan pun tidak bisa satu suara. Sulit kiranya mengharapkan perlawan dari Baburin dan Titov, yang selalu menempati posisi tiga terbawah dalam survei FOM dan VTsIOM. Setali tiga uang dengan kekuatan golongan komunis yang terbagi ke dalam dua kubu, Grudinin dan Suraykin. Mereka akan kesulitan mendulang suara akibat konsentrasi kekuatan yang terpecah.

Meski masih terlalu dini, sepertinya Putin yang mengusung slogan “Presiden kuat, Rusia kuat” tak akan mendapatkan perlawanan berarti pada pilpres yang akan dilaksanakan pada 18 Maret 2018. Hal ini ditambah dengan dukungan mesin politik dari PRB yang menguasai mayoritas suara di parlemen dan 61 dari 85 posisi kepala daerah.

Kejutan mungkin saja terjadi seandainya Navalny mengubah keputusan boikot dan mengarahkan pendukungnya untuk mendukung salah satu kandidat potensial untuk bersaing dengan Putin.

Baca juga artikel terkait PEMILU RUSIA atau tulisan lainnya dari Ahmad Ilham Danial

tirto.id - Politik
Reporter: Ahmad Ilham Danial
Penulis: Ahmad Ilham Danial
Editor: Windu Jusuf