Menuju konten utama

Pemilu Daerah 1957: PKI Berjaya dan Gagalnya Pilkada Langsung

Pemerintah sempat menerbitkan undang-undang untuk mengenalkan sistem pilkada langsung. Belum sempat terwujud karena dihadang Demokrasi Terpimpin Sukarno.

Pemilu Daerah 1957: PKI Berjaya dan Gagalnya Pilkada Langsung
ilustrasi pemilihan umum.foto/shutterstock

tirto.id - Sebelum 2005, Kepala Daerah dan Wakilnya dipilih oleh DPRD. Namun sejak ada UU Nomor 32/2004, Kepala Daerah dan Wakilnya dipilih langsung oleh rakyat lewat Pemilu. Maka lahirlah sejarah itu: Pilkada langsung pertama kali digelar pada Juni 2005. Terlepas dari segala kekurangan yang masih menghinggapi pelaksanaannya, Pilkada langsung ini adalah proses demokrasi yang penting bagi Indonesia.

Merunut ke masa lalu, ide Pilkada langsung sebenarnya sudah dicanangkan jauh sebelum reformasi bergulir. Ini terjadi ketika pemerintah menerbitkan UU No. 1/1957 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat sebagai turunan dari UUDS 1950. Lewat UU ini pula, hierarki pemerintahan daerah seperti sekarang itu diperkenalkan.

Segala ketentuan mengenai kepala daerah diatur dalam Pasal 23 hingga 30. Di antaranya mencakup mekanisme pemilihan, penetapan, pelantikan, persyaratan serta sumpah dan janji. Soal pemilihan kepala daerah ini, ditetapkan secara umum dalam pasal 23 ayat 1.

“Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,” demikian bunyi pasal itu sebagaimana dikutip Joko J. Prihatmoko dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia (2005, hlm. 52).

Bagian penjelasan UU ini kemudian menjelaskan maksud pasal itu. Secara teori, kepala daerah semestinya adalah orang yang dekat dan dikenal baik oleh rakyat di daerahnya. Pemimpin semacam itu secara ideal diharapkan muncul melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

“Atas dasar itu, dibanding dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi, dalam arti memberi akses rakyat berpartisipasi, sangat tampak dalam pilkada yang diatur UU No. 1/1957,” tulis Joko.

Namun, karena UU Pemilihan Kepala Daerah masih dalam proses penyusunan, untuk sementara waktu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh sebab itu, menurut Joko (hlm. 55), “sistem Pilkada langsung dalam UU No 1/1957 benar-benar merupakan introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan.”

Maka jadilah Pemilu Daerah 1957 itu sebagai pemilihan DPRD dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Meski demikian, ia tetaplah proses demokratisasi daerah yang layak disimak. Meskipun dibayang-bayangi kondisi politik yang tidak menentu sebagai akibat menguatnya konflik kedaerahan dan darurat militer, secara umum Pemilu Daerah dapat terselenggara dengan baik.

Pemungutan suara dilaksanakan secara bertahap antara Juni 1957 hingga Januari 1958. Daerah yang melaksanakannya adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatra Selatan, Riau, dan di Kalimantan pada 1958.

Menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy (2009, hlm. 105) hasil-hasilPemilu Daerah ini berarti penting bagi partai-partai politik. Pasalnya perolehan pemilu daerah itu jadi bukti seberapa besar dan mangkusnya kekuatan politik riil mereka di daerah. Juga, hasil-hasilnya tentu dapat menjadi indikator tren politik nasional.

Hasil akhir dari keseluruhan rangkaian pemilu daerah itu mendapuk PKI sebagai partai tersukses. Sebagaimana dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2009, hlm. 257) PKI dengan mengesankan berhasil menambah perolehan suaranya hingga 27 persen dibanding dengan perolehan 1955 yang sebesar 16,4 persen.

Berbanding terbalik dengan PKI, perolehan suara tiga partai besar lainnya justru turun. Fealy mencatat, suara Masyumi dan NU—di Pemilu 1955 masing-masing meraup suara 20,9 persen dan 18,4 persen-- turun dengan persentase hampir sama, 7 persen. Sementara PNI yang sebelumnya meraup 22,3 persen justru terpuruk dengan persentase penurunan suara hingga 20,8 persen.

Sesuai dengan ketentuan UU No. 1/1957, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terbentuk kemudian berwenang memilih kepala daerahnya masing-masing. Dengan penguasaan mayoritas di 18 kota dan kabupaten, calon-calon kepala daerah yang didukung PKI beroleh kemenangan hampir tanpa hambatan berarti. Bahkan di Surabaya calon kepala daerah dari PKI bisa menang dengan suara mutlak.

“Begitu pula untuk DPD, dengan sistem pemilihan menggunakan ‘perwakilan berimbang’, PKI mempunyai perwakilan mayoritas dalam DPD di 18 kota dan kabupaten tersebut. Di samping itu, di setiap DPD Tingkat I dan di hampir semua DPD Tingkat II terdapat anggota PKI,” terang Siswoyo dalam memoarnya Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri; Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (2015).

Infografik PKI di Pemilu Daerah 1957

undefined

Dihadang Demokrasi Terpimpin

Meskipun telah diperkenalkan via UU No. 1/1957, pada akhirnya Pilkada langsung di masa itu tidak pernah terwujud. Kekecewaan atas karut marutnya politik kepartaian di Jakarta diakhiri Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan itu, UUDS 1950 tidak berlaku lagi dan UU No. 1/1957 pun menjadi tidak relevan.

Sebagai tindak lanjut penerapan UUD 1945, Presiden menerbitkan Penetapan Presiden No. 6/1959. Dalam penetapan Presiden itu diatur bahwa kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri berdasarkan calon yang diusulkan DPRD. Disebutkan pula bahwa Presiden atau Menteri Dalam Negeri juga bisa mengangkat kepala daerah tanpa pencalonan. Di samping itu, peran DPRD dalam peraturan ini juga dibatasi. Mereka hanya berwenang untuk mengajukan calon Kepala Daerah.

“DPRD juga tidak dimintai pertimbangan-pertimbangan. Bahkan, DPRD tidak memiliki akses untuk meminta penjelasan manakala calon yang diajukan ditolak Presiden atau Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah,” terang Joko J. Prihatmoko (hlm. 57).

Di lain pihak, keterlibatan militer justru menguat. Dalam penjelasan pasal-pasal Penetapan Presiden No. 6/1959 disebut bahwa pengangkatan seorang kepala daerah memperhatikan pertimbangan instansi sipil negara dan juga instansi militer. Kondisi ini menjadikan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat, alih-alih pejabat publik yang bertanggung jawab kepada rakyat.

Kondisi ini belangsung terus hingga rezim Soeharto berkuasa. Elan untuk demokratisasi daerah baru benar-benar terwujud setelah reformasi bergulir.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Politik
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono