Menuju konten utama

Pemerintah Diminta Tangani Konflik Papua Pakai Pendekatan Budaya

Pemerintah diminta menangani konflik Papua dengan memakai pendekatan antropologi dan budaya. Saran ini disampaikan politikus Golkar Yorrys Raweyai dan anggota Kompolnas Bekto Suprapto.

Pemerintah Diminta Tangani Konflik Papua Pakai Pendekatan Budaya
Ilustrasi Konflik Papua. tirto.id/Lugas

tirto.id - Politikus Golkar Yorrys Raweyai meminta pemerintah memakai pendekatan antropologi dan budaya untuk mengatasi konflik di Papua.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terpilih asal Papua itu mengaku pernah mengusulkan hal ini kepada Luhut Binsar Panjaitan saat ia menjabat Menko Polhukam.

"[Saya sampaikan] Pemikiran menyelesaikan Papua secara holistik dengan pendekatan antropologi dan budaya," kata Yorrys di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/8/2019).

Yorrys mengungkapkan pembicaraan kala itu melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik dari Papua maupun Papua Barat. Namun, rencana ini tak berlanjut setelah Luhut tak lagi menjadi Menko Polhukam.

Yorrys mengakui belum pernah melanjutkan pembicaraan soal usulannya tersebut dengan Menko Polhukam Wiranto.

Meski demikian, Yorrys meyakini konsep paling baik untuk menangani konflik Papua ialah dengan pendekatan antropologi dan budaya.

Sebab, kata dia, pendekatan tersebut bisa membuat pemerintah memahami budaya di Papua yang heterogen.

"Nah ini jadi konsep secara holistik dengan pendekatan antropologi dan sosiologi budaya," ucap dia.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Bekto Suprapto juga berpendapat serupa. Mantan Kapolda Papua periode 2011-2012 itu menilai pendekatan budaya dan antropologi paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan masalah-masalah di Papua.

Menurut Bekto, pemerintah juga bisa membuat kebijakan afirmatif guna mengurangi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua.

Misalnya, pemerintah dapat mengatur perusahaan televisi agar memberi ruang bagi orang Papua dan tidak hanya menampilkan wajah-wajah yang dianggap layak siar versi warga Indonesia bagian barat.

"TV kita itu kan banyak, 24 jam. Kenapa yang siaran yang jam 04.00 WIB pagi muka-mukanya enggak muka orang Melanesia? Kan dia nonton TV, kita jam 04.00 WIB belum bangun, tapi di sana orang sudah kegiatan," ujar Bekto.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Addi M Idhom