tirto.id - Kasus pembakaran bendera dan ikat kepala hitam yang dilakukan anggota Barsan Ansor Serbaguna (Banser) di Alun-Alun Limbangan, Garut Jawa Barat pada peringatan Hari Santri Nasional Senin 22 Oktober lalu mematik gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah. Pada Jumat (27/10) kemarin ribuan orang dari berbagai ormas berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat.
Para pengunjuk rasa mendesak aparat memproses hukum para pelaku yang terlibat dalam aksi pembakaran bendera dan ikat kepala. Buat mereka klaim Banser bahwa bendera yang dibakar adalah milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tak begitu saja bisa diterima, sebab di bendera itu memang tidak memuat tulisan HTI yang ada adalah tulisan tauhid. Selain itu mereka juga meminta bendera bertuliskan kalimat tauhid tidak melulu gampang dikatikan dengan HTI.
Pengamat politik dari Universitas Padjdjaran Firman Manan menilai reaksi warga Jawa Barat terhadap kasus pembakaran bendera terjadi karena perbedaan karakteristik politik antara mereka dengan daerah lain seperti Jawa Timur misalnya. Menurutnya patron politik pengikut Nahdlatul Ulama atau nahdliyin di Jawa Barat, khususnya di Priangan Timur, lebih kuat ke PPP daripada ke PKB sebagaimana di Jawa Timur. “Ketaatan terhadap kiai pun tidak terlalu kuat, artinya pemilih di Jawa Barat lebih otonom, lebih independen, karena mereka mengakses informasi lain yang beragam salh satunya dari pelbagai kanal media sosial”, tambah Firman.
Hal ini menurut Firman membuat umat Muslim di Jawa Barat tidak saja gampang bereaksi terhadap isu-isu yang berkaitan dengan agama, tapi juga memberi kemampuan kepada mereka menafsirkan kasus pembakaran bendera secara politis. Apalagi, kata Firman, konservatisme Islam di Jawa Barat memang telah berlangsung lama. Sejarah mencatat pada Pemilu 1955 suara Masyumi cukup besar di provinsi ini, juga gerakan DI/TII yang paling besar pun terjadi di Jawa Barat.
Dalam konteks kiwari peserta Aksi Bela Islam 212 yang kental dengan nuansa politik pun mayoritas dari Jawa Barat dan Banten. “Peristiwa pembakaran bendera juga bisa saja diarahkan ke persoalan politik pilpres, apalagi misalnya jika polisi dianggap tidak profesional dan ada campur tangan politik di sana,” ucap Firman.
Pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Padjajaran lainnya Affan Sulaeman menilai wajar reaksi sebagian warga Jawa Barat yang mengutuk pembakaran bendera oleh Banser. Baginya hal itu merupakan bagian dari proses demokrasi. “Kita baru tujuh kali ganti presiden. Aksi dan reaksi ini adalah proses dalam demokrasi,” ujarnya.
Ia mengatakan orang Sunda yang menjadi suku mayoritas di Jawa Barat tidak suka konflik, mereka lebih menginginkan harmoni. Emosi dan ketegangan pada peristiwa ini menurutnya bersifat kasuistik. Dalam konteks afiliasi politik, pendapat Affan hampir senada dengan yang disampaikan oleh Firman bahwa masyarakat Jawa Barat lebih otonom dan lebih cair dalam menentukan pilihannya.
“Masyarakat Jawa Barat itu tidak pernah mengikatkan diri kepada partai politik secara ketat, tapi longgar, sangat cair. pileg sama pilgubnya pun tidak simetris. Antara pemenang pileg dan pilgub berbeda,” katanya.
Bisa Diredam
Meski aksi unjuk rasa memprotes pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid juga bernuansa politis--seperti munculnya seruan 2019 Ganti Presiden dalam aksi di Jakarta--namun Firman mengatakan Jokowi dan Ma'ruf Amin masih bisa meredam agar hal itu tidak berdampak terhadap elektabilitas mereka. Hal ini setidaknya karena Pilpres 2019 masih cukup lama dan kedua Ma'ruf merupakan tokoh agama yang cukup disegani dan dihormati. "Artinya masih punya waktu untuk meredam dan memulihkan peristiwa ini sehingga tidak sampai menggembosi suara Jokowi di Jawa Barat,” katanya.
Menurut Firman meski peristiwa pembakaran bendera ini menjadi sorotan, tapi titik balik penggerogotan suara Jokowi di Jawa Barat adalah saat Sudrajat dan Akhmad Syaikhu menyuarakan “2019 Ganti Presiden” saat sesi debat. Hasilnya pasangan yang dalam pelbagai survei angka kedipilihannya rendah berhasil menduduki urutan kedua dalam Pilgub Jabar 2018.
Proses hukum yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian menurut Fiman mesti segera dituntaskan, sebab jika berlarut-larut akan menimbulkan ketidakpercayaan dan kecurigaan masyarakat bahwa institusi ini dicampuri kepentingan politik.
Pemerintah memang gampang jadi sasaran empuk dalam kasus pembakaran bendera oleh Banser di Garut. Hal ini karena subyek pelaku dalam kasus pembakaran bendera adalah organisasi bukan perorangan seperti dalam kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Sehingga menyalahkan pemerintah, dalam hal ini Jokowi, dianggap lebih gampang karena Banser dipersepsikan sebagai pendukung Jokowi.
“Apakah ini [akan] berhasil atau tidak [menggembosi suara Jokowi], menurut saya agak beda konteksnya karena tidak langsung seperti kasus Pak Ahok, jadi ini memang sengaja dibikin narasi seolah-olah pemerintah salah,” katanya.
Ahyar menambahkan lama-kelamaan masyarakat juga akan bosan dengan politisasi isu-isu agama . Namun, ia tak menyangkal jika peristiwa ini akan sedikit mengurangi dukungan terhadap Jokowi di Jawa Barat.
Menurutnya, di Jawa Barat suara dukungan terhadap calon presiden sudah bergeser. Pada 2014 Prabowo menang cukup telak, tapi kemudian Jokowi punya kesempatan selama lima tahun untuk membangun proyek-proyek stategis di Jawa Barat dan mengubah peta dukungan tersebut.
“Peristiwa pembakaran bendera ini pasti berpengaruh, tapi tidak akan besar, paling swing voter yang masih galau dengan pilihannya,” imbuh Ahyar.
Ahyar memungkasi pembicaraan dengan menyampaikan bahwa sesungguhnya yang lebih penting dari peristiwa ini adalah kerja kepolisian untuk segera menuntuskan proses hukum yang tengah ditanganinya dan pemerintah harus menengahi dua kubu umat Islam yang tengah berseberangan.
“Polisi harus profesional dan pemerintah sebagai institusi harus segera menengahi ini karena bisa menyebabkan konflik horisontal,” ucapnya.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Muhammad Akbar Wijaya