Menuju konten utama

Pelantang Masjid Macam Apa yang Ramah bagi Telinga?

Pertimbangkan jenis pengeras suara dan bagaimana ia dipasang.

Pelantang Masjid Macam Apa yang Ramah bagi Telinga?
Ilustrasi pengeras suara Masjid. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Meiliana ialah perempuan 44 tahun yang divonis pidana kurungan penjara selama 1,5 tahun. Warga Tanjung Balai, Sumatera Utara itu menjadi korban persekusi, usai simpang siur desas-desus bahwa dia memprotes suara pelantang masjid yang memekakkan telinga. Majelis hakim menimpanya dengan vonis pasal penodaan agama.

Pejabat publik dari berbagai daerah ramai-ramai merespons kasus Meiliana. Sebagian kecil dari mereka yang mempersoalkan, bagaimana membuat suara yang keluar dari pelantang Masjid agar ramah di telinga.

Anggota Dewan Masjid, Nasaruddin Umar, misalnya. Ia sepakat dengan pendapat Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa pelantang masjid-masjid di Indonesia harus memiliki volume yang sesuai. Selain itu tentu dengan diimbangi aturan hukum penggunaan pelantang masjid yang Dirjen Bimas Kementerian Agama.

"Tidak terlalu mengganggu di telinga, tetapi tujuan untuk menyampaikan pesan, syiar, azan tetap tersampaikan," kata Umar.

Di sisi lain, menurut Umar, sikap toleransi dan tenggang rasa harus diperkuat agar tindak kekerasan persekusi yang menyasar Meiliana tidak terulang.

"Jangan sampai suara dari masjid itu tidak menghormati masyarakat. Saya sepakat kalau aturan yang dibuat Kemenag itu dijalankan," tuturnya.

Infografik CI Aturan Pengeras Suara Masjid

Lantas apa benar masjid-masjid di Indonesia memiliki pelantang yang ramah? Momo, seorang teknisi audio dan pengajar di Jogja Audio School, menjelaskan masjid di Indonesia umumnya menggunakan pelantang berjenis speaker corong bermerk Toa. Merek itu jamak digunakan karena harganya murah dan jangkauan suaranya yang cukup luas. Dengan input daya 25 Watt, ia bisa terdengar hingga radius 500 meter.

Meski demikian, Toa sebenarnya merupakan pelantang suara yang sudah kuno. Ia menyebutnya sebagai horn type speaker. Tipe tersebut tidak menghasilkan kualitas suara yang baik karena hanya kompatibel dan biasa digunakan untuk suara manusia. Maka dari itu Toa lebih sering digunakan sekadar untuk pengumuman dan pemberitahuan.

"Makanya, [Toa] banyak digunakan di sekolah-sekolahan. Bahkan yang lebih parah lagi, dulu yang lebih kelam lagi, digunakan di penjara dan kamp-kamp konsentrasi untuk mengatur manusia," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (24/8/2018).

Menurutnya, kualitas suara yang dikeluarkan pelantang corong jenis itu cenderung tak ramah bagi telinga manusia kebanyakan. Frekuensinya berada pada kisaran 300-5.000 Hertz (Hz).

"Telinga manusia itu sangat sensitif sama frekuensi 2.000-5.000 Hz. Jadi [frekuensi Toa] itu dekat banget. Intinya suara yang dikeluarkan oleh tipe hari ini sebenarnya lebih banyak mengganggu telinga," imbuhnya.

Merek itu juga dikenal karena daya tahan terhadap cuaca. Tapi kini lebih banyak merk pelantang yang mampu melebihi kualitasnya. Momo menyarankan para pengurus masjid menggunakan jenis speaker yang lebih berkualitas dan mutakhir.

"Ada banyak frekuensi suara yang memang kalau itu terus-menerus didengarkan manusia, apalagi dengan desibel yang besar, rata-rata kan speaker begitu bisa sampai mungkin 90 atau 100 desibel," tuturnya. Sementara percakapan antar-manusia memiliki tekanan suara 60 desibel dan tingkat tekanan suara di sekitar rumah berkisar 50 desibel.

"Mereka [orang awam] jarang tahu kalau ada yang namanya tri amplifier, ada yang namanya amplifier tenaganya seberapa, impedansi-nya berapa, itu hal teknis," lanjutnya. "Jadi selama ini yang orang tahu hanya sekadar volume saja tanpa tahu ada efek negatif karena suara yang tidak terlalu baik."

Sedangkan Yogie Natasukma, seorang sound engineer, mengatakan untuk membuat pelantang terdengar ramah di telinga, bisa dengan cara mengatur equalizer atau menata penempatan speaker corong. "Tempatkan sedikit condong lebih ke atas," kata Yogi.

Baca juga artikel terkait KASUS PENODAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana