Menuju konten utama

Pelanggaran HTI Bisa Masuk dalam Ranah Ancaman Terorisme

Ormas yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dinilai sebagai masalah keselamatan negara dan tidak boleh ada organisasi yang menyatakan tidak setuju pada negara Indonesia.

Pelanggaran HTI Bisa Masuk dalam Ranah Ancaman Terorisme
Rapat akbar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). FOTO/Reuters

tirto.id - Pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) Hizbut Tahir Indonesia (HTI) oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada Rabu (19/7/2017) pagi tadi dinilai sudah sesuai dalam fungsi pemerintah menjalankan kewenangannya berdasar Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Tidak adanya Pancasila sebagai dasar ideologi (HTI) sendiri dinilai bisa berkembang menjadi ancaman terorisme yang merugikan negara lebih besar.

Taufiqulhadi selaku anggota Komisi III DPR RI berpendapat bahwa perkembangan ormas yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila bisa dikategorikan sebagai ancaman terorisme. Hal ini, menurutnya, bisa terjadi apabila penegakan ormas tidak berjalan dengan tegas.

“Kalau ada ormas yang kemudian dengan sengaja, dengan tegas tidak mengakui negara Indonesia maka itu adalah akan muncul bibit-bibit yang lain, kemudian akan merusak bangsa,” terangnya. “Ini adalah organisasi-organisasi merendahkan negara.”

Taufiqulhadi yang juga berasal dari fraksi Partai Nasdem DPR RI ini menuturkan penerapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas sudah sangat tepat dilakukan pemerintah. Ia menuturkan bahwa pemerintah tidak perlu untuk ikut campur dalam diskusi terkait dengan apakah HTI menjalankan ideologi Pancasila atau tidak. Apabila pemerintah sudah merasa bahwa HTI melenceng dari ideologi Pancasila, mereka bisa saja langsung mengambil keputusan.

“Mereka harus mengambil keputusan. Pemerintah sudah tepat dan kami dukung sepenuhnya,” ujar Taufiqulhadi sebelum memulai rapat pansus dengan Amien Rais Rabu hari ini.

Pandangan ini, menurut Taufiqulhadi, tidak ada kaitannya dengan posisi Partai Nasdem yang merupakan partai pendukung pemerintah. Taufiq menilai bahwa masalah ormas yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila merupakan masalah keselamatan negara Indonesia dan tidak boleh ada organisasi yang menyatakan tidak setuju pada negara Indonesia.

“Kalau ada organisasi seperti itu, harus dibubarkan,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menganggap bahwa pemerintah sudah terlalu terburu-buru dalam masalah pembubaran HTI. Tindakan pemerintah ini sudah bisa dikatakan mengarah kepada suatu tindakan otoriter. Fadli menilai bahwa pembentukan HTI pasti sudah melalui proses seleksi dan lain-lain. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya tidak serta-merta secara satu pihak mencabut Surat Ketetapan Badan Hukum HTI.

“Tidak boleh kesewenang-wenangan ini, menurut saya, dibiarkan,” jelasnya di depan Gedung Nusantara III DPR RI.

Dengan hal ini, pandangan subjektif pemerintah akan makin besar kepada ormas-ormas yang ada di Indonesia. Pemerintah memang bisa saja memberhentikan suatu ormas, tetapi harus melalui suatu proses pengadilan. Fadli mengaku bahwa pihaknya tidak menyetujui asas dan ideologi HTI, tetapi ia mengimbau agar pemerintah berhati-hati melaksanakan kewenangan yang berpengaruh pada rakyat banyak.

“Jadi pemerintah sekarang ini sudah melakukan suatu kesewenang-wenangan kepada rakyatnya dan tentu ini akan menimbulkan suatu kegaduhan yang bisa terjadi,” katanya melanjutkan.

Fadli sendiri sudah menerima perwakilan HTI di DPR RI beberapa hari lalu. Namun, Fadli menilai bahwa perlu waktu untuk melakukan tinjauan kembali atau judicial review terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut.

Lebih sulit lagi, ia menjelaskan, apabila memang Perppu tersebut dibatalkan, kemungkinan ada undang-undang baru yang harus dikeluarkan. Sebab, Perppu ini secara tidak langsung telah membatalkan undang-undang tentang organisasi masyarakat. Ia pun tidak bisa memastikan nasib HTI dan Perppu ormas untuk ke depannya.

“Ya, kita lihat nanti,” tutur Fadli.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN HTI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari