Menuju konten utama

Pejabat yang Disebut di Dakwaan E-KTP Tak Yakin Diusut Semua

Dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP, ada 25 nama pejabat yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ada ketidakyakinan nama-nama tersebut akan diusut dan diproses hukum.

Pejabat yang Disebut di Dakwaan E-KTP Tak Yakin Diusut Semua
Petugas membenahi e-KTP yang baru dicetak di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (27/9). Disdukcapil Kota Palembang menargetkan perekaman e-KTP sebanyak 43.000 warga yang belum terekam akan selesai pada 30 September 2016. ANTARA FOTO/Feny Selly/kye/16

tirto.id - Dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi e-KTP, ada 25 nama pejabat yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ada ketidakyakinan nama-nama tersebut akan diusut dan diproses hukum.

Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irene Putri belum memberikan penegasan terkait hal ini. Dalam wawancara seusai persidangan kemarin, Irene memberi pernyataan bahwa akan menelisik lebih lanjut pada saat kesaksian, tapi fokusnya adalah pada dakwaan Irman dan Sugiarto yang sedang menjalani proses persidangan.

Bahkan Irene enggan untuk memberikan ke-37 nama lain anggota Komisi II yang disebutkan dalam dakwaan menerima dana sekitar 13-18 ribu dolar AS. Irene hanya memberi pernyataan bahwa pihaknya siap untuk menghadapi pihak-pihak yang tidak terima namanya ada dalam dakwaan. Irene mengklaim KPK sudah mempunyai setidaknya 2 alat bukti dalam nama-nama yang diduga menerima aliran dana.

“Jadi kalau ada pihak yang membantah silakan, tapi kita sudah punya 2 alat bukti,” tutur Irene, (Kamis 9/3/2017).

Menurut pengamat korupsi Uchok Sky Khadafi, nama-nama yang ada dalam lembar dakwaan KPK berjumlah 121 lembar tersebut hanya sekadar pajangan belaka. Alih-alih ditangkap, Uchok malah menduga bahwa nama-nama yang disebut bisa diangkat menteri oleh pemerintah.

Penyebutan nama tersebut, menurut Uchok, bisa jadi malah memberi efek publikasi yang besar, contohnya saat kasus Sri Mulyani. Begitu nama Sri Mulyani muncul di kasus Bank Century, bukan diproses hukum tapi posisi Menteri Keuangan yang didapat.

“Pajangan gitu ya. Pajangan biar kelihatannya gagah-gagahan. Tapi KPK tidak berkaca pada kasus (Bank) Century. Century itu banyak juga, Sri Mulyani juga ada, gagah-gagahan juga. Apa yang terjadi? Kan ilang kasus ini,” tuturnya kepada awak media, Jumat (10/3/2017).

Menurut Direktur Eksekutif Centre for Budget Analysis ini, nama-nama ini seharusnya tidak hanya ada di dakwaan, tetapi juga ditindaklanjuti secara cepat. Nama-nama yang ada dalam dakwaan hanya sebagai penegasan dari KPK untuk memperlihatkan bahwa pentingnya Irman dan Sugiarto harus mendapat hukuman penjara. Ia mengaku pesimis bahwa 25 nama lebih yang ada di lembar dakwaan itu akan tertangkap.

“Bisa saja 1, 2 atau 3 orang, tapi mustahil semuanya bisa ditangani.Pajangan ini tidak akan dilanjuti oleh KPK, hanya pajangan. Tapi hanya untuk memperkuat agar kedua orang ini untuk dihukum, itu doang. Ga ada lagi,” paparnya.

Ia menganggap bahwa urusan KPK ini akan berlanjut saat persidangan di mana saksi yang datang akan keseleo lidah atau salah berbicara. Perkataan mereka itulah yang mungkin akan dijadikan dasar KPK dalam menciduk tersangka lainnya.

Uchok mencontohkan dalam kasus Sanusi, KPK tidak bisa mengembangkan kepada tersangka lainnya. Meskipun benar kasus ini bisa menciduk Setya Novanto, Arif Wibowo, dan yang lainnya, Uchok mengatakan bahwa prosesnya akan berjalan sangat lambat.

Oleh sebab itu, Uchok berharap KPK bisa fokus penyelidikannya pada tokoh-tokoh besar, contohnya Setya Novanto. Selama ini, ia melihat bahwa KPK ternyata masih gentar dengan politik yang kuat, meskipun seharusnya KPK bertugas menciduk siapapun yang terbukti melakukan korupsi.

“Ya tunggu ini aja, kalau ga bisa sama aja bohong ‘kan. KPK kayak gitu saat ini,” tutup Uchok kepada Tirto.

KPK Harus Punya Bukti Kuat Soal Aliran Dana e-KTP

Uchok berpendapat KPK butuh bukti kuat dan penyelidikan lebih mendalam tentang aliran dana e-KTP ini. Selama ini KPK terlihat hanya melempar bola panas pada publik tanpa memberikan keterangan yang lebih jelas. Contohnya saja saat publikasi jumlah anggota Komisi II yang terlibat dalam aliran dana, tetapi tidak menyebutkan namanya.

Hal sama juga terjadi saat Agus Rahardjo selaku ketua KPK melempar informasi bahwa banyak nama besar yang akan ada dalam sidang dakwaan KPK, tapi tidak menyebutkan dengan jelas siapa mereka-mereka yang terlibat dalam dakwaan e-KTP ini.

Uchok berpendapat bahwa seharusnya KPK bukan hanya menuding tetapi juga mengkaji tentang ke mana dana tersebut mengalir, di mana lokasi pemberian dananya, bagaimana tata cara penyerahan dana tersebut, dan di mana lokasi uangnya sekarang. Uchok mengakui bahwa sebagian besar sudah diuraikan oleh KPK, tapi detil tentang pembagian dana contohnya, tidak dijelaskan oleh lembaga penyelidik negara tersebut.

“(Uang) Yang lainnya ke mana aja? ‘Kan ga mungkin dua orang (Irman dan Sugiarto) ini (yang membagikan),” tuturnya.

“Terus sekarang partai. Partai dapat Rp150 miliar untuk Demokrat dan Rp80 miliar untuk PDIP, itu dapat. Tapi posisi uang ada dimana sekarang? Itu sebetulnya harus ada dalam dakwaan. Atau modusnya bagaimana, transfer duitnya, ada beberapa dari situ, tapi tidak semua dijekaskan. Ini ‘kan masih kurang utuh dakwaan itu. Ya itu tergantung KPK punya bukti atau tidak, sekarang ‘kan tergantung sama 2 bukti itu,” jelasnya.

Sementara anggota Komisi II DPR RI periode 2014-2019, Henry Yosidiningrat, menyangkal dengan tegas dakwaan yang menyebutkan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menerima aliran dana sebesar 80 miliar dari skandal proyek e-KTP.

“Nggak,nggak,nggak. Nggak mungkin! Saya berani pastikan tidak, tapi kalau teman-teman anggota itu kalau ada bukti ya berarti benar, tapi kalau tidak ya jaksa harus memberikan bukti dong terhadap nama-nama di situ (lembar dakwaan),” sergah Henry selepas acara seminar di daerah Cikini kepada Tirto.

Henry tidak keberatan apabila KPK mempublikasikan nama-nama dari fraksi PDIP yang dianggap ikut terlibat dalam kasus korupsi. Namun, dirinya beranggapan bahwa KPK harusnya bisa menyajikan bukti sebelum mengumbar nama dan membuat kegaduhan.

“Saya berharap agar mencantumkan nama seseorang , tidak hanya berdasar keterangan tersangka yang kemudian menjadi terdakwa. Tapi harus ada alat bukti tadi, misalnya uang yang dibawa benar-benar ada,” terangnya.

Henry mengaku tidak masalah bila ada pihak dari PDIP yang terkena korupsi. Ia mendukung penuh kegiatan KPK dan pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Ia pun menantang KPK untuk membuktikan tuduhan tersebut. Ia mengganggap munculnya nama PDIP hanya menjadi korban karena merupakan partai yang sedang berkuasa di pemerintahan.

“Ya buktikanlah, tegakan hukum. Ya mungkin juga partai lain yang terlibat. Jangan terlalu gampang mengatakan itu (PDIP menerima aliran dana). Buktinya apa?” tutup Henry.

Dalam perkara e-KTP sudah ada dua tersangka, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen, Sugiharto. Keduanya sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang membantu penegak hukum untuk membongkar perbuatan pidana.

Terdapat tokoh-tokoh besar yang pernah diperiksa sebagai saksi perkara ini di KPK, antara lain adalah Ketua DPR Setya Novanto yang juga menjadi ketua fraksi Partai Golkar periode 2011-2012, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan periode 2004-2009 dan 2009-2013 Ganjar Pranowo, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR M Jafar Hafsah, mantan pimpinan Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Komisi II sejak 2009 hingga Januari 2012 Chairuman Harahap, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan sejumlah anggota DPR lainnya.

KPK juga menerima total pengembalian Rp250 miliar dari korporasi dan 14 orang individu. Pembagiannya Rp220 miliar dikembalikan oleh korporasi dan Rp30 miliar dikembalikan oleh individu, sebagian dari 14 orang yang mengembalikan itu adalah anggota DPR.

Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri