tirto.id - Ada dua kelompok yang saling berseteru di Pemilu 2019: Koalisi Indonesia Kerja dan Koalisi Indonesia Adil Makmur. KIK diisi oleh 10 partai, termasuk yang kini tengah berkuasa, PDIP. Sementara KIAM terdiri dari partai-partai oposisi: Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan partai baru, Berkarya.
Seperti persaingan pada umumnya, dua-duanya nyaris saban hari saling melempar serangan, kritik, dan bahkan tuduhan. Keduanya seperti tak mungkin bersatu.
Tapi Maruarar Sirait, politikus PDIP, membuka peluang itu. Dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) yang diselenggarakan pada 26 Februari 2019, laki-laki kelahiran 1969 ini mengatakan: "kita yakin Mas Jokowi menang, bisa saja nanti kubunya Mas Fadli bisa bergabung bersama-sama mengelola pemerintahan."
Ia mengusulkan ini karena menurutnya, terlepas dari saling serang antar dua kubu terutama sejak Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi mendaftar sebagai capres-cawapres ke KPU pada 10 Agustus 2018, "semuanya berpikir positif."
"Semuanya berpikir tak ada yang mau perang. Bagaimana politisi menjadi negarawan," tambahnya. Ia bahkan bilang "bukan tidak mungkin… saya sangat senang kalau Jokowi menang, Fadli Zon jadi menterinya."
Fadli Zon datang ke acara yang sama. Ketika Ara--panggilan Maruarar--selesai mengucapkan itu kamera langsung beralih ke Fadli. Fadli tersenyum tipis.
Tapi apa mungkin itu bisa terjadi? Apakah masing-masing kubu akan menerimanya?
Tak Ada Yang Tak Mungkin
Menurut Wakil Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Aria Bima, pernyataan Ara itu prematur. Ini adalah sesuatu yang tak bisa dijawab sekarang. "Belum pembahasan sampai ke sana." kata Aria kepada reporter Tirto.
Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengomentari angan-angan Ara agar Fadli Zon jadi menteri Jokowi. Dia bilang semua tergantung presiden. Dan presiden biasanya juga terlebih dulu mendengar suara partai pendukung lain.
"Dalam tradisi kepemimpinan Pak Jokowi selalu dibicarakan dengan para ketua umum partai koalisi," katanya.
Jawaban menggantung juga keluar dari mulut Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad. Dia bilang apa yang terjadi di masa depan, apalagi yang sifatnya strategis seperti mitra koalisi, tergantung keputusan Prabowo.
"Gerindra tergantung Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto," kata Dasco kepada reporter Tirto.
Terlepas dari keengganan dua kubu menanggapi serius keinginan Ara, kemungkinan tim Prabowo gabung ke Jokowi tetap ada. Toh memang tak ada yang tak mungkin dalam politik, dan peta koalisi pasca Pemilu 2014 yang memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla adalah bukti konkret.
Lima tahun lau Prabowo dan Hatta Rajasa didukung koalisi bernama "Koalisi Merah Putih" (KMP). Koalisi ini terdiri dari Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB.
Juru bicara koalisi yang juga politikus PAN, Tjatur Sapto Edy, pernah mengatakan KMP adalah koalisi permanen. Pernyataan sikap ini disampaikan pada 8 Juli 2014 atau satu hari menjelang hari pemungutan suara pilpres. Hal serupa pernah dikatakan Fahri Hamzah, politikus senior PKS, ketika bertandang ke kantor Tirto tahun lalu.
Tapi kita semua tahu satu per satu partai balik kanan mendukung sang pemenang. Golkar, PPP, dan PBB kini ada di barisan petahana. Per Februari 2016, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengatakan Koalisi Merah Putih bubar.
"Dalam sistem yang sekarang itu enggak ada oposisi sesungguhnya. Kapan pun bisa berkoalisi," kata pengajar ilmu politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno, yang juga memprediksi koalisi antara Jokowi dan tim Prabowo bukan hal yang mustahil.
Penulis: Rio Apinino