tirto.id - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP, Mufti Anam tak setuju dengan wacana menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor dari Aceh. Ia menilai usulan dari Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Rafli tak perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Mufti beralasan masih banyak komoditas lain yang bisa membuat perekonomian di daerah, khususnya Aceh, bergeliat.
"Masih banyak yang lain seperti rempah, aromatik, dan tanaman obat seperti lengkuas, kunyit, cengkeh, lada, pala, kapulaga, biji vanili, hingga merica," ujar Mufti saat dihubungi, Jumat (31/1/2020).
Mufti mengatakan harga ekspor bahan-bahan tersebut sangat mahal dibanding harga di dalam negeri. Ia menekankan pentingnya riset dan inovasi untuk meningkatkan komoditas tersebut.
”Riset dan inovasi penting agar produktivitas dan kualitas rempah, aromatik, tanaman obat Indonesia terakselerasi. Pemerintah harus mengiringi tumbuh kembangnya petani dalam menghidupkan kembali jalur rempah yang membuat Nusantara begitu seksi di mata para penjajah di masa lalu,” jelasnya.
Mufti mengutip data BPS bahwa ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah Indonesia pada 2018 mencapai 601 juta dolar AS (Free On Board/FOB), tumbuh pesat jika dibandingkan pada 2013 yang baru sebesar 342 juta dolar AS. Dalam setahun, barang yang diekspor Indonesia mencapai 336 ribu ton.
”Rempah-rempah, tanaman obat, dan aromatik Indonesia punya daya saing tinggi. Kita termasuk eksportir terbesar dunia di segmen itu. Jadi tanpa ganja, komoditas kita sudah bisa menghasilkan devisa yang tak sedikit,” katanya.
Alasan lainnya, kata dia, secara aturan memang peredaran ganja dilarang.
"Tentu sudah ada kajian dari para ahli tentang dampak dan manfaatnya. Faktanya, sekarang ganja dilarang,” ujarnya.
Wacana untuk menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor pertama digulirkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Rafli. Hal itu ia sampaikan dalam kerja bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di DPR RI, Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan